Oleh: Uub Ayub Al Ansori
Di awal tahun 2016 ini, kita dihebohkan dengan ledakan
bom di kawasan Thamrin, Jakarta. Peristiwa ini menambah rangkaian peristiwa
terorisme di negara kita. Masih sangat hangat diingatan kita, Kamis 14 Januari
lalu peristiwa tersebut terjadi. Berawal dari sebuah ledakan di depan pos
polisi Sarinah dan gerai kopi Starbuck. Sebanyak enam ledakan terjadi dalam
waktu yang begitu singkat dari pukul 10.40 WIB sampai 11.00 WIB. Bagaimana
tidak membuat orang takut dan was-was?. Lalu siapa yang tega berbuat demikian?.
Apa yang menjadi motivasi mereka untuk melakukan tindakan keji tersebut?.
Seakan menjawab pertanyaan kita semua, beberapa jam
setelah kejadian muncul rilis dari Islamic State of Irak and Syiria
(ISIS), kita tahu kelompok ini merupakan kelompok Islam garis keras atau
radikal yang sering melakukan tindakan kekerasan mengatasnamakan agama, bahwa
mereka bertanggung jawab atas ledakan bom di Jakarta. Hal ini cukup mengagetkan
mengingat aksi terorisme dengan mengatasnamakan agama di Indonesia memang sudah
tidak kencang terdengar beberapa tahun lalu. Kalaupun terdengar tidak pada
tindakan teror namun sebatas ancaman dan ideologisasi lewat media. Kejadian ini
seolah-olah kejutan bagi kita yang mungkin sedang lengah. Terbukti
kejadian-kejadian terorisme di Indonesia sebelumnya memang tidak dilakukan
secara teratur dan pasti, tiba-tiba terjadi, dan merenggut korban jiwa.
Untungnya, pemerintah lewat polisi dan tentaranya cepat tanggap menangani kejadian
teror di Thamrin kemarin.
Namun sangat disayangkan, sebagian masyarakat
Indonesia menanggapi kasus yang masuk kategori terorisme ini dengan cukup
apatis. Tindakan terorisme kerap dikait-kaitkan dengan fenomena politik negara.
Entah itu tudingan pengalihan isu atau unsur kesengajaan yang dibuat-buat
penguasa. Kalau memang itu benar, sungguh tidak berprikemanusiaan. Kalau kita
mau berpikir lebih dalam, apapun tindakan kekerasan terorisme, kita semua harus
benar-benar mengutuknya, lalu berikhtiar sekuat tenaga agar kejadian tidak
berulang dengan menggali dan menemukan akar masalahnya. Setelah itu kita
bersama-sama mencabut akar tersebut hingga tuntas. Bagaimanapun juga kejadian
di Jakarta sangat menohok kita, apalagi umat Islam yang menjadi mayoritas
penduduk di Indonesia, setelah ada pengakuan dari ISIS. Khususnya lagi menohok
kaum muda Indonesia karena para pelaku peledakan bom masih berusia 20-30 an
tahun.
Terbukti berdasarkan kajian yang dilakukan Setara
Institute dan The Wahid Institute, juga Fahmina Institute menyebut bahwa Indonesia merupakan negara yang rawan dengan tindakan kekerasan
dengan mengatasnamakan agama. Dimana para pelaku teror berusia muda. Bukti
bahwa usia muda sangat rentan menjadi pelaku teror adalah data dari Setara
Institute bahwa satu dari 14 siswa di Jakarta dan Bandung setuju atas
keberadaan Islamic State (IS). Sebelumnya, riset MAARIF Institute pada 2011
tentang pemetaan problem radikalisme di SMU negeri di empat daerah (Pandeglang,
Cianjur, Yogyakarta, dan Solo), yang mengambil data dari 50 sekolah,
mengkonfirmasi fenomena tersebut. Menurut riset ini,
sekolah menjadi ruang yang terbuka bagi diseminasi paham apa saja. Karena pihak
sekolah terlalu terbuka, kelompok radikalisme keagamaan memanfaatkan ruang
terbuka ini untuk masuk secara aktif mengkampanyekan pahamnya dan memperluas
jaringannya.
Kelompok-kelompok keagamaan yang masuk mulai dari yang
ekstrem menghujat terhadap negara dan ajakan untuk mendirikan negara Islam,
hingga kelompok islamis yang ingin memperjuangkan penegakan syariat Islam
(Jurnal Maarif, Vol. 8. No. 1, Juli 2013). Untuk wilayah Ciayumajakuning
(Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan), Fahmina Institute merilis dalam
kurun waktu tahun 2012-2015 ditemukan 33 tindakan pelanggaran dan kekerasan
dengan mengatasnamakan agama. Belum lagi pengaruh organisasi-organisasi
kemahasiswaan di kampus yang mengajak pada perilaku intoleran berbau radikalis
mengarah pada terorisme, seolah dibiarkan begitu saja menjajakan pengaruhnya.
Temuan tersebut cukup mengkhawatirkan. Pasalnya,
bangsa Indonesia yang majemuk dan hidup dalam naungan Pancasila dan UUD 1945
menyisakan persoalan pelik seperti itu. Dari catatan-catatan tersebut diatas
motif dari tindakan-tindakan kekerasan memang berasal dari perbedaan paham di
internal umat beragama, khususnya umat Islam. Perbedaan terkait praktek ibadah,
praktek bernegara, dan aqidah. Kita masih sering mendengar bahwa Pancasila dan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan “thagut”/setan, sehingga
sistem negara mesti berdasarkan khilafah Islamiyyah. Hukum positif di
negara kita mesti dirubah dengan penerapan syari’at Islam. Jika tidak demikian
maka negara tersebut beserta penduduknya menjadi kafir. Jika kafir maka halal
darahnya. Pernyataan demikianlah yang sering ISIS propagandakan. Yang kemudian
dijadikan dalil atas keharusan untuk melakukan tindakan teror dan kekerasan di
negara tersebut termasuk Indonesia. Padahal menjaga nyawa manusia (hifdz
al-Nafs) merupakan bagian penting dari tujuan universal syari’at Islam (maqashid
al-Syari’ah) selain merawat agama (hifdz al-Din), merawat akal (hifdz
al-‘Aql), merawat keturunan (hifdz al-Nasl), merawat harta (hifdz
al-Mal), kebebasan (al-Hurriyah), dan kesetaraan (al-Musawa).
Ikhtiar
Menangkal Radikalisme
Persoalan tersebut sudah saatnya menjadi agenda pemuda
Indonesia hari ini. Kita harus segera menyingsingkan lengan baju dan
mencurahkan segala kekuatan untuk berkontribusi secara nyata dalam mengurai
persoalan radikalisme yang tumbuh dalam tubuh umat. Fenomena kekerasan
atas nama agama inilah sering kali dikenal dengan sebutan radikalisme agama.
Abdul Moqsit Ghazali malah mengatakan bahwa Radikalisme agama adalah akar dari
terorisme. Fenomena radikalisme agama ini dapat terlihat dari tindakan-tindakan
anarkis yang mengatasnamakan agama dari suatu kelompok terhadap kelompok lain
yang berbeda keyakinan dan pemahaman dengan kelompok tersebut.
Lalu bagaimanakah peran pemuda?. Apakah hanya diam
saja melihat kejadian seperti ini dan berharap damai akan datang dengan
sendirinya?. Tentu kita perlu melakukan kerja-kerja berupa ikhtiar untuk
menangkal radikalisme-terorisme ini. Diam bukan berati emas dalam perkara ini.
Sebagai pemuda sepantasnya kita perlu untuk menangkal adanya kekerasan agama
atau terorisme dengan berbagai ikhtiar. Setidaknya ada tiga ikhtiar yang
penulis coba utarakan, pertama memberikan pemahaman dan penjelasan
kepada masyarakat khususnya pemuda tentang kedamaian, tidak ada ajaran agama
yang menganjurkan umatnya untuk berbuat kekerasan dan teror. KH. Maman
Imanulhaq dalam tulisannya yang berjudul “Menyalakan Obor Toleransi”
menegaskan, Agama harus menjadi spirit bagi tumbuh suburnya nilai kesucian,
kasih sayang, dan pelayanan terhadap kemanusiaan bukan justru memantulkan
kebencian, keputusasaan, permusuhan, terorisme, dan intoleransi. Semua agama
mengajarkan umatnnya untuk selalu berbuat baik kepada sesama dan saling menjaga
rasa aman. Agama apapun sangatlah menjunjung tinggi nilai kedamaian dan
menghormati antar umat beragama.
Kedua, menjaga toleransi. Toleransi antar umat
beragama merupakan hal sangat penting untuk kita jaga dan lestarikan. Dengan
adanya toleransi ini pastinya akan tercipta kehidupan yang damai dan harmonis
tanpa adanya rasa permusuhan dan prasangka buruk. Islam sendiri sudah toleran
sejak lahir. Islam berarti kepasrahan, kedamaian, dan keselamatan. Apalagi
umatnya, mesti bersikap toleran sejak dalam pikiran apalagi perbuatan.
Ketiga, mengedepankan dialog antar agama. Dialog bukan
debat. Dialog mengedepankan persamaan, bahwa semua agama mengajak pada
kebaikan, sedangkan debat mengedepankan perbedaan. Kalau perbedaan yang
dibicarakan maka tidak akan pernah menemukan titik temu sampai gontok-gontokkan
sekalipun. Dengan adanya dialog antar agama kita akan semakin mengerti makna
pluralitas. Sehingga menambah wawasan keilmuan kita dalam meyikapi setiap
persoalan hubungan antar umat beragama.
Dengan ketiga ikhtiar di atas, peran pemuda kedepan,
dapat mencegah dan mengurai persoalan radikalisme dan terorisme di Indonesia.
Pada posisi ini, semua elemen agama dan aliran kepercayaan mesti bekerjasama.
Mengapa demikian? pasalnya, radikalisme dan terorisme bukan hanya masalah bagi
umat muslim (Islam), tapi juga bagi umat agama Yahudi, Katolik, Kristen,
sebagaimana yang pernah diutarakan Karen Armstrong dalam A History of God-nya.
Wallahu A’lam Bi al-Showab.
** Tulisan pernah dimuat dalam http://fahmina.or.id/peran-pemuda-dalam-menangkal-radikalisme-terorisme/
dan Koran Harian Radar Cirebon