Selasa, 25 Juli 2017

Ramadan, Fathu Makkah, dan Pesan Perdamainan **

Oleh: Uub Ayub Al Ansori

Tepat tanggal 10 Ramadan 14 abad silam, Rasulullah Muhammad SAW beserta para sahabatnya memasuki Makkah dengan tanpa darah menetes sedikit pun. Meskipun di pihak kafir Quraisy sangat ketakutan akan terjadinya konflik berdarah.

Kekhawatiran mereka cukup beralasan. Bagaimanapun, menurut Husain Haikal dalam bukunya “Sejarah Hidup Muhammad”, Makkah dikepung melalui empat penjuru yang terdiri dari arah bawah lembah dipimpin Khalid bin Walid, arah atas bukit Kada’ dan Al Hajun dipimpin Zubair bin Awwam, arah tengah lembah dipimpin Abu Ubaidah Al Jarrah, dan dari arah barat dipimpin Sa’ad bin Ubadah.
Alasan lainnya adalah tradisi perang di Arab. Di mana semua laki-laki akan dieksekusi mati; perempuan dan anak-anak akan dijadikan budak. Mengingat persitiwa ini kait-kelindan dengan dikhianatinya perjanjian Hudaibiyah oleh kafir Quraisy yang merugikan Nabi dan para sahabatnya. Maka wajar Nabi melakukan pembalasan dengan menyerang Makkah.

Namun kekhawatiran-kekhawatiran itu dijawab lain oleh Nabi dan para sahabatnya. Alih-alih balas dendam, Nabi malah memilih jalan kasih sayang, Jalan perdamaian. Meski Makkah sudah dikepung dari berbagai arah, sedikitpun Nabi tidak menginstruksikan menyerang apalagi membunuh. Nabi lebih memilih berunding daripada pertumpahan darah.

Setelah berunding dengan Abu Sufyan, salah seorang pemimpin Quraisy, Nabi mengatakan siapa saja yang memasuki pekarangan Ka’bah, ia aman. Siapa saja yang masuk ke rumahnya sendiri dan menutup pintu, ia aman. Bahkan untuk menghormati Abu Sufyan sebagai pemimpin Quraisy, Nabi menambahkan, siapa saja yang memasuki rumah Abu Sufyan, maka ia aman.

Setelah itu, Nabi memimpin pasukannya dan meminta para pemimpin pasukan dari empat penjuru menyatakan “Al Yaumu Al Marhamah (Hari ini adalah Hari Kasih Sayang)”. Namun Sa’ad bin ‘Ubadah, salah seorang pemimpin pasukan, berteriak “Al Yaumu Al Malhamah (Hari ini adalah Hari Pertumpahan Darah)”. Sontak semua kaget dan merasa ketakutan terutama kaum kafir Quraisy.

Menurut Prof KH Nasaruddin Umar, saat itu Abu Sufyan melakukan protes. Namun Nabi segera menjawab, “Tidak begitu maksudnya. Sahabat itu cadel. Tidak bisa menyebut huruf “ra”, sehingga dibaca “lam”.

Sedangkan menurut Husain Haikal, saat itu Nabi langsung menegur Sa’ad bin Ubadah dan mengambil bendera pasukan dari tangan Sa’ad. Kemudian diserahkan kepada Qais –anaknya Sa’ad- yang pembawaannya lebih tenang daripada ayahnya.

Dalam suasana khidmatnya bulan Ramadan, Nabi memasuki Makkah beserta para sahabatnya menuju K’bah. Kemudian melakukan thawaf.

Bilal bin Rabbah yang ikut bersama rombongan lantas melantunkan Adzan yang begitu merdu. Meski saat itu Bilal sempat di-bully karena ia berkulit hitam dan seorang budak. Namun Nabi tidak membiarkan rasisme terjadi di antara umatnya. Lantas Nabi berkhutbah di hadapan para sahabat dan sebagaian masyarakat Makkah yang memasuki pekarang Ka’bah –sekarang Masjidil Haram-. Khutbah yang penuh dengan cinta kasih, tanpa hoax apalagi ujaran kebencian. Khutbah yang menentramkan semua jiwa yang mendengarkannya.

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, serta menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling takwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.

Ayat 13 surat Al Hujurat di atas menjadi pembuka khutbah Nabi sebagai jawaban atas ejekan kepada Bilal. “Ayat modern” –meminjam istilah Prof Nadirsyah Hosen- ini telah jauh mendahului teori-teori social dan teori-teori psikologi kalangan ilmuwan dan filsuf abad modern.

Masih dalam khutbahnya, Nabi memberikan amnesty kepada seluruh penduduk Makkah. Tanpa memandang agama, suku, dan status sosialnya.

Fad-habuu, wa antum thulaquu (Pergilah, sesungguhnya kalian telah bebas)” ujar Nabi.

Peristiwa bersejarah ini dikenal dengan Fathu Makkah atau Pembebasan Makkah. Fathu Makkah menjadi saksi penyelesaian konflik paling manusiawi. Nabi tidak memaksakan ajaran agama kepada masyarakat Makkah. Tidak ada pembunuhan. Beliau justru menawarkan jalan damai. Perdamaian dijunjung tinggi. Dendam dibalas kasih sayang. Bahkan pembesar Quraisy pun mendapat pemaafan dari Nabi.

“Muhammad sangat mengedepankan prinsip mencegah tindak kekerasan di antara umat, karena Islam yang berarti berserah di hadapan Tuhan diambil dari kata Salam yang memiliki arti perdamaian,” ungkap Karen Armstrong saat menggambarkan peristiwa Fathu Makkah dalam bukunya “Muhammad Sang Nabi”.

Fathu Makkah menjadi rekonsiliasi paling fenomenal yang melahirkan keutuhan dan kedamaian. Dunia mengetahui dan menyaksikan kearifan dari seorang Nabi Muhammad SAW.

Kita harus berkaca pada Fathu Makkah. Sebagai muslim yang mayoritas di Indonesia dengan beragam akan suku, agama, ras, dan budaya mestilah meneladani sifat dan sikap Nabi. Segala persoalan yang berhubungan dengan SARA tidak lantas kemudian menjadi konflik yang berkepanjangan. Sudah saatnya kita saling memahami satu sama lain. Sisi kemanusiaan harus dikedepankan. Perbedaan tidak lantas menjadi persaingan dan permusuhan. Perbedaan justru harus menjadi kekuatan. Kekuatan untuk melawan segala bentuk terror dan ancaman. Dengan demikian akan menjadi sebuah kekuatan bagi Indonesia yang damai penuh kasih sayang. Wallhu A’lam Bisshowabi.

Majalengka, 4 Juni 2017


** Tulisan pernah dimuat dalam kolom “Tausiyah Ramadan” Radar Cirebon hal. 1 (19) Edisi Senin, 5 Juni 2017.

Soal Menghormati yang (Tidak) Puasa **

Oleh: Uub Ayub Al Ansori

Setiap bulan Ramadan datang bukannya tenang dan khusuk, malah seringkali kita meributkan soal menghormati dan tidaknya orang yang berpuasa. Begitupun sebaliknya untuk yang tidak berpuasa. Apa pentingnya menghormati orang yang berpuasa? Apa pula pentingnya menghormati orang yang tidak berpuasa?

Ternyata keharusan menghormati puasa sudah ada sejak dulu. Sejak paruh 1919. Menghormati puasa zaman pendudukan Belanda dan Jepang diwujudkan dalam bentuk meliburkan sekolah selama bulan puasa. Alih-alih menghormati, ternyata Belanda dan Jepang ada maunya.

Nagi Belanda, berurusan dengan Islam sama saja berurusan dengan perdagangan dan perekonomian. “Seyogyanya meenghormati pesantren-pesantren di Jawa, pada umumnya terletak di tengah lautan kebun tebu, agar supaya santri Buntet di Cirebon atau Tebuireng di Jombang tidak mengobrak-abrik pabriksambil menggulung kain sarung hingga lutut. Gula, yang merupakan gabus tempat kerajaan Belanda mengapung, tidak boleh terancam,” begitu tulis Mahbub Djunaidi dalam esainya yang berjudul “Bulan Puasa Anak-anak Sekolah”.

Lain Belanda, lain pula dengan Jepang. Saat pendudukan Jepang, menghormati muslim yang sedang puasa, lebih pada motif kekuasaan secara politik agar tidak begitu banyak konflik dengan Islam. “pura-pura bersungguh hati demi Asia Timur Raya.” tulis mahbub jeli.

Kepura-puraan memang merugikan. Maka pasca kemerdekaan, Mahbub, tidak ingin lagi libur puasa dijadikan ajang seolah-olah menghormati yang sedang puasa. Ia mengingatkan, “Karena itu, kamu harus belajar keras, tak terkecuali di bulan puasa. Satu hari terlewat berarti rugi dua puluh lima tahun”.

Kepura-puraan dengan dalih menghormati yang sedang puasa itu dijawab sudah oleh Gus Dur. Saat jadi Presiden, beliau meliburkan sekolah selama Ramadan penuh. Tidak ada motif dan tidak ada kepentingan. Apalagi dengan dali menghormati yang sedang puasa.

Dengan dalih menghormati orang yang sedang puasa tidak jarang merugikan orang lain. Pemaksaan penutupan warung makan, pemaksaan tidak boleh makan-minum di depan orang yang sedang puasa. Semua serba tidak boleh, demi menghormati yang sedang puasa. Padahal meski ada yang makan-minum di depan kita yang berpuasa, tidak menjadikan kita lantas ikut menikmati. Anggap saja itu semua godaan bagi yang sedang puasa. Semakin banyak godaan dan kita tahan akan godaan itu, maka iman kita dianggap kuat. Tahan godaan, iman kuat.

Nah, demi menghormati orang yang tidak puasa tidak jarang kita juga terkadang –maaf- lebay. Alih-alih bersikap toleransi kita diharuskan menghormati yang tidak berpuasa. Padahal yang tidak berpuasa pun tidak menuntut untuk dihormati. Justru sebaliknya, yang tidak berpuasa merasa perlu menghargai yang sedang puasa.

Contoh kecil jika memang harus saling menghormati. Bukankah dengan menutup warung pakai tikar agar yang makan-minum tidak terlihat oleh yang sedang puasa merupakan cara menghormati mereka kepada yang berpuasa. Bukankah membiarkan warung buka measki harus pakai tirai agar orang-orang yang tidak berpuasa bias menikmati makan-minum, juga merupakan cara menghormati mereka yang puasa kepada yang tidak puasa.

Sebetulnya semua ini terjadi begitu saja, berdasarkan kesadaran diri masing-masing, tanpa perlu dikomando, apalagi diajari dengan ungkapan-ungkapan suci agama. Karena sebagai warga Indonesia yang baik dan ini sudah menjadi watak dari sejak zaman nenek moyang bahwa kita diajarkan untuk saling menghargai.

Puasa Hanya untuk Allah SWT

Kita pastilah ingat sebuah hadits qudsi yang menyatakan bahwa puasa hanya milik Allah SWT.

…… Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya. Disebabkan dia (orang berpuasa) telah meninggalkan syahwat dan makanannya karena-Ku …. (HR. Bukhori-Muslim).

Dapat kita pahami bahwa puasa merupakan ibadah khusus antara manusia dengan Tuhannya. Yang pantas dihormati hanyalah Allah SWT karena puasa milik-Nya. Dengan puasa seharusnya kita terhindar dari riya, ujub, dan dengki/sombong. Namun alih-alih ingin dihormati terkadang kita merasa sombong. Merasa bahwa diri kitalah yang paling benar dan harus dihormati lantaran sedang menjalankan tugas suci puasa.

Kita seakan lupa bahwa puasa semestinya menghindarkan diri dari hal-hal negative. Seperti hadits di atas bahwa puasa menghindarkan kita dari syahwat. Syahwat dari merasa benar sendiri, merasa paling mulia, dan merasa paling dimuliakan. Padahal hanya Allah yang tahu seberapa jauh kita ikhlas berpuasa untuk-Nya. Karena itu hanya Allah lah yang pantas memuliakan dan dimuliakan.

Saat puasa hanya Allah lah yang tahu mereka yang puasa atau tidak. Kita juga tidak tahu seseorang tidak puasa bukan karena memang ia tidak ingin puasa. Islam memberikan hak privilege bagi orang tertentu untuk boleh tidak puasa, yaitu orang sakit, musafir –orang yang sedang dalam perjalanan jauh-, anakanak, perempuan yang sedang menyusui atau hamil, dan orang jompo. Tentunya dengan konsekuensi mengganti/qodo puasa di lain waktu atau dengan membayar fidyah.

Hal ini, mestinya dipahami oleh kita para pemeluk agama, apalagi ormas yang membawa symbol agama. Allah SWT menghendaki kemudahan bagi umatnya, dan tidak menghendaki kesukaran. Karena puasa adalah milik-Nya, maka tanpa kita melakukan sebentuk pemaksaan untuk menghormati yang sedang puasa atau sebentuk rasa toleransi untuk menghormati yang tidak puasa, Allah SWT Maha Mengetahui kita yang benar-benar menjalankan ibadah puasa karena-Nya.

Lantas masih perlukah menghormati itu dieksplisitkan? Ah, rasa-rasanya tidak perlu.

“Jika saya harus menjawab, saya akan mengatakan: saya takut dihormati,” tulis Goenawan Mohammad tempo hari dalam capingnya yang ia beri judull “Puasa”.


Majalengka, 28 Mei 2017

Puasa Sebagai Sarana Pendidikan Jasmani-Rohani **

Oleh: Uub Ayub Al Ansori

Bulan Ramadan telah tiba. Bulan dimana segenap orang Islam bersuka-cita di dalam melaksanakan kewajiban agama yaitu puasa. Besar-kecil, tua-muda, laki-laki dan perempuan, semuanya larut di dalam suasana religious yang tercipta ketika bulan sabit/hilal muncul menandai permulaan Ramadan atau ketika Bapak Menteri Agama mengumumkannya. Umat Islam di seluruh penjuru dunia menyongsong Ramadan dengan penuh bahagia dalam suasana takzim.

Lepas dari kontroversi soal penentuan awal Ramadan, sebagai santri, penulis taklid saja kepada Syekh Salim bin Sumair Al Hadrami mushonif kitab Safinatun Najah. Saat kecil, kita, mungkin pernah mengaji kitab Safinah, dimana terdapat pembahasan Puasa dengan Bab tersendiri. Sedikit penulis kutip, “Faslun. Yajibu Shaumu Ramadana Bi-Ahadi Umuri Khomsatin. Ahaduha Bi-Kamali Sya’bana Tsalatsina Yauman. Wa Tsaniha Bi-Ru’yati Al Hilali Fi Haqqi Man Ro-ahu Wa In Kana Fasiqon. Wa Tsalitsuha Bi-Tsubutihi Bi Haqqi Man Lam Yarohu Bi “Adli Syahadatin…. Dst,”.

Kurang lebih maknanya begini, “Pasal (kata ini kalau ditarkib panjang-red). Diwajibkannya Puasa Ramadan dengan salah satu sebab yang lima. Pertama, sempurnanya bulan Sya’ban yaitu tiga puluh hari. Kedua, melihat bulan/hilal bagi seseorang yang benar-benar melihatnya, meski ia orang fasik. Ketiga, melihat hilal dapat ditetapkan bagi orang yang tidak melihat hilal dengan sebab adanya persaksian orang adil dan dapat dipercaya bahwa ia melihat hilal… dst.

Jadi kalau salah satu sebabnya sudah mencukupi maka kita sudah diwajibkan puasa pada saat itu juga. Di Indonesia, sebagai warga Negara yang baik mesti manut pada pemerintah yang dianggap adil dalam menentukan Bulan Ramadan lewat rukyatul hilal di seluruh penjuru Indonesia melalui tim rukyat dan hisab Kemenag.

Jika Menteri Agama sudah mengumumkan di televise secara live bahwa hasil sidang itsbat menyatakan hilal tampak, maka kita berbondong-bondong ke Masjid atau Tajug untuk berjama’ah Tarweh. Lantas paginya kita sahur bersama keluarga. Sungguh saat itu kita benar-benar telah memasuki bulan puasa.

Puasa Sarana Pendidikan Jasmani dan Rohani

Puasa merupakan perintah Allah untuk kita lakanakan, sebagaimana yang juga dilaksanakan umat-umat Islam terdahulu sebelum Nabi Muhammad mendapat risalah kenabian. Tujuannya agar manusia bertakwa kepada Allah. Menjadi orang saleh secara personal dan social. Kesalehan personal lebih pada ibadah yang bersifat ritual seperti shalat, sedangkan kesalehan social dicirikan denganrelasi kasih saying kepada orang lain.

Selama Ramadan kita melaksanakan puasa dari mulai waktu imsak hingga Maghrib.ketika itu kita diharuskan menahan lapar dan haus dengan tidak makan dan minum. Dengan puaa kita lebih merasakan arti seteguk air. Dengan puasa kita menjadi tahu manfaat sepiring nasi bagi perut yang lapar. Dengan puasa kita dapat merasakan bagaimana haus dan laparnya si miskin setiap harinya. Dengan puasa juga kita menjadi mengerti arti dari kesabaran, menahan nafsu, dan menahan rasa ego.

Prof. KH Said Aqil Siradj memberikan wejangan kepada kita bahwa puasa tidak hanya berurusan dengan kenyang dan lapar. Jika ditelusuri lebih jauh, tulis Kiai Said, kata sha-wa-ma yang berarti menahan juga merujuk pada aktivitas batiniah. Artinya, puasa juga menahan hati dari berbagai hal negative yang bisa merusak jiwa seperti iri, dengki, riya, sombong, ujub, dan penyakit hati lainnya. Karena itu, dalam puasa, seorang Muslim dilatih untuk menyinergikan antara dua eksistensi yang berbeda, yaitu jasmaniah dan rohaniah. Sebab, di dalam rohani kita terdapat ide-ide kebaikan yang nanti diejawantahkan oleh jasmani dengan sikap hidup keseharian.

Sementara itu, Cak Nur –sapaan Nurcholis Madjid- dalam bukunya Dialog Ramadan menulis begini “Ibadah puasa merupakan bagian dari pembentuk jiwa keagamaan seorang Muslim, dan menjadi sarana pendidikannya di waktu kecil dan seumur hidup”.

Betapa tidak, saat kecil, kita tidak mau ketinggalan di hamper seluruh kegiatan Ramdan, dari acara sahur sampai berbuka puasa. Lebih-lebih di saat tarawih. Kita merasa senang bias berkumpul dengan teman-teman di Masjid atau Tajug. Tarawih bersama sambil “mengganggu” satu sama lain, saling senggol kanan-kiri, bisik sana-bisik sini. Para orang tua ada yang memahami tingkah kita waktu itu, tapi ada juga yang tidak tahan untuk tidak membentak atau menghardik. Biasanya kita tidak peduli alias bodo amat. Kalaupun terpaksa, kita akan pindah ke pelataran di luar Masjid/Tajug. Dan ini berarti “ancaman” bahwa salat tarawih akan mulai sepi dari teriakan ‘Aamiin” dari kita sebagai anak-anak, yang diakui atau tidak teriakan ini ikut “menyemangati” suasana salat tarawih yang panjang sebanyak 20 rakaat atau 8 rakaat plus witir 3.

Lalu diakui atau tidak justru kita –sebagai anak-anak- lah yang meramaikan masjid/tajug sebulan penuhy. Lihat saja para jama’ah saat tarwih hari ketujuh mulai menghilang satu persatu. Mang Jaja sudah tidak kelihatan lagi –mungkin sedang mengejar target bekerja sampai malam untuk persiapan lebaran, sehingga tidak sempat salat berjama’ah. Pak Eme dan Abah Udin sudah tidak tampak –mungkin mereka lelah karena sudah tua. Yang masih tetap eksis ya anak-anak yang suka bikin rebut, yang karena keributannya itu masjid/tajug menjadi tetap “hidup”.

Pada akhirnya bulan puasa menjadi penuh hikmah bagi kita umat Islam. Sebagai Muslim, kita tanpa perlu dipaksa-paksa biasanya muncul sendiri kesadarannya bahwa sebagai manusia beragama kita punya kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikan, baik kepada Allah maupun sesama manusia. Saat puasa, yang malas shalat, misalnya barangkali agak mikir-mikir, sehingga rajin shalat. Kita pasti pernah mendengar “tidak ada gunanya puasa kalau tidak shalat” atau “puasa tanpa shalat pahalanya tidak dapat”. Saat bulan puasa juga kita merasakan berbagi dengan si miskin melalui zakat. Padahal member si miskin bias kita lakukan setiap hari melalui sedekah. Kita juga semakin rajin membaca ayat suci Al-Qur’an. Lembar demi lembar, one day one juz, Al Qur’an kit abaca hingga khatam dalam sebulan. Padahal pada bulan-bulan lainnya, Al Qur’an hanya menjadi pajangan di lemari.

Mudah-mudahan puasa tahun ini lebih berkah dari tahun-tahun yang lalu. Lebih giat dan semangat. Pastinya puasa kita memberikan dampak yang baik bagi jasmani dan rohani kita. Sehingga kita benar-benar mendapatkan apa yang kanjeng Nabi Muhammad sebut sebagai “Farhataani”, yaitu farhatun ‘inda fitrih, wa farhatun ‘inda liqoi’ robbih. Amin. Wallhu A’lam Bisshowabi
   
Majalengka, 26 Mei 2017


** Tulisan pernah dimuat dalam kolom Opini HU Kabar Cirebon Hal. 12 edisi Senin 29 Mei 2017

Selasa, 11 Juli 2017

Terorisme, Komik, dan Anak-anak


Oleh Uub Ayub Al-Ansori

Diakui atau tidak terorisme hampir ada pada semua agama. Tentu bukan agama yang mengajarkan terorisme, tetapi pemeluk agamanya yang salah memahami agamanya. Harus diyakini bahwa semua agama mengajarkan kebaikan. Tidak ada agama di dunia ini yang mengajak pemeluknya untuk mencuri, membenci, memukul, apalagi membunuh. Aqidah boleh beda tapi inti dari ajaran agama adalah mengajak pada kebaikan.

Celakanya, terorisme berbaju agama sudah bergerak di Indonesia. Salah satunya teror yang dilakukan ISIS. Sebut saja, baru-baru ini terjadi teror di Masjid Falatehan. Masjid yang notabene berada persis di kompleks Mabes Polri. Dua orang anggota kepolisian terkena tusuk si pelaku. Beberapa bulan lalu kita juga dihebohkan dengan teror ISIS di Kampung Melayu dan kawasan Sarinah.

Fenomena terorisme ISIS yang mengklaim apa yang mereka lakukan adalah sesuai ajaran Islam tentu tidak bisa dibenarkan. Islam tidak mengajarkan kekerasan dan pembunuhan apalagi pemboman. Pemboman yang marak akhir-akhir ini diakui merupakan gerakan ISIS. Tentu ini merupakan ancaman agar kita takut dan tunduk pada ISIS. Sebagai Muslim, kita harus mengatakan dengan lantang bahwa kita tidak takut dan ISIS bukan ajaran Islam. Justru kita harus memberikan pemahaman kepada dunia bahwa Islam mengajarkan cinta kasih sesama umat beragama apalagi sesama umat seagama.

Lalu apa hubungannya terorisme dengan komik dan anak-anak seperti judul di atas?

Kita harus menyadari sedini mungkin, perkara terorisme bukan sekadar urusan orang dewasa. Perkara terorisme juga menyasar pada anak-anak. Di Suriah dan Irak, ISIS begitu gencar mendoktrin anak-anak pada pemahaman keagamaan yang salah. Anak-anak sudah diajarkan untuk melakukan teror. Bahkan baru-baru ini viral di media sosial ada seorang ayah di NTB mengajarkan kekerasan atas nama agama kepada anaknya yang masih kecil. Ini gila, mengingat si ayah berprofesi sebagai guru. Bukan tidak mungkin hal yang semacam terjadi di daerah lain di Indonesia. Miris memang.

Bagaimana caranya? Selain di sekolah dan lembaga pendidikan yang harus mengajarkan pentingnya bersikap toleransi dan bahayanya terorisme ISIS. Pemahaman bahayanya ISIS juga harus digalakkan melalui komik.

Penulis merupakan anak MI/SD zaman 90-an menjelang milenium 2000. Dapat dibilang zaman berjayanya komik-komik khas Indonesia. Anak 90-an pasti masih ingat komik horor petualangan Petruk dan Gareng karya Tatang S. Bagi Penulis, Tatang S ini adalah legendanya komik, yang bisa dinikmati kalangan anak-anak ekonomi menengah ke bawah. Harganya terjangkau. Komik Petruk ini begitu digemari anak-anak. Selain seram dan dibubuhi cerita lucu, komik ini juga kadang mengajarkan watak keagamaan khas Indonesia. Selain menampilkan hantu semacam kuntilanak, sundel bolong, pocong, dan tuyul, komik ini juga menampilkan bagaimana peran penting tokoh agama di perkampungan. Petruk dan Gareng terkadang harus mendapat taushiyah dari Pak Ustadz karena jarang shalat makanya diganggu kuntilanak. Hal-hal ini menjadi penting bagi pembentukan karakter anak-anak.

Tidak hanya komik Petruk. Kita juga bakal menemukan komik horor lainnya yang bernuansa siksa neraka. Komik semacam ini biasanya membuat Penulis dan teman-teman merinding. Bukan main seramnya ilustrasi neraka di komik tersebut. Sedikit nostalgia, sampai-sampai Penulis juga teman-teman waktu itu segera tobat dan rajin mengaji. Betapa tidak, komik ini dibaca bersama-sama terkadang giliran, jadi seisi kelas dapat membaca semua.

Biasanya komik-komik ini akan beredar menjelang bahkan saat bulan Ramadhan. Tujuannya tentu agar komik terjual banyak karena uang jajan anak MI/SD tidak dibelikan makanan atau minuman. Yang pasti, si penerbit juga sangat mulia karena dengan membaca komik-komik tersebut anak-anak akan rajin beribadah. Minimalnya jadi rajin mengaji di madrasah diniyah.

Demikian, menurut Penulis, komik-komik semacam begini harus digalakkan kembali. Anak-anak pasti akan suka. Mesti ada penerus-penerus Tatang S di negeri ini. Hanya saja tema-temanya diganti menjadi Bahaya ISIS, Kita Tidak Takut ISIS, dan lain sebagainya. Di mana di situ ditampilkan sosok kiai atau ustadz kampung yang mengajak pada ajaran agama yang benar, penuh kasih sayang, penuh toleransi, dan pesan perdamaian.

Tetapi kita beruntung. Pasalnya, untuk membentengi anak-anak dari otak buntungnya teroris ISIS, NU punya komikus kawakan. Namanya Mas Aji Prasetyo. Seperti yang ditulis Abdullah Alawi di NU Online, Mas Aji sudah membuat komik dengan judul Apa Sih Maunya NU? Komik bisa menjadi semacam kontra radikalisme. Komik membuat penikmatnya merasa tenang dan damai.

Kita patut bersyukur dengan hadirnya komik-komik yang menyebarkan atau mengampanyekan perdamaian tersebut. Penulis yakin dengan hadirnya komik-komik semacam begitu akan membekas di hati anak-anak, pun hingga dewasa. Wallahu a'lam bis shawab.

** Tulisan pernah dimuat dalam https://www.nu.or.id/post/read/79356/terorisme-komik-dan-anak-anak (Rabu, 05 Juli 2017)

Tantangan IPNU di Era Digital: Antara Generasi Millennial dan Generasi Z



Oleh : Uub Ayub Al-Ansori

Telinga kita mungkin akrab dengan istilah generasi millennial, tapi masih cukup asing dengan istilah generasi Z. Menurut Renald Kasali, generasi milenial adalah mereka atau kelompok manusia yang lahir pada tahun 1981-an hingga tahun 1994. Ada yang bilang antara 1981 dan 2000-an. Mereka disebut millennial karena merupakan satu-satunya generasi yang pernah melewati milenium kedua, sejak Teori Generasi ini diembuskan pertama kali oleh Karl Mannheim pada 1923.

Sedangkan generasi Z adalah kelompok manusia yang lahir pada tahun 1995-an hingga tahun 2010. Disebut juga i-generation, generasi net atau generasi internet. Mereka sejak kecil sudah mengenal dan akrab dengan teknologi canggih. Semua yang ada pada generasi millennial mereka punya, bahkan mereka sudah mampu mengaplikasikan semua kegiatan dalam satu waktu, dan apapun yang dilakukan kebanyakan berhubungan dengan dunia maya.

Generasi ini sangat dipengaruhi oleh munculnya smartphone, internet, dan jejaring media sosial, sehingga memiliki pola pikir, nilai-nilai, dan perilaku yang serba instan dan serba cepat.

IPNU di Antara Generasi Millennial dan Generasi Z
Hubungannya dengan IPNU, seperti tertuang dalam PRT bahwa usia anggota dan kader IPNU antara 12 sampai dengan 27 tahun. Maka, generasi millennial di IPNU sudah memasuki usia 24-27 tahun. Sedangkan generasi Z sudah memasuki usia 12-23 tahun. Jika mengikuti Teori Generasi, maka saat ini IPNU memasuki dunianya generasi millennial akhir dan generasi Z awal. Artinya, anggota dan kader IPNU mayoritas berasal dari generasi Z.

Bentuk nyatanya, semua pelajar, santri, atau mahasiswa saat ini, termasuk dalam kategori generasi Z. Mereka dilahirkan sudah dalam teknologi maju. Ke sekolah atau kampus sudah menenteng laptop, dan baca kitab kuning juga baca Yasin–saat tahlilan–lewat aplikasi android. Semuanya dilakukan lewat gadget baik HP maupun tablet.

Dalam pergaulan, generasi ini sudah dipenuhi dengan era digital yang unik, aneh, dan penuh tantangan. Berbagai peralatan super canggih, khususnya handphone yang semakin smart, komputer, internet, iPad, tablet, dan lain-lain sudah mereka nikmati.

Dunia organisasi khususnya IPNU (mungkin juga IPPNU) juga tidak lupu dari hal ini. Anggota dan kader IPNU lebih senang rapat atau musyawarah via online, bisa lewat grup WA atau facebook. Lebih senang ketawa-ketiwi di medsos hingga HP penuh dengan kata "Hahaha", "Hihihi", atau "wkwkwk".

Tantangan di Era Digital
Saat ini, di era digital, yang menjadi tantangan generasi millennial dan generasi Z–di mana usia mereka merupakan usia kader IPNU–berarti juga tantangan bagi IPNU dalam mengembangkan organisasi, adalah mereka yang hidup pada saat banyaknya orang awam belajar agama lewat medsos lalu salah memilih situs dakwah; pelajar awam masalah agama lalu terjebak dalam daurah/liqo rohis yang berbau radikal dan mahasiswa yang awam masalah agama lalu terjebak dalam daurah/liqo kaum khilafis dan radikalis karena terpengaruh informasi dan ajakan via internet dan medsos; dan fenomena "ustadz" "ustadzah" yang pegang gadget lalu belajar via situs abal-abal dan masuk ke grup-grup dakwah radikal.

Semua fenomena di atas sangat berpengaruh pada generasi milenial dan generasi Z. Karena mereka sudah mengenal teknologi dan akrab dengan gadget canggih sehingga arus informasi begitu cepat. Hal ini secara tidak langsung tentu akan berpengaruh pada pola pikir, kepribadian, dan gaya hidup mereka.

Era digital di mana kemajuan teknologi yang demikian pesat akan berdampak juga pada proses pencarian jatidiri dan pilihan mengikuti organisasi. Mereka akan mencari organisasi yang dapat menuntun dan menemukan jatidirinya; organisasi yang menarik minat dan bakatnya; dan organisasi yang melek teknologi.

Kalaupun mereka memilih dan masuk IPNU, dalam mengikuti kaderisasi formal Makesta dan Lakmud, mereka cenderung kurang memperhatikan. Metode ceramah sudah terlalu membosankan. Menjawab pertanyaan-pertanyaan pun banyak yang tidak bisa. Jangankan menjawab pertanyaan? Mengajukan pertanyaan saja sulit–karena mereka lebih sibuk dengan materi-materi dari Mbah “Google” ketimbang dari Mbah Yai.

Dalam diskusi, mereka juga cenderung pasif, lebih memilih diam, padahal banyak bahan yang mereka bisa peroleh dari internet. Hal yang bertolak belakang saat mereka chatting lewat BBM, whatsapp, atau facebook, semua yang kesehariannya pendiam pun, bisa menjadi berani saat chatting.

Anehnya, saat diajak rapat atau kegiatan pun agak sulit, alasannya sedang sibuk-tidak ada waktu. Padahal sedang sibuk online di FB dan posting foto selfie di Instagram.

Inilah tantangan yang harus dijawab IPNU khususnya pengurus dan kader IPNU. Tetapi, generasi millennial juga memiliki kecenderungan kreatif dan inovatif. Lebih kritis dan terbuka (open minded).

Kelebihan-kelebihan mereka inilah yang harus ditangkap sebagai peluang kaderisasi IPNU. Bagaimana pola kaderisasi dan kegiatan-kegiatan IPNU lebih kreatif, menarik, dan asyik bagi mereka yang cenderung gandrung akan teknologi serba instan, bagaimana mengarahkan mereka ke arah positif dengan memanfaatkan teknologi internet melalui FB, Twitter, Instagram, Website, Youtube, dan lain-lain. Yang lebih penting, bagaimana mengkader Generasi Z tanpa harus kehilangan nilai-nilai Aswaja, ke-Indonesiaan, ke-NUan, dan ke-IPNUan di tengah zaman yang serba digital. Wallahu a‘lam bis shawab.

Sabtu, 01 Juli 2017

LEBARAN

Catatan: Uub Ayub Al Ansori

HARI Raya Idul Fitri 1 Syawal, di Indonesia identik dengan Lebaran. Lebaran memiliki makna yang sangat membekas bagi kaum muslimin. Setelah selama sebulan penuh berpuasa, menahan diri dari segala bentuk godaan, baik rasa haus dan lapar, maupun hawa nafsu yang melahirkan egoisme, dendam, sombong, dan segala bentuk yang merendahkan nilai puasa.

Saat kelas 3 SMP, oleh Pak Syarif, guru Bahasa Indonesia, penulis dikenalkan dengan puisinya Sitor Situmorang yang berjudul Malam Lebaran. Baitnya hanya sebaris: Bulan di Atas Kuburan. Cuma itu. Tapi gara-gara puisi sebaris, 2 jam pelajaran habis.

“Coba apa maksud puisi tersebut?” tantang Pak Syarif waktu itu. Lantas saja seisi kelas berpikir keras. Lah wong puisinya cuma sebaris, apa yang mau dijelaskan. Iseng-iseng penulis coba menafsirkan bahwa maksud puisi tersebut, saat Lebaran kita kembali suci seperti cahaya bulan dari segala dosa kelam yang diibaratkan gelapnya kuburan di malam hari.

Beda lagi dengan Chairul Anwar, teman penulis, menafsirkan bahwa saat Lebaran tidak jarang kita hidup bermewah-mewahan pakai baju baru dan makan enak, padahal masih ada saudara yang terlampau miskin dan kelaparan. “Itulah gambaran bulan di atas kuburan. Kita seolah berdiri di atas kesengsaraan orang lain” simpul Chairul kritis.

Ada lagi yang menafsirkan bahwa kata bulan dalam puisi tersebut menggambarkan seorang ibu yang selalu memberikan kasih sayang. Sedangkan kuburan artinya ibu yang menyayangi kita sudah meninggal. Pada saat Lebaran, kita rindu ibu yang sudah meninggal seperti digambarkan dengan kuburan. Saat Lebaran kita berharap kehadiran sosok ibu, namun tidak mungkin ia sudah meninggal. Semua digambarkan dalam puisi tersebut, di mana tidak mungkin muncul bulan karena malam Lebaran tidak akan terlihat.

Puisi memang diciptakan untuk ditafsirkan oleh siapapun yang menghayatinya. Pencipta puisi sekalipun tidak berhak menghakimi tafsiran orang atas puisi yang ia ciptakan.

Di luar puisi dan segala tafsirannya itu, realitasnya, tak jarang pula karena alasan rindu kampung halaman dan sekadar untuk saling memaafkan dengan tetangga di kampung, yang dari perantauan sengaja pulang kampung saat Lebaran. Mudik, kata orang Indonesia.

Lebaran dan mudik sudah menjadi sebuah fenomena di Indonesia. Namun fenomena ini bukan sebatas gejala antropologis, tapi sudah menjadi semacam simbolisme fitrawi tentang bagaimana manusia mengalami gerakan kembali ke asal.

Kalau anak selalu ingin cari ibunya, kata Sigmund Freud, psikolog asal Jerman yang terkenal dengan psikoanalisis-nya, maka orang selalu ingin kembali ke kampung, merindukan kampung. Secara spiritual dorongan kembali ke asal itu berarti kembali kepada Allah. Sebab asal dari seluruh muasal adalah Allah. Inna lillaahi wa inna ilaihi rojiun, begitu bunyi kalam-Nya.

Maka, karena kerinduan kampung halaman, saat Lebaran kita kembali bertemu dengan sanak famili. Saling bersilaturahmi, memaafkan, dan tidak lupa mengingat kembali karuhun yang sudah mendahului dengan menziarahinya. Mendoakannya agar selamat di akhirat dan berdoa kepada Allah agar kita pun selamat.

Barangkali istilah Lebaran muncul menandai akhirnya bulan Ramadan dan mengawali datangnya Syawal yang memiliki keterkaitan dengan istilah Idul Fitri. Hari kembali ke fitrah atau asal. Bebas dari segala dosa atau lebur-lebar. Lebur-lebar dari segala dosa. Maka pantas saat Lebaran kita saling memohon maaf satu sama lain.

Saling memaafkan tentu tidak harus saat Lebaran. Bahkan harus setiap saat. Namun terasa tidak afdhol bila saat merayakan Idul Fitri tidak saling memaafkan. Maka jangan heran dan bosan untuk meminta maaf, serta menerima dan membalas ucapan maaf saat Lebaran.

Namun demikian, kadang “maaf” tidak pernah bisa dipisahkan dari ingatan akan kesalahan. Pertanyaannya, mungkinkah ingatan bisa kekal? Atau “maaf” tidak pernah bisa dipisahkan dari penyesalan. Tetapi, mungkinkah ada maaf tanpa syarat?

Saat Lebaran Idul Fitri semua menemukan jawabannya. Maaf yang tidak perlu memaksa si peminta maaf mengingat kesalahannya. Maaf yang tidak perlu disertai syarat penyesalan terlebih dahulu. Maaf yang keluar dari kesadaran si peminta dan si pemberi. Saling memaafkan tanpa harus mengingat kesalahan masing-masing. Maaf dan memaafkan tanpa harus adanya penyesalan terlebih dahulu. Sehingga maaf dan memaafkan menjadi bagian dari proses bersama dimana manusia hidup dengan cinta.

Mudah-mudahan dengan saling memaafkan dosa-dosa akibat kesalahan kita menjadi lebur. Menjadikan lebarnya pintu maaf. Tentunya menjadikan mudik yang penuh rindu dan rasa ingin bertemu keluarga menjadi lebih bermanfaat dan penuh cinta. Meski kata Ibnu Arabi bahwa cinta tak punya definisi, tapi minimalnya dengan saling memaafkan dan rindu akan shilaturahmi, maka ia tidak harus dibayar dengan ingatan akan kesalahan dan tidak pula perlu ada syarat.

Akhirnya, Selamat Lebaran Idul Fitri. Mari kita sama-sama saling memaafkan atas segala khilaf dan dosa. Saling bersilaturahmi, bersilaturindu, bersilaturasa, dan bersilatucinta. Wallahu a’lam bisshowab. (*)

** Tulisan pernah dimuat dalam http://cirebonplus.com/berita/lebaran-memaafkan-dan-dimaafkan-yang-tanpa-paksaan/ (30 Juni 2017) dengan judul Lebaran, Memaafkan dan Dimaafkan yang Tanpa Paksaan

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Do'a

Adalah Engkau

Yang beri kekuatan

Sekaligus menghujamku

Dengan Qodo dan Qodar-Mu

Tuhan..............

Engkau ku percaya

Menjawab setiap do’a yang ku panjatkan

Ku menyanjung-Mu dengan butiran-butiran dzikirku

Kau tak goyah dengan Qodo-Mu

Ku merengek dengan untaian Wiridku

Kau terlampau tentukan Qadar-Mu

Ku serapi setiap lantunan ayat-ayat-Mu

Kau hanya beri aku harapan

Ku berontak dalam puji-puji doa’ku

Kau hanya menatapku dingin dengan ke-Maha Besaran-Mu

Ku menangis dan memaksamu dalam sujudku

Kau tertawa dengan segala ke-Maha Agungan-Mu

Apa mau-Mu Tuhan?

Aku yakin

Kau jawab “YA”, Kau beri yang aku minta

Kau jawab “TIDAK”, Kau akan berikan yang lebih baik

Kau jawab “TUNGGU” Kau akan beri yang terbaik

Untukku..........

Dengan keterbatasanku

Hanya satu, berikan padaku

“Ridhoilah aku sebagai Hamba-Mu yang terbatas

Wahai ALLAH, Tuhan yang Maha Tak Terbatas”