Sabtu, 28 September 2013

APA KABARMU HUJAN?

“Kemarau di Negeriku, kau selalu dicaci: panasmu membakar dan mengeringkan segalanya.
Hujan di Negeriku, kau pun selalu dimaki: banjirmu meluluhlantakkan segalanya.”
Jam sudah menunjukkan pukul empat sore, baru saja menjejakkan kaki keluar dari ruang kuliah, entah pulang entah ada hal lain yang harus ku kerjakan. Hari ini memang melelahkan. Cukup melelahkan. Berkutat dengan diktat kuliah, berbagai tugas dan makalah juga laporan. Rasanya ingin menyudahi rutinitas yang membosankan di kampus. Biasanya, selepas bubar kuliah atau di sela-sela rutinitas kuliah, aku berkumpul dengan sahabat-sahabat untuk rapat atau berdiskusi tentang hal-hal yang up to date untuk di kritisi. Apalagi akhir-akhir ini kampus sedang diramaikan dengan kasus dijebloskannya terdakwa korupsi penyalahgunaan pengadaan alat-alat komunikasi oleh oknum pejabat kampus. Hafiuuuh. Menambah penat saja.
Barangkali karena suhu panas yang tidak ingin menguap dari ruang kelas karena kurangnya ventilasi udara. Atau karena berjubelnya ruang kelas karena dimuati kurang lebih 35 Mahasiswa sehingga ruangan terasa sumpek dan pengap. Atau memang lantaran dosen yang tidak maksimal dalam memberikan kuliah karena dirinya juga merasa gerah. Barangkali karena musim kemarau terlanjur berkepanjangan, kampus dimana aku kuliah menjadi sangat tidak enak dipandang.  Suhu udara yang panas membuat ubun-ubun terasa disengat Matahari. Padahal harusnya September ini jatuh tempo musim hujan.
Aku pun menyisir lantai dua gedung kuliah, sempat aku melihat tanaman dalam pot tak terawat. Aku pikir kemarau bukan saja menggangguku tetapi juga menggagnggu tanaman, lebih-lebih mengganggu dan mengacau akalku.
“Mana bisa aku biarkan tanaman ini mati, padahal nanti gedung yang aku pijak ini juga tanaman dalam pot itu akan menjadi saksi bahwa aku pernah membiarkan tanaman mati”, pikirku dalam hati.
“Langsung pulang?” tanya seorang temanku.
“Entah. Duluan saja.” Jawabku mensilakan.
Sementara yang lain pulang bergerombol hingga hilang di belokan tangga gedung ini. Aku sempat memandang ke arah gedung di depannku. Gedung Rektorat. Gedung dimana tinggal seorang pejabat yang terlibat kasus korupsi di kampusku. Ahhh. Kadang aku merasa geli dengan tingkah oknum pejabat kampusku ini. Kembali aku pandangi tumbuhan dalam pot itu. Entah apa yang menggerakkanku, aku beranjak dan menyisiri ruang kuliah di lantai 2 ini. Kudapati sebotol bekas air mineral tergeletak di lantai ruang kuliah. Aku bahagia mendapatkannya. Tetapi ada rasa heran yang menggelayut dalam hatiku.
“Ahh Gusti. Betapa kami belajar tentang kelestarian lingkungan dengan sungguh-sungguh tetapi kenapa musti masih ada yang membuang botol ini sembarang. Padahal aku tahu di ruangan ini, barusan telah disampaikkan Mata Kuliah Ilmu Lingkungan”, gumamku dalam hati.
Segera aku raih botol itu dan bergegas menuruni tangga yang berbelok di gedung. Gedung Jurusan Biologi. Sebelah kanan tangga di ujung barat terdapat kamar kecil. Aku masuk. Aku tuangkan air ke dalam botol itu. Penuh. Sebelum pergi aku sempat membau tidak sedap dalam kamar kecil itu. Gila. Aku yakin kamar kecil lainnya di kampus ini nasibnya persis sama bahkan lebih parah. Apa gunanya Aksi Bersih Campus (ABC) tempo hari yang aku dan teman-teman selenggarakan. Harus ada kesadaran memang.
Tak ingin direpotkan dengan pikiran-pikiran kotor tentang orang lain, aku kembali ke lantai 2 dan kutemui tumbuhan dalam pot itu lagi. Ada 10 pot dengan macam-macam tetumbuhan dan tanaman di lantai atas ini, tetapi memang tidak terawat dengan baik sehingga kulihat ada tumbuhan yang mati dalam salah satu pot. Ah, aku merasa bersalah. Menyadari bahwa ini adalah kekurang perhatiannku selama ini. Dalam hati aku bergumam.
“Kenapa aku baru sadar. Duh Gusti,”
Secepatnya aku menyirami tanaman-tanaman itu. Ada rasa bahagia dalam hati. Tiga kali aku naik turun tangga mengambil air untuk menyirami tanaman itu meski air di kamar kecil sudah mulai habis. Kosong. Bergegas kutinggalkan tumbuhan itu dan segera aku simpan botol yang tadi kupakai menyiram tanaman. Aku pikir botol ini akan berguna untuk menyiram tanaman itu lagi.
Melangkah pelan di koridor gedung kampus. Meski sudah sore, panasnya jagat ini masih terasa. Tetumbuhan dan pepohonan rindang di pinggir gedung di sekitar halaman kampus membisu bak tak bernyawa. Anginpun tak bergeming. Hujan pun tak kunjung datang.
“Apa kabarmu hujan?”.
Ada rasa sejumput rindu menanti sang hujan. Biarlah sepanjang jalan pulang, aku rapal kata-kata: Apa kabarmu hujan?.

____####____

Hari ini tidak ada agenda pertemuan baik itu rapat atau diskusi. Aku bergegas pulang. Kembali kurasakan penat, panas dan peluh mulai bercucuran di wajah dan tubuhku. Angkutan umum, biasanya kusebut ELP, yang kutumpangi ngetem begitu lama di sebuah pertigaan di kotaku. Sudah 20 menit berlalu, ELP ini tak kunjung jalan. Panas. Berjejal pula. Seorang penumpang, kulihat Ibu-ibu sekitar umur 45 –an tahun menggerutu.
Pir, gage gah mangkat!. Panas kihgerutunya dalam bahasa jawa Cirebon.
Tidak hanya itu, kulihat dua Mahasiswi di jok depan belakang supir terus mengibaskan kipas angin dari plastik dengan tangannya. Ah, memang jagat ini sedang panas. Sepanjang jalan pulang terus ku rapal Apa kabarmu Hujan?.  

____###____

Aku urung beranjak dari teras warung. Tempat aku baru saja menghabiskan semangkok Mie Ayam sambil ber-SMS. Aku usap wajah bepeluh dengan sapu tangan. Keringat bercucuran bukan hanya karena proses metabolisme yang banyak memakan energi sehingga mengeluarkan keringat, tetapi karena memang lagi-lagi udara sedang panas meski hari beranjak sore. Kudapati SMS dari seorang teman masuk ke inbox HP ku:
Lhat Brita di TV. Indonesia merana. Indonesia menangis. Bnyk kbakaran hutan, swah kkeringan, tnah retak2 tak ada air, bnyak desa-desa kekeringan. Ini akbat ulah mnusia yg tak mau mrawat bumi. Saatnya Go Green dg mnanam pohon dan minimalisasi emisi gas efek rumah kaca,”
 Sekilas kubaca. Namun lagi-lagi ini hanya sebatas ajakan yang disampaikan lewat SMS belaka. Tidak ada yang sungguh-sungguh menjalaninya. Perlu bukti?. Ah, akupun kadang masih sulit melakukan itu.
Memang kulihat berita di TV, kebetulan warung Mie Ayam yang aku jajaki menyediakan TV. Betul. Banyak desa-desa di Negeri ini kekeringan tidak ada air, sawah sudah kekeringan hingga petani gagal panen, tanahnya retak-retak besar. Tidak ada lagi petani yang datang mengurus sawahnya. Sekali lagi karena tidak ada air. Jangankan petani, burung-burung yang biasanya bermain di dahan-dahan padi pun sudah lama tak terlihat. Padi mulai mati kekurangan air. Kebun-kebun pun sama saja. Satu-dua tanaman terlihat tegak dengan batang dan daun kering. Tak ada yang ingin berkebun. Ke mana harus mencari air untuk menyiramnya? Untuk minum saja, sudah sulit didapat. Pagi atau sore akan terlihat barisan panjang warga yang mengantri di sebuah mata air, yang kian ke dalam saja air yang bisa diambil dari sana. Begitulah gambaran berita di TV di salah satu tempat di Negeri ini. Miris.
Aku sejenak berpikir akan pola pikir masyarakat di negeri ini. Jika kemarau panjang, inginnya minta hujan. Sampai-sampai musti Sholat Istisqo. Setelah diberi hujan. Banjir pun datang. Mencak-mencak mencaci hujan, menyalahkan hujan. Mengkambing hitamkan hujan. Padahal pola hidup yang tidak ramah lingkungan penyebab banjir. Begitupun bila kemarau panjang, seperti saat ini. Orang-orang mencaci kemarau gara-gara tak ada air, sawah kekeringan, padi pun mati. Kebun-kebun tandus, tanamannya mengering. Mati. Ah, aku pun tidak menampik bahwa kadang aku pun demikian. Tapi setidaknya mesti ada kesadaran dalam melakukan pola hidup ramah lingkungan. Sampai saat ini pun aku masih merapalmu Hujan: Apa kabarmu hujan?.  

____###____

 Apa kabarmu Hujan?. Aku masih merapalmu hingga malam ini tiba. Jujur. Larut menjelang dini, aku benar-benar ingin hujan turun. Setidaknya besok pagi ketika aku bangun, aku rasakan sejuknya udara dan harumnya bau tanah terkena hujan. Kalau saja kamu tahu Hujan, betapa bahagianya aku bila kau menyapa pagiku, menyapa para petani, menyapa negeri ini. Kadang aku berharap hujan akan melupakan musimnya dan turun sepanjang waktu seperti rinduku pada kekasih. Ya. Apakah musim hujan akan segera datang dan kemarau pergi membawa pesan-pesanku untukmu. Membawa pergi debar dada yang begitu cemas setiap kali ponsel berdering nyaring oleh SMS masuk memberitakan keadaan Negeriku ini. Membawa pergi rasa duka setiap kali aku lihat tayangan –tayangan berita di TV memberitakan keadaan Negeri ini. Sehingga barangkali aku akan lupa pernah merapalmu sepanjang hari: Apa kabarmu Hujan?.

 Cirebon, 26 September 2013

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Do'a

Adalah Engkau

Yang beri kekuatan

Sekaligus menghujamku

Dengan Qodo dan Qodar-Mu

Tuhan..............

Engkau ku percaya

Menjawab setiap do’a yang ku panjatkan

Ku menyanjung-Mu dengan butiran-butiran dzikirku

Kau tak goyah dengan Qodo-Mu

Ku merengek dengan untaian Wiridku

Kau terlampau tentukan Qadar-Mu

Ku serapi setiap lantunan ayat-ayat-Mu

Kau hanya beri aku harapan

Ku berontak dalam puji-puji doa’ku

Kau hanya menatapku dingin dengan ke-Maha Besaran-Mu

Ku menangis dan memaksamu dalam sujudku

Kau tertawa dengan segala ke-Maha Agungan-Mu

Apa mau-Mu Tuhan?

Aku yakin

Kau jawab “YA”, Kau beri yang aku minta

Kau jawab “TIDAK”, Kau akan berikan yang lebih baik

Kau jawab “TUNGGU” Kau akan beri yang terbaik

Untukku..........

Dengan keterbatasanku

Hanya satu, berikan padaku

“Ridhoilah aku sebagai Hamba-Mu yang terbatas

Wahai ALLAH, Tuhan yang Maha Tak Terbatas”