Senin, 22 Agustus 2016

Menjadi IPNU sampai Mati


Oleh: Ayub Al Ansori

Suatu pagi sekira pukul delapan penulis sengaja berkunjung ke Griya salah seorang pendiri IPNU Kabupaten Cirebon bersama seorang rekan. Bersama naik motor, dari kejauhan, belum juga kaki menginjak tanah, sudah terlihat sosok yang sudah berumur 85-an tahun sedang asyik membaca koran pagi  di sebuah  kursi kayu. Memang begitulah kebiasaan tiap pagi orang yang bernama Ibrahim Rozi itu. Kami biasa memanggilnya Pak Ib. Ya, KH Ibrahim Rozi, beliaulah pendiri IPNU Kabupaten Cirebon. Sosok yang selalu ingin disebut Aktifis NU sampai mati. Begitu kira-kira Pak Ib bilang pada kami suatu hari dikesempatan lain saat berkunjung. 

Setiap kali penulis shilaturahim selalu saja disambut dengan ramah. Sudah barang tentu beliau selalu menanyakan kabar penulis dan tentu  kabar perkembangan organisasi yang beliau dirikan, IPNU. Meski usia sudah tidak lagi muda, kalau urusan ngobrol IPNU beliau selalu terlihat semangat. Tentunya beliau akan berpikir keras mengingat masa-masa perjuangannya dulu. Matanya terpejam dan kepala tertunduk, sesekali menghadap ke atas. Kalau beliau ingat, mesti diceritakan. Sebaliknya kalau beliau lupa, mesti beliau bilang “saya lupa,”. Justru saat-saat seperti inilah yang penulis tunggu. Berharap Pak Ib ingat. Kalau ingat tentu saja banyak cerita yang keluar dari beliau. Sudah tentu penulis akan seksama memperhatikan bila perlu mencatatnya bak seorang jurnalis. “Dulu,”. Satu kata, tanda beliau masih ingat kejadiannya, selanjutnya beliau akan mulai bercerita.

Berdirinya IPNU di Cirebon tidak lepas dari sejarahnya yang berawal dari dihelatnya Muktamar ke-III IPNU di Kota Udang. Tahun 1958 merupakan tahun bersejarah di Cirebon, bukan saja karena Muktamar III IPNU digelar di Cirebon, namun juga menjadi tempat bagi embrio berdirinya IPNU di Cirebon. Pak Ib menceritakan, Muktamar tersebut di gelar di Gedung Bioskop, yang sekarang menjadi Pasar Balong Kota Cirebon, dan di Balai Tentara. Peserta Muktamar saat itu menginap di rumah-rumah warga dan hotel di sekitar Kota Cirebon. Banyak kegiatan dihelat, dari apel pelajar sampai pekan olahraga pelajar se-Indonesia. Kalau urusan sidang-sidang sudah tentu menjadi perkara wajib. “Semacam menyusun aturan-aturan organisasi,” kata Pak Ib kepada penulis.

Beliau sendiri menghadiri Muktamar III IPNU pada tanggal 27 – 31 Desember 1958, tapi ada juga yang bilang sampai tanggal 2 Januari 1959. Saat itu beliau sebagai utusan dari PW IPNU Yogyakarta. Yang menarik, beliau menjelaskan, selain membahas soal krisis politik dan ekonomi nasional, pengembangan cabang IPNU masih menjadi prioritas bahasan. Tidak hanya itu, Ibrahim Rozi juga menjadi saksi sejarah bahwa dalam Muktamar ini betapa keinginan mahasiswa NU untuk mendirikan organisasi kemahasiswaan ditubuh NU begitu tinggi, sehingga muncul gagasan pembentukan departemen perguruan tinggi IPNU sebagai embrio PMII. “Di Muktamar Cirebon lah urusan kemahasiswaan tersalurkan lewat Departemen Perguruan Tinggi IPNU,” ungkap Pak Ib.

Pada perjalanannya, beliau mendirikan IPNU di Cirebon tahun 1959 bersama rekan-rekan seperjuangannya yang hampir semuanya sudah meninggal. “Yang lain sudah almarhum semua. Tinggal saya sendiri,” ungkap Pak Ib sambil mengingat masa lalunya itu. Menariknya, alasan beliau mendirikan IPNU di Cirebon karena malu. Malu dengan rekan-rekannya di Yogyakarta. “Masa daerahnya dijadikan tempat Muktamar, tapi IPNU-nya belum ada,” begitu ledek rekan-rekannya kepada Pak Ib, seperti Pak Ib ceritakan kembali kepada penulis.

Tahun 1959 berdirilah IPNU hasil konsolidasi Pak Ib bersama rekan-rekannya. Pada mulanya kebanyakan pengurus IPNU merupakan mahasiswa di IAIN Sunan Gunung Jati Cabang Cirebon. Mereka yang mendirikan IPNU Cirebon adalah Ibrahim Rozi (Plered Cirebon), Maksudi Yusuf (Plered Cirebon), Suaeb Sumpeno (Cirebon), Kistiharno (KS Tubun Cirebon), Nasruddin Asfar (Tengah Tani Cirebon), dan Jamaluddin (Cirebon). Dan ditunjuk sebagai Ketua pertama PC IPNU Cirebon, pada tahun 1959, adalah Jamaluddin, dengan Sekretaris Nasruddin Asfar, dan Bendahara Ibrahim Rozi.` 

Dalam ingatan Ibrahim Rozi, pada awal-awal berdirinya IPNU, kegiatan-kegiatan IPNU lebih mengarah pada penguatan internal khususnya diskusi-diskusi ilmiah dan pelatihan manajemen organisasi sebagai upaya menambah wawasan keilmuan dan kejelian dalam bernalar bagi anggota dan kader. Juga kegiatan-kegiatan pelatihan kaderisasi dan pelatihan-pelatihan kejurnalistikan. Namun, kata Pak Ib, mulai tahun 1960 konsentrasinya mulai pecah. Beliau juga harus mengonsolidasikan pendirian PMII di Cirebon. Meski begitu, beliau masih tetap aktif dan mengawal proses kaderisasi di IPNU. 

“Menjadi IPNU harus betul-betul menjadi IPNU sampai mati,” begitu kata Pak Ib. Maksudnya, kata Pak Ib melanjutkan, bukan terus di IPNU saja, karena ada batasnya aktif di IPNU, tapi terus “ngurip-ngurip” ajaran NU di manapun berada dan di mana saja posisinya. “IPNU atau NU itu harus menjadi pegangan ideologis para pelajar dan masyarakat. Karena tidak semua anak dilahirkan dari keluarga NU,” pesan Pak Ib kepada penulis sebelum pamit pulang karena beliau mesti istirahat.

Peran IPNU dalam Menjaga Moral dan Toleransi Pelajar

Oleh: Uub Ayub Al Ansori

Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) merupakan salah satu badan otonom (Banom) dalam tubuh Nahdlatul Ulama (NU). Banom NU adalah perangkat organisasi yang berfungsi melaksanakan kebijakan NU yang berkaitan dengan kelompok masyarakat tertentu dan beranggotakan perseorangan.

Sebagaimana fungsinya, IPNU dimandati mengakomodir pelajar-pelajar dengan cakupan pelajar di sekolah umum dan santri di pesantren. Melihat wilayah garapan IPNU ini, adalah sebuah mandat yang tidak mudah untuk diwujudkan. Mandat dan tugas pokok IPNU, salah satu tugas besarnya adalah menunaikan kaderisasi dikalangan pelajar, baik di sekolah, maupun di pesantren. Oleh karena mandat tersebut, salah satu garapan IPNU adalah membentuk dan mengembangkan pendirian komisariat-komisariat sebanyak mungkin di setiap sekolah dan pesantren. Hal ini bukan tanpa alasan, selain untuk kaderisasi, juga merupakan upaya membentengi para pelajar dan santri dalam mengarungi derasnya arus globalisasi.

Dampak dari derasnya arus globalisasi adalah arus informasi yang begitu bebas masuk ke Indonesia, baik yang positif maupun yang negative. Implikasinya adalah masuknya ideologi-ideologi transnasional. Tentu yang pertama kali menjadi sasaran adalah pelajar dan santri. Indonesia sebagai bangsa yang dikenal mempunyai kultur moderat, santun dan sangat ramah pada siapapun, sehingga implikasinya masyarakat bangsa Indonesia terkadang kurang mampu memproteksi dan membendung arus budaya yang masuk melalui berbagai media, baik cetak maupun elektronik.

Pengaruh negatif salah satu contohnya, telah berhasil menjangkiti masyarakat Indonesia terlebih generasi muda (baca: pelajar). Kenakalan remaja termasuk di dalamnya pelajar seperti sex bebas, penggunaan narkoba, tawuran antar pelajar, married by accident, serta berbagai bentuk kenakalan remaja/pelajar lainnya, seolah-olah seperti hal yang biasa dan sudah bukan hal yang aneh lagi di tengah masyarakat sekarang ini. Berdarkan Data Puslitkes UI dan BNN, ternyata 25 persen yang terlibat kasus narkoba itu dari kalangan pelajar. Ada tiga jenis narkoba yang sering digunakan pelajar, yaitu sabu, ganja dan ekstasi. Ini sunggung mengkhawatirkan.

Selain fakta dekandensi moral di atas, isu radikalisme juga telah menjangkiti pelajar. Pengaruh kaum Islam puritan telah masuk melalui lembaga-lembaga pendidikan dan sekolah-sekolah. Namun sangat disayangkan, sebagian masyarakat atau orang tua di Indonesia menanggapi beberapa kasus yang berbau radikalisme-ekstrimisme agama yang masuk kategori akar dari terorisme ini dengan cukup apatis. Tindakan terorisme selama ini kerap dikait-kaitkan dengan fenomena politik negara. Entah itu tudingan pengalihan isu atau unsur kesengajaan yang dibuat-buat penguasa. Kalau memang itu benar, sungguh tidak berprikemanusiaan. Padahal berdasarkan kajian yang dilakukan Setara Institute dan The Wahid Institute, juga Fahmina Institute menyebut bahwa Indonesia merupakan negara yang rawan dengan tindakan kekerasan dengan mengatasnamakan agama. Fakta mengejutkan, para pelaku teror rata-rata masih berusia muda atau usia pelajar.

Bukti bahwa pelajar sangat rentan menjadi pelaku teror adalah data dari Setara Institute bahwa satu dari 14 siswa di Jakarta dan Bandung setuju atas keberadaan Islamic State (IS). Sebelumnya, riset MAARIF Institute pada 2011 tentang pemetaan problem radikalisme di SMU negeri di empat daerah (Pandeglang, Cianjur, Yogyakarta, dan Solo), yang mengambil data dari 50 sekolah, mengkonfirmasi fenomena tersebut. Menurut riset ini, sekolah menjadi ruang yang terbuka bagi diseminasi paham apa saja. Karena pihak sekolah terlalu terbuka, kelompok radikalisme keagamaan memanfaatkan ruang terbuka ini untuk masuk secara aktif mengkampanyekan pahamnya dan memperluas jaringannya. Kelompok-kelompok keagamaan yang masuk mulai dari yang ekstrem menghujat terhadap negara dan ajakan untuk mendirikan negara Islam, hingga kelompok islamis yang ingin memperjuangkan penegakan syariat Islam (Jurnal Maarif, Vol. 8. No. 1, Juli 2013).

Coba kita lihat data dari Fahmina Institute, untuk wilayah Ciayumajakuning (Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan), merilis dalam kurun waktu tahun 2012-2015 ditemukan 33 tindakan pelanggaran dan kekerasan dengan mengatasnamakan agama. Belum lagi data dari penelitian yang dilakukan aktivis sosial keagamaan Farcha Ciciek di tujuh kota (Jember, Padang, Jakarta, Pandeglang, Cianjur, Cilacap dan Yogyakarta)  menyajikan tren serupa. Para siswa ternyata kurang toleran dengan perbedaan dan cenderung mendukung ideologi kekerasan. Disebutkan, 13 persen siswa di tujuh kota itu mendukung gerakan radikal dan 14 persen setuju dengan aksi terorisme Imam Samudra.

Kenapa bisa terjadi?

Beberapa pelaku terorisme yang berhasil ditangkap aparat merupakan pelajar di bangku sekolah umum. Kasus-kasus tersebut jelas dipengaruh oleh oknum guru dan organisasi-organisasi pelajar di sekolah yang mengajak pada perilaku intoleran berbau radikalis mengarah pada terorisme, yang seolah dibiarkan begitu saja menjajakan pengaruhnya. Temuan tersebut cukup mengkhawatirkan. Pasalnya, bangsa Indonesia yang majemuk dan hidup dalam naungan Pancasila dan UUD 1945 menyisakan persoalan pelik seperti itu.

Berbekal dari catatan-catatan tersebut di atas motif dari tindakan-tindakan kekerasan memang berasal dari perbedaan paham di internal umat beragama, khususnya umat Islam. Perbedaan terkait praktek ibadah, praktek bernegara, dan aqidah. Kita masih sering mendengar bahwa Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan “thagut”/setan, sehingga sistem negara mesti berdasarkan khilafah Islamiyyah. Hukum positif di negara kita mesti dirubah dengan penerapan syari’at Islam. Jika tidak demikian maka negara tersebut beserta penduduknya menjadi kafir. Jika kafir maka halal darahnya. Pernyataan demikianlah yang sering ISIS propagandakan. Yang kemudian dijadikan dalil atas keharusan untuk melakukan tindakan teror dan kekerasan di negara tersebut termasuk Indonesia. Fenomena kekerasan atas nama agama inilah sering kali dikenal dengan sebutan radikalisme agama. Abdul Moqsit Ghazali malah mengatakan bahwa Radikalisme agama adalah akar dari terorisme. Fenomena radikalisme agama ini dapat terlihat dari tindakan-tindakan anarkis yang mengatasnamakan agama dari suatu kelompok terhadap kelompok lain yang berbeda keyakinan dan pemahaman dengan kelompok tersebut. Padahal menjaga nyawa manusia (hifdz al-Nafs) merupakan bagian penting dari tujuan universal syari’at Islam (maqashid al-Syari’ah) selain merawat agama (hifdz al-Din), merawat akal (hifdz al-‘Aql), merawat keturunan (hifdz al-Nasl), merawat harta (hifdz al-Mal), kebebasan (al-Hurriyah), dan kesetaraan (al-Musawa).

Persoalan tersebut sudah saatnya menjadi agenda IPNU hari ini. Kita harus segera menyingsingkan lengan baju dan mencurahkan segala kekuatan untuk berkontribusi secara nyata dalam mengurai persoalan kenakalan pelajar dari mulai tawuran, sex bebas, penggunaan narkoba, dan tentunya radikalisme yang tumbuh dalam tubuh pelajar.

Dekadensi moral dan radikalisme merupakan tantangan terbesar IPNU hari ini dan ke depan. Maka dari itu, IPNU sebagai organisasi pelajar dibawah naungan NU selalu berkomitmen terhadap bangunan dasar empat pilar kebangsaan (Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika), yang bertujuan membangun pelajar yang berwawasan kebangsaan. Juga tetap komitmen dalam menjaga nilai-nilai Ahlussunnah wal jama’ah seperti toleran, moderat, dan bersikap adil. Sebagai bagian integral dari generasi muda Indonesia, IPNU mempunyai tanggung jawab yang besar dalam membantu mengatasi permasalahan bangsa, khususnya di kalangan pelajar.

Betul bahwa IPNU merupakan organisasi pelajar yang tentunya mengedepankan moral dan organisasi pelajar yang paling toleran jika kita melihat induk organisasinya yaitu NU. Namun demikian, gejala dan fakta dekadensi moral dan penetrasi radikalisme kini telah menjangkiti institusi pendidikan (sekolah, “pesantren”, dan lembaga pendidikan lainnya) di mana seharusnya IPNU berada di dalamnya. Riset Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) yang dipublikasi empat tahun lalu sungguh mengkhawatirkan. Pandangan intoleransi menguat di lingkungan guru Pendidikan Agama Islam (PAI) dan pelajar. Ini dibuktikan dengan dukungan mereka terhadap tindakan pelaku pengrusakan dan penyegelan rumah ibadah (guru 24,5%, siswa 41,1 %); pengrusakan rumah atau fasilitas anggota keagamaan yang dituding sesat (guru 22,7%, siswa 51,3 %); pengrusakan tempat hiburan malam (guru 28,1%, siswa 58,0 %); atau pembelaan dengan senjata terhadap umat Islam dari ancaman agama lain (guru 32,4%, siswa 43,3 %). Mengkhawatirkan bukan? Karenanya seantisipatif mungkin upaya dalam menyingkirkan radikalisme harus intens digalakkan.

Bagaimana peran IPNU?

Dalam hemat penulis, Pertama, gerakan-gerakan dan kegiatan-kegiatan IPNU harus tetap konsisten dalam upaya membendung pelajar untuk ikut tawuran dan menggunakan narkoba juga membendung arus pemahaman radikalisme agama di kalangan pelajar. Implementasinya dengan membentuk komisariat-komisariat di setiap sekolah, dan melakukan pendampingan-pendampingan terhadap pelajar yang masih rentan terhadap tawuran antar pelajar dan penggunaan narkoba. Menanamkan dan menjaga sikap toleransi pada pelajar merupakan hal sangat penting digalakkan IPNU. Dengan adanya toleransi ini pastinya akan tercipta kehidupan yang damai dan harmonis tanpa adanya rasa permusuhan dan prasangka buruk. Islam sendiri sudah toleran sejak lahir. Islam berarti kepasrahan, kedamaian, dan keselamatan. Apalagi umatnya, mesti bersikap toleran sejak dalam pikiran apalagi perbuatan.  Dengan demikian peran IPNU dalam menjaga moral dan toleransi pelajar terus tumbuh dan meningkat.

Kedua, selain penguatan internal, IPNU juga perlu mendorong sekolah dan pemerintah untuk tegas dalam menindak dan menolak segala bentuk tindakan dan ajaran yang merugikan pelajar. Sudah saatnya IPNU mendorong sekolah-sekolah untuk melakukan proteksi dalam merekrut guru, khususnya guru Pendidikan Agama Islam (PAI). Karena radikalisme di kalangan pelajar tentu muncul dari oknum guru yang mengajarkannya. Sehingga hanya karena satu atau dua orang oknum, dapat mengakibatkan dan merubah paradigma sekolah tersebut. Dalam pada itu, pihak sekolah harus protektif dalam menjaga proses pendidikan yang berlangsung. Tinjauan secara terus menerus terhadap kurikulum, tenaga pengajar berikut staf-stafnya, dan umumnya seluruh civitas sekolah harus tetap dilakukan, guna menghindari merembesnya gejala-gejala radikalisme. IPNU juga harus selalu mendorong ketegasan pemerintah. Dalam kapasitasnya sebagai pemegang kebijakan, pemerintah dalam hal ini harus dapat berperan aktif. Pemerintah, dalam hal ini, agar tidak segan-segan untuk menindak tegas sekolah-sekolah (atau lembaga pendidikan lainnya) yang berpotensi radikalis. Terutama menindak tegas sekolah anti-Pancasila, UUD 1945 dan NKRI. Dengan demikian, melalui Kemendiknas dan Kemenag, Pemerintah harus mengintervensi sekolah-sekolah (terutama swasta) yang anti-Pancasila, UUD 1955, dan NKRI untuk wajib memasukkan mata pelajaran kewarganegaraan atau pendidikan pancasila.

Seiring berjalannya waktu IPNU terus tumbuh dewasa, terbukti jika sekarang usianya mencapai 62 tahun. Jerih payah alm. Prof. Dr. KH. Tolchah Mansoer, SH dalam membangun dan mengembangkan IPNU harus semakin diperkokoh keberadaannya. Bukan hanya sebagai wujud terimakasih kepada pendirinya, lebih dari itu IPNU dengan visinya dalam membangun pelajar yang mana cara berpikir, bersikap, dan bertindaknya merupakan implementasi dari nilai-nilai Islam Rahmatan Lil’alamin, Pancasila, dan Bhineka Tunggal Ika.

Oleh karena itu IPNU harus semakin teguh dalam menjaga nilai-nilai Islam Nusantara yang ramah dan santun, dengan cara menyemai dan membingkai para pelajar yang bermoral, berkarakter, toleran, dan cinta damai di semua lembaga pendidikan; sekolah, maupun pesantren. Wallahu A’lam Bisshowabi.

** Tulisan pernah dimuat dalam http://www.ipnu.or.id/peran-ipnu-dalam-menjaga-moral-dan-toleransi-pelajar/ (Kamis, 18 Agustus 2016)

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Do'a

Adalah Engkau

Yang beri kekuatan

Sekaligus menghujamku

Dengan Qodo dan Qodar-Mu

Tuhan..............

Engkau ku percaya

Menjawab setiap do’a yang ku panjatkan

Ku menyanjung-Mu dengan butiran-butiran dzikirku

Kau tak goyah dengan Qodo-Mu

Ku merengek dengan untaian Wiridku

Kau terlampau tentukan Qadar-Mu

Ku serapi setiap lantunan ayat-ayat-Mu

Kau hanya beri aku harapan

Ku berontak dalam puji-puji doa’ku

Kau hanya menatapku dingin dengan ke-Maha Besaran-Mu

Ku menangis dan memaksamu dalam sujudku

Kau tertawa dengan segala ke-Maha Agungan-Mu

Apa mau-Mu Tuhan?

Aku yakin

Kau jawab “YA”, Kau beri yang aku minta

Kau jawab “TIDAK”, Kau akan berikan yang lebih baik

Kau jawab “TUNGGU” Kau akan beri yang terbaik

Untukku..........

Dengan keterbatasanku

Hanya satu, berikan padaku

“Ridhoilah aku sebagai Hamba-Mu yang terbatas

Wahai ALLAH, Tuhan yang Maha Tak Terbatas”