Senin, 22 Agustus 2016

Menjadi IPNU sampai Mati


Oleh: Ayub Al Ansori

Suatu pagi sekira pukul delapan penulis sengaja berkunjung ke Griya salah seorang pendiri IPNU Kabupaten Cirebon bersama seorang rekan. Bersama naik motor, dari kejauhan, belum juga kaki menginjak tanah, sudah terlihat sosok yang sudah berumur 85-an tahun sedang asyik membaca koran pagi  di sebuah  kursi kayu. Memang begitulah kebiasaan tiap pagi orang yang bernama Ibrahim Rozi itu. Kami biasa memanggilnya Pak Ib. Ya, KH Ibrahim Rozi, beliaulah pendiri IPNU Kabupaten Cirebon. Sosok yang selalu ingin disebut Aktifis NU sampai mati. Begitu kira-kira Pak Ib bilang pada kami suatu hari dikesempatan lain saat berkunjung. 

Setiap kali penulis shilaturahim selalu saja disambut dengan ramah. Sudah barang tentu beliau selalu menanyakan kabar penulis dan tentu  kabar perkembangan organisasi yang beliau dirikan, IPNU. Meski usia sudah tidak lagi muda, kalau urusan ngobrol IPNU beliau selalu terlihat semangat. Tentunya beliau akan berpikir keras mengingat masa-masa perjuangannya dulu. Matanya terpejam dan kepala tertunduk, sesekali menghadap ke atas. Kalau beliau ingat, mesti diceritakan. Sebaliknya kalau beliau lupa, mesti beliau bilang “saya lupa,”. Justru saat-saat seperti inilah yang penulis tunggu. Berharap Pak Ib ingat. Kalau ingat tentu saja banyak cerita yang keluar dari beliau. Sudah tentu penulis akan seksama memperhatikan bila perlu mencatatnya bak seorang jurnalis. “Dulu,”. Satu kata, tanda beliau masih ingat kejadiannya, selanjutnya beliau akan mulai bercerita.

Berdirinya IPNU di Cirebon tidak lepas dari sejarahnya yang berawal dari dihelatnya Muktamar ke-III IPNU di Kota Udang. Tahun 1958 merupakan tahun bersejarah di Cirebon, bukan saja karena Muktamar III IPNU digelar di Cirebon, namun juga menjadi tempat bagi embrio berdirinya IPNU di Cirebon. Pak Ib menceritakan, Muktamar tersebut di gelar di Gedung Bioskop, yang sekarang menjadi Pasar Balong Kota Cirebon, dan di Balai Tentara. Peserta Muktamar saat itu menginap di rumah-rumah warga dan hotel di sekitar Kota Cirebon. Banyak kegiatan dihelat, dari apel pelajar sampai pekan olahraga pelajar se-Indonesia. Kalau urusan sidang-sidang sudah tentu menjadi perkara wajib. “Semacam menyusun aturan-aturan organisasi,” kata Pak Ib kepada penulis.

Beliau sendiri menghadiri Muktamar III IPNU pada tanggal 27 – 31 Desember 1958, tapi ada juga yang bilang sampai tanggal 2 Januari 1959. Saat itu beliau sebagai utusan dari PW IPNU Yogyakarta. Yang menarik, beliau menjelaskan, selain membahas soal krisis politik dan ekonomi nasional, pengembangan cabang IPNU masih menjadi prioritas bahasan. Tidak hanya itu, Ibrahim Rozi juga menjadi saksi sejarah bahwa dalam Muktamar ini betapa keinginan mahasiswa NU untuk mendirikan organisasi kemahasiswaan ditubuh NU begitu tinggi, sehingga muncul gagasan pembentukan departemen perguruan tinggi IPNU sebagai embrio PMII. “Di Muktamar Cirebon lah urusan kemahasiswaan tersalurkan lewat Departemen Perguruan Tinggi IPNU,” ungkap Pak Ib.

Pada perjalanannya, beliau mendirikan IPNU di Cirebon tahun 1959 bersama rekan-rekan seperjuangannya yang hampir semuanya sudah meninggal. “Yang lain sudah almarhum semua. Tinggal saya sendiri,” ungkap Pak Ib sambil mengingat masa lalunya itu. Menariknya, alasan beliau mendirikan IPNU di Cirebon karena malu. Malu dengan rekan-rekannya di Yogyakarta. “Masa daerahnya dijadikan tempat Muktamar, tapi IPNU-nya belum ada,” begitu ledek rekan-rekannya kepada Pak Ib, seperti Pak Ib ceritakan kembali kepada penulis.

Tahun 1959 berdirilah IPNU hasil konsolidasi Pak Ib bersama rekan-rekannya. Pada mulanya kebanyakan pengurus IPNU merupakan mahasiswa di IAIN Sunan Gunung Jati Cabang Cirebon. Mereka yang mendirikan IPNU Cirebon adalah Ibrahim Rozi (Plered Cirebon), Maksudi Yusuf (Plered Cirebon), Suaeb Sumpeno (Cirebon), Kistiharno (KS Tubun Cirebon), Nasruddin Asfar (Tengah Tani Cirebon), dan Jamaluddin (Cirebon). Dan ditunjuk sebagai Ketua pertama PC IPNU Cirebon, pada tahun 1959, adalah Jamaluddin, dengan Sekretaris Nasruddin Asfar, dan Bendahara Ibrahim Rozi.` 

Dalam ingatan Ibrahim Rozi, pada awal-awal berdirinya IPNU, kegiatan-kegiatan IPNU lebih mengarah pada penguatan internal khususnya diskusi-diskusi ilmiah dan pelatihan manajemen organisasi sebagai upaya menambah wawasan keilmuan dan kejelian dalam bernalar bagi anggota dan kader. Juga kegiatan-kegiatan pelatihan kaderisasi dan pelatihan-pelatihan kejurnalistikan. Namun, kata Pak Ib, mulai tahun 1960 konsentrasinya mulai pecah. Beliau juga harus mengonsolidasikan pendirian PMII di Cirebon. Meski begitu, beliau masih tetap aktif dan mengawal proses kaderisasi di IPNU. 

“Menjadi IPNU harus betul-betul menjadi IPNU sampai mati,” begitu kata Pak Ib. Maksudnya, kata Pak Ib melanjutkan, bukan terus di IPNU saja, karena ada batasnya aktif di IPNU, tapi terus “ngurip-ngurip” ajaran NU di manapun berada dan di mana saja posisinya. “IPNU atau NU itu harus menjadi pegangan ideologis para pelajar dan masyarakat. Karena tidak semua anak dilahirkan dari keluarga NU,” pesan Pak Ib kepada penulis sebelum pamit pulang karena beliau mesti istirahat.

Peran IPNU dalam Menjaga Moral dan Toleransi Pelajar

Oleh: Uub Ayub Al Ansori

Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) merupakan salah satu badan otonom (Banom) dalam tubuh Nahdlatul Ulama (NU). Banom NU adalah perangkat organisasi yang berfungsi melaksanakan kebijakan NU yang berkaitan dengan kelompok masyarakat tertentu dan beranggotakan perseorangan.

Sebagaimana fungsinya, IPNU dimandati mengakomodir pelajar-pelajar dengan cakupan pelajar di sekolah umum dan santri di pesantren. Melihat wilayah garapan IPNU ini, adalah sebuah mandat yang tidak mudah untuk diwujudkan. Mandat dan tugas pokok IPNU, salah satu tugas besarnya adalah menunaikan kaderisasi dikalangan pelajar, baik di sekolah, maupun di pesantren. Oleh karena mandat tersebut, salah satu garapan IPNU adalah membentuk dan mengembangkan pendirian komisariat-komisariat sebanyak mungkin di setiap sekolah dan pesantren. Hal ini bukan tanpa alasan, selain untuk kaderisasi, juga merupakan upaya membentengi para pelajar dan santri dalam mengarungi derasnya arus globalisasi.

Dampak dari derasnya arus globalisasi adalah arus informasi yang begitu bebas masuk ke Indonesia, baik yang positif maupun yang negative. Implikasinya adalah masuknya ideologi-ideologi transnasional. Tentu yang pertama kali menjadi sasaran adalah pelajar dan santri. Indonesia sebagai bangsa yang dikenal mempunyai kultur moderat, santun dan sangat ramah pada siapapun, sehingga implikasinya masyarakat bangsa Indonesia terkadang kurang mampu memproteksi dan membendung arus budaya yang masuk melalui berbagai media, baik cetak maupun elektronik.

Pengaruh negatif salah satu contohnya, telah berhasil menjangkiti masyarakat Indonesia terlebih generasi muda (baca: pelajar). Kenakalan remaja termasuk di dalamnya pelajar seperti sex bebas, penggunaan narkoba, tawuran antar pelajar, married by accident, serta berbagai bentuk kenakalan remaja/pelajar lainnya, seolah-olah seperti hal yang biasa dan sudah bukan hal yang aneh lagi di tengah masyarakat sekarang ini. Berdarkan Data Puslitkes UI dan BNN, ternyata 25 persen yang terlibat kasus narkoba itu dari kalangan pelajar. Ada tiga jenis narkoba yang sering digunakan pelajar, yaitu sabu, ganja dan ekstasi. Ini sunggung mengkhawatirkan.

Selain fakta dekandensi moral di atas, isu radikalisme juga telah menjangkiti pelajar. Pengaruh kaum Islam puritan telah masuk melalui lembaga-lembaga pendidikan dan sekolah-sekolah. Namun sangat disayangkan, sebagian masyarakat atau orang tua di Indonesia menanggapi beberapa kasus yang berbau radikalisme-ekstrimisme agama yang masuk kategori akar dari terorisme ini dengan cukup apatis. Tindakan terorisme selama ini kerap dikait-kaitkan dengan fenomena politik negara. Entah itu tudingan pengalihan isu atau unsur kesengajaan yang dibuat-buat penguasa. Kalau memang itu benar, sungguh tidak berprikemanusiaan. Padahal berdasarkan kajian yang dilakukan Setara Institute dan The Wahid Institute, juga Fahmina Institute menyebut bahwa Indonesia merupakan negara yang rawan dengan tindakan kekerasan dengan mengatasnamakan agama. Fakta mengejutkan, para pelaku teror rata-rata masih berusia muda atau usia pelajar.

Bukti bahwa pelajar sangat rentan menjadi pelaku teror adalah data dari Setara Institute bahwa satu dari 14 siswa di Jakarta dan Bandung setuju atas keberadaan Islamic State (IS). Sebelumnya, riset MAARIF Institute pada 2011 tentang pemetaan problem radikalisme di SMU negeri di empat daerah (Pandeglang, Cianjur, Yogyakarta, dan Solo), yang mengambil data dari 50 sekolah, mengkonfirmasi fenomena tersebut. Menurut riset ini, sekolah menjadi ruang yang terbuka bagi diseminasi paham apa saja. Karena pihak sekolah terlalu terbuka, kelompok radikalisme keagamaan memanfaatkan ruang terbuka ini untuk masuk secara aktif mengkampanyekan pahamnya dan memperluas jaringannya. Kelompok-kelompok keagamaan yang masuk mulai dari yang ekstrem menghujat terhadap negara dan ajakan untuk mendirikan negara Islam, hingga kelompok islamis yang ingin memperjuangkan penegakan syariat Islam (Jurnal Maarif, Vol. 8. No. 1, Juli 2013).

Coba kita lihat data dari Fahmina Institute, untuk wilayah Ciayumajakuning (Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan), merilis dalam kurun waktu tahun 2012-2015 ditemukan 33 tindakan pelanggaran dan kekerasan dengan mengatasnamakan agama. Belum lagi data dari penelitian yang dilakukan aktivis sosial keagamaan Farcha Ciciek di tujuh kota (Jember, Padang, Jakarta, Pandeglang, Cianjur, Cilacap dan Yogyakarta)  menyajikan tren serupa. Para siswa ternyata kurang toleran dengan perbedaan dan cenderung mendukung ideologi kekerasan. Disebutkan, 13 persen siswa di tujuh kota itu mendukung gerakan radikal dan 14 persen setuju dengan aksi terorisme Imam Samudra.

Kenapa bisa terjadi?

Beberapa pelaku terorisme yang berhasil ditangkap aparat merupakan pelajar di bangku sekolah umum. Kasus-kasus tersebut jelas dipengaruh oleh oknum guru dan organisasi-organisasi pelajar di sekolah yang mengajak pada perilaku intoleran berbau radikalis mengarah pada terorisme, yang seolah dibiarkan begitu saja menjajakan pengaruhnya. Temuan tersebut cukup mengkhawatirkan. Pasalnya, bangsa Indonesia yang majemuk dan hidup dalam naungan Pancasila dan UUD 1945 menyisakan persoalan pelik seperti itu.

Berbekal dari catatan-catatan tersebut di atas motif dari tindakan-tindakan kekerasan memang berasal dari perbedaan paham di internal umat beragama, khususnya umat Islam. Perbedaan terkait praktek ibadah, praktek bernegara, dan aqidah. Kita masih sering mendengar bahwa Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan “thagut”/setan, sehingga sistem negara mesti berdasarkan khilafah Islamiyyah. Hukum positif di negara kita mesti dirubah dengan penerapan syari’at Islam. Jika tidak demikian maka negara tersebut beserta penduduknya menjadi kafir. Jika kafir maka halal darahnya. Pernyataan demikianlah yang sering ISIS propagandakan. Yang kemudian dijadikan dalil atas keharusan untuk melakukan tindakan teror dan kekerasan di negara tersebut termasuk Indonesia. Fenomena kekerasan atas nama agama inilah sering kali dikenal dengan sebutan radikalisme agama. Abdul Moqsit Ghazali malah mengatakan bahwa Radikalisme agama adalah akar dari terorisme. Fenomena radikalisme agama ini dapat terlihat dari tindakan-tindakan anarkis yang mengatasnamakan agama dari suatu kelompok terhadap kelompok lain yang berbeda keyakinan dan pemahaman dengan kelompok tersebut. Padahal menjaga nyawa manusia (hifdz al-Nafs) merupakan bagian penting dari tujuan universal syari’at Islam (maqashid al-Syari’ah) selain merawat agama (hifdz al-Din), merawat akal (hifdz al-‘Aql), merawat keturunan (hifdz al-Nasl), merawat harta (hifdz al-Mal), kebebasan (al-Hurriyah), dan kesetaraan (al-Musawa).

Persoalan tersebut sudah saatnya menjadi agenda IPNU hari ini. Kita harus segera menyingsingkan lengan baju dan mencurahkan segala kekuatan untuk berkontribusi secara nyata dalam mengurai persoalan kenakalan pelajar dari mulai tawuran, sex bebas, penggunaan narkoba, dan tentunya radikalisme yang tumbuh dalam tubuh pelajar.

Dekadensi moral dan radikalisme merupakan tantangan terbesar IPNU hari ini dan ke depan. Maka dari itu, IPNU sebagai organisasi pelajar dibawah naungan NU selalu berkomitmen terhadap bangunan dasar empat pilar kebangsaan (Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika), yang bertujuan membangun pelajar yang berwawasan kebangsaan. Juga tetap komitmen dalam menjaga nilai-nilai Ahlussunnah wal jama’ah seperti toleran, moderat, dan bersikap adil. Sebagai bagian integral dari generasi muda Indonesia, IPNU mempunyai tanggung jawab yang besar dalam membantu mengatasi permasalahan bangsa, khususnya di kalangan pelajar.

Betul bahwa IPNU merupakan organisasi pelajar yang tentunya mengedepankan moral dan organisasi pelajar yang paling toleran jika kita melihat induk organisasinya yaitu NU. Namun demikian, gejala dan fakta dekadensi moral dan penetrasi radikalisme kini telah menjangkiti institusi pendidikan (sekolah, “pesantren”, dan lembaga pendidikan lainnya) di mana seharusnya IPNU berada di dalamnya. Riset Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) yang dipublikasi empat tahun lalu sungguh mengkhawatirkan. Pandangan intoleransi menguat di lingkungan guru Pendidikan Agama Islam (PAI) dan pelajar. Ini dibuktikan dengan dukungan mereka terhadap tindakan pelaku pengrusakan dan penyegelan rumah ibadah (guru 24,5%, siswa 41,1 %); pengrusakan rumah atau fasilitas anggota keagamaan yang dituding sesat (guru 22,7%, siswa 51,3 %); pengrusakan tempat hiburan malam (guru 28,1%, siswa 58,0 %); atau pembelaan dengan senjata terhadap umat Islam dari ancaman agama lain (guru 32,4%, siswa 43,3 %). Mengkhawatirkan bukan? Karenanya seantisipatif mungkin upaya dalam menyingkirkan radikalisme harus intens digalakkan.

Bagaimana peran IPNU?

Dalam hemat penulis, Pertama, gerakan-gerakan dan kegiatan-kegiatan IPNU harus tetap konsisten dalam upaya membendung pelajar untuk ikut tawuran dan menggunakan narkoba juga membendung arus pemahaman radikalisme agama di kalangan pelajar. Implementasinya dengan membentuk komisariat-komisariat di setiap sekolah, dan melakukan pendampingan-pendampingan terhadap pelajar yang masih rentan terhadap tawuran antar pelajar dan penggunaan narkoba. Menanamkan dan menjaga sikap toleransi pada pelajar merupakan hal sangat penting digalakkan IPNU. Dengan adanya toleransi ini pastinya akan tercipta kehidupan yang damai dan harmonis tanpa adanya rasa permusuhan dan prasangka buruk. Islam sendiri sudah toleran sejak lahir. Islam berarti kepasrahan, kedamaian, dan keselamatan. Apalagi umatnya, mesti bersikap toleran sejak dalam pikiran apalagi perbuatan.  Dengan demikian peran IPNU dalam menjaga moral dan toleransi pelajar terus tumbuh dan meningkat.

Kedua, selain penguatan internal, IPNU juga perlu mendorong sekolah dan pemerintah untuk tegas dalam menindak dan menolak segala bentuk tindakan dan ajaran yang merugikan pelajar. Sudah saatnya IPNU mendorong sekolah-sekolah untuk melakukan proteksi dalam merekrut guru, khususnya guru Pendidikan Agama Islam (PAI). Karena radikalisme di kalangan pelajar tentu muncul dari oknum guru yang mengajarkannya. Sehingga hanya karena satu atau dua orang oknum, dapat mengakibatkan dan merubah paradigma sekolah tersebut. Dalam pada itu, pihak sekolah harus protektif dalam menjaga proses pendidikan yang berlangsung. Tinjauan secara terus menerus terhadap kurikulum, tenaga pengajar berikut staf-stafnya, dan umumnya seluruh civitas sekolah harus tetap dilakukan, guna menghindari merembesnya gejala-gejala radikalisme. IPNU juga harus selalu mendorong ketegasan pemerintah. Dalam kapasitasnya sebagai pemegang kebijakan, pemerintah dalam hal ini harus dapat berperan aktif. Pemerintah, dalam hal ini, agar tidak segan-segan untuk menindak tegas sekolah-sekolah (atau lembaga pendidikan lainnya) yang berpotensi radikalis. Terutama menindak tegas sekolah anti-Pancasila, UUD 1945 dan NKRI. Dengan demikian, melalui Kemendiknas dan Kemenag, Pemerintah harus mengintervensi sekolah-sekolah (terutama swasta) yang anti-Pancasila, UUD 1955, dan NKRI untuk wajib memasukkan mata pelajaran kewarganegaraan atau pendidikan pancasila.

Seiring berjalannya waktu IPNU terus tumbuh dewasa, terbukti jika sekarang usianya mencapai 62 tahun. Jerih payah alm. Prof. Dr. KH. Tolchah Mansoer, SH dalam membangun dan mengembangkan IPNU harus semakin diperkokoh keberadaannya. Bukan hanya sebagai wujud terimakasih kepada pendirinya, lebih dari itu IPNU dengan visinya dalam membangun pelajar yang mana cara berpikir, bersikap, dan bertindaknya merupakan implementasi dari nilai-nilai Islam Rahmatan Lil’alamin, Pancasila, dan Bhineka Tunggal Ika.

Oleh karena itu IPNU harus semakin teguh dalam menjaga nilai-nilai Islam Nusantara yang ramah dan santun, dengan cara menyemai dan membingkai para pelajar yang bermoral, berkarakter, toleran, dan cinta damai di semua lembaga pendidikan; sekolah, maupun pesantren. Wallahu A’lam Bisshowabi.

** Tulisan pernah dimuat dalam http://www.ipnu.or.id/peran-ipnu-dalam-menjaga-moral-dan-toleransi-pelajar/ (Kamis, 18 Agustus 2016)

Kamis, 09 Juni 2016

Peran Pemuda Dalam Menangkal Radikalisme-Terorisme


Oleh: Uub Ayub Al Ansori
Di awal tahun 2016 ini, kita dihebohkan dengan ledakan bom di kawasan Thamrin, Jakarta. Peristiwa ini menambah rangkaian peristiwa terorisme di negara kita. Masih sangat hangat diingatan kita, Kamis 14 Januari lalu peristiwa tersebut terjadi. Berawal dari sebuah ledakan di depan pos polisi Sarinah dan gerai kopi Starbuck. Sebanyak enam ledakan terjadi dalam waktu yang begitu singkat dari pukul 10.40 WIB sampai 11.00 WIB. Bagaimana tidak membuat orang takut dan was-was?. Lalu siapa yang tega berbuat demikian?. Apa yang menjadi motivasi mereka untuk melakukan tindakan keji tersebut?.
Seakan menjawab pertanyaan kita semua, beberapa jam setelah kejadian muncul rilis dari Islamic State of Irak and Syiria (ISIS), kita tahu kelompok ini merupakan kelompok Islam garis keras atau radikal yang sering melakukan tindakan kekerasan mengatasnamakan agama, bahwa mereka bertanggung jawab atas ledakan bom di Jakarta. Hal ini cukup mengagetkan mengingat aksi terorisme dengan mengatasnamakan agama di Indonesia memang sudah tidak kencang terdengar beberapa tahun lalu. Kalaupun terdengar tidak pada tindakan teror namun sebatas ancaman dan ideologisasi lewat media. Kejadian ini seolah-olah kejutan bagi kita yang mungkin sedang lengah. Terbukti kejadian-kejadian terorisme di Indonesia sebelumnya memang tidak dilakukan secara teratur dan pasti, tiba-tiba terjadi, dan merenggut korban jiwa. Untungnya, pemerintah lewat polisi dan tentaranya cepat tanggap menangani kejadian teror di Thamrin kemarin.
Namun sangat disayangkan, sebagian masyarakat Indonesia menanggapi kasus yang masuk kategori terorisme ini dengan cukup apatis. Tindakan terorisme kerap dikait-kaitkan dengan fenomena politik negara. Entah itu tudingan pengalihan isu atau unsur kesengajaan yang dibuat-buat penguasa. Kalau memang itu benar, sungguh tidak berprikemanusiaan. Kalau kita mau berpikir lebih dalam, apapun tindakan kekerasan terorisme, kita semua harus benar-benar mengutuknya, lalu berikhtiar sekuat tenaga agar kejadian tidak berulang dengan menggali dan menemukan akar masalahnya. Setelah itu kita bersama-sama mencabut akar tersebut hingga tuntas. Bagaimanapun juga kejadian di Jakarta sangat menohok kita, apalagi umat Islam yang menjadi mayoritas penduduk di Indonesia, setelah ada pengakuan dari ISIS. Khususnya lagi menohok kaum muda Indonesia karena para pelaku peledakan bom masih berusia 20-30 an tahun.   
Terbukti berdasarkan kajian yang dilakukan Setara Institute dan The Wahid Institute, juga Fahmina Institute menyebut bahwa Indonesia merupakan negara yang rawan dengan tindakan kekerasan dengan mengatasnamakan agama. Dimana para pelaku teror berusia muda. Bukti bahwa usia muda sangat rentan menjadi pelaku teror adalah data dari Setara Institute bahwa satu dari 14 siswa di Jakarta dan Bandung setuju atas keberadaan Islamic State (IS). Sebelumnya, riset MAARIF Institute pada 2011 tentang pemetaan problem radikalisme di SMU negeri di empat daerah (Pandeglang, Cianjur, Yogyakarta, dan Solo), yang mengambil data dari 50 sekolah, mengkonfirmasi fenomena tersebut. Menurut riset ini, sekolah menjadi ruang yang terbuka bagi diseminasi paham apa saja. Karena pihak sekolah terlalu terbuka, kelompok radikalisme keagamaan memanfaatkan ruang terbuka ini untuk masuk secara aktif mengkampanyekan pahamnya dan memperluas jaringannya.
Kelompok-kelompok keagamaan yang masuk mulai dari yang ekstrem menghujat terhadap negara dan ajakan untuk mendirikan negara Islam, hingga kelompok islamis yang ingin memperjuangkan penegakan syariat Islam (Jurnal Maarif, Vol. 8. No. 1, Juli 2013). Untuk wilayah Ciayumajakuning (Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan), Fahmina Institute merilis dalam kurun waktu tahun 2012-2015 ditemukan 33 tindakan pelanggaran dan kekerasan dengan mengatasnamakan agama. Belum lagi pengaruh organisasi-organisasi kemahasiswaan di kampus yang mengajak pada perilaku intoleran berbau radikalis mengarah pada terorisme, seolah dibiarkan begitu saja menjajakan pengaruhnya.
Temuan tersebut cukup mengkhawatirkan. Pasalnya, bangsa Indonesia yang majemuk dan hidup dalam naungan Pancasila dan UUD 1945 menyisakan persoalan pelik seperti itu. Dari catatan-catatan tersebut diatas motif dari tindakan-tindakan kekerasan memang berasal dari perbedaan paham di internal umat beragama, khususnya umat Islam. Perbedaan terkait praktek ibadah, praktek bernegara, dan aqidah. Kita masih sering mendengar bahwa Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan “thagut”/setan, sehingga sistem negara mesti berdasarkan khilafah Islamiyyah. Hukum positif di negara kita mesti dirubah dengan penerapan syari’at Islam. Jika tidak demikian maka negara tersebut beserta penduduknya menjadi kafir. Jika kafir maka halal darahnya. Pernyataan demikianlah yang sering ISIS propagandakan. Yang kemudian dijadikan dalil atas keharusan untuk melakukan tindakan teror dan kekerasan di negara tersebut termasuk Indonesia. Padahal menjaga nyawa manusia (hifdz al-Nafs) merupakan bagian penting dari tujuan universal syari’at Islam (maqashid al-Syari’ah) selain merawat agama (hifdz al-Din), merawat akal (hifdz al-‘Aql), merawat keturunan (hifdz al-Nasl), merawat harta (hifdz al-Mal), kebebasan (al-Hurriyah), dan kesetaraan (al-Musawa).
Ikhtiar Menangkal Radikalisme
Persoalan tersebut sudah saatnya menjadi agenda pemuda Indonesia hari ini. Kita harus segera menyingsingkan lengan baju dan mencurahkan segala kekuatan untuk berkontribusi secara nyata dalam mengurai persoalan radikalisme yang tumbuh dalam tubuh umat.  Fenomena kekerasan atas nama agama inilah sering kali dikenal dengan sebutan radikalisme agama. Abdul Moqsit Ghazali malah mengatakan bahwa Radikalisme agama adalah akar dari terorisme. Fenomena radikalisme agama ini dapat terlihat dari tindakan-tindakan anarkis yang mengatasnamakan agama dari suatu kelompok terhadap kelompok lain yang berbeda keyakinan dan pemahaman dengan kelompok tersebut.
Lalu bagaimanakah peran pemuda?. Apakah hanya diam saja melihat kejadian seperti ini  dan berharap damai akan datang dengan sendirinya?. Tentu kita perlu melakukan kerja-kerja berupa ikhtiar untuk menangkal radikalisme-terorisme ini. Diam bukan berati emas dalam perkara ini. Sebagai pemuda sepantasnya kita perlu untuk menangkal adanya kekerasan agama atau terorisme dengan berbagai ikhtiar. Setidaknya ada tiga ikhtiar yang penulis coba utarakan, pertama memberikan pemahaman dan penjelasan kepada masyarakat khususnya pemuda tentang kedamaian, tidak ada ajaran agama yang menganjurkan umatnya untuk berbuat kekerasan dan teror. KH. Maman Imanulhaq dalam tulisannya yang berjudul “Menyalakan Obor Toleransi” menegaskan, Agama harus menjadi spirit bagi tumbuh suburnya nilai kesucian, kasih sayang, dan pelayanan terhadap kemanusiaan bukan justru memantulkan kebencian, keputusasaan, permusuhan, terorisme, dan intoleransi. Semua agama mengajarkan umatnnya untuk selalu berbuat baik kepada sesama dan saling menjaga rasa aman. Agama apapun sangatlah menjunjung tinggi nilai kedamaian dan menghormati antar umat beragama.
Kedua, menjaga toleransi. Toleransi antar umat beragama merupakan hal sangat penting untuk kita jaga dan lestarikan. Dengan adanya toleransi ini pastinya akan tercipta kehidupan yang damai dan harmonis tanpa adanya rasa permusuhan dan prasangka buruk. Islam sendiri sudah toleran sejak lahir. Islam berarti kepasrahan, kedamaian, dan keselamatan. Apalagi umatnya, mesti bersikap toleran sejak dalam pikiran apalagi perbuatan.
Ketiga, mengedepankan dialog antar agama. Dialog bukan debat. Dialog mengedepankan persamaan, bahwa semua agama mengajak pada kebaikan, sedangkan debat mengedepankan perbedaan. Kalau perbedaan yang dibicarakan maka tidak akan pernah menemukan titik temu sampai gontok-gontokkan sekalipun. Dengan adanya dialog antar agama kita akan semakin mengerti makna pluralitas. Sehingga menambah wawasan keilmuan kita dalam meyikapi setiap persoalan hubungan antar umat beragama.
Dengan ketiga ikhtiar di atas, peran pemuda kedepan, dapat mencegah dan mengurai persoalan radikalisme dan terorisme di Indonesia. Pada posisi ini, semua elemen agama dan aliran kepercayaan mesti bekerjasama. Mengapa demikian? pasalnya, radikalisme dan terorisme bukan hanya masalah bagi umat muslim (Islam), tapi juga bagi umat agama Yahudi, Katolik, Kristen, sebagaimana yang pernah diutarakan Karen Armstrong dalam A History of God-nya. Wallahu A’lam Bi al-Showab.
** Tulisan pernah dimuat dalam http://fahmina.or.id/peran-pemuda-dalam-menangkal-radikalisme-terorisme/ dan Koran Harian Radar Cirebon

Minggu, 06 Maret 2016

Pondok Kebon Jambu Al Islamy Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon



Pondok Kebon Jambu Al Islamy Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon
Nama                          : Kebon Jambu Al-Islamy
Alamat                                    : Jl. Kebon Jambu No 1 Babakan Ciwaringin Cirebon
 Kode Pos 45167 Jawa Barat telp. (0231 )342259
Pendiri                         : KH. Muhammad
Tahun Berdiri              : 1993
Pimpinan                     : Nyai. Hj. Masriyah Amv

a
Jumlah santri              : 700 santri
Jumlah Ustadz             : 70
Lembaga Pendidikan : Pendidikan Pesantren, Madrasah Tahsinul Akhlaq Assalafiyah (MTAS)
program salafiyah ula wustho dan ulya paket c,
Madrasah Aliyah (MA) Tunas Pertiwi, Pendidikan ekstra kurikuler.
Kajian Utama/ ciri Khas : Pengajian kitab kuning

Pondok Pesantren Kebon Jambu Al-Islamy (selanjutnya ditulis Kebon Jambu) adalah salah satu diantara beberapa pesantren yang ada di Babakan Ciwaringin Cirebon Jawa barat Indonesia beralamat di jl. Kebon jambu no 1 babakan Ciwaringin Cirebon Jawa Barat sekitar 30 Km kearah barat dari pusat Kota Cirebon.Kebon Jambu didirikan Oleh KH. Muhammad (biasa dipanggil Akang) pada tanggal 20 Nopember 1993 diatas tanah wakaf yang diberikan oleh mertuanya KH. Amrin Hannan Setelah sebelumnya beliau berhasil menjalankan amanat gurunya KH. M. Sanusi mengurus pondok Kebon Melati hingga saat itu jumlah santri mencapai + 1000 santri. Tanah wakaf itu pada mulanya berupa kebon jambu klutuk setelah menjadi pondok sebagai tabarukan dan mengenang sejarah maka diberi nama Pondok pesantren kebon jambu al-islamy. Sedangkan santri yang ikut akang pada waktu itu sekitar 250 orang. Setiap Tahun Jumlah santri yang masuk dari berbagai daerah terutama wilayah III cirebon terus bertambah, Melihat perkembangan jumlah santri yang begitu cepat, akang bersama santri dan wali santri serta masyarakat pun berusaha untuk terus melengkapi sarana dan prasarana untuk menunjang kegiatan belajar.
Kini PP Kebon jambu al-Islamy menjadi lembaga tafaquh fid diin, tempat mendalami agama berupaya mencetak generasi yang pinter lan bener dengan cara wekel ngaji supaya pinter lan wekel berjama’ah supaya kelakuane bener sesuai dengan wasiat guru dua perintah dan sembilan larangan sekaligus menjadi lembaga pendidikan kemasyarakatan. Setelah KH. Muhammad berpulang ke Rahmatullah, Kebon Jambu dipimpin oleh istrinya Nyai Hj. Masriyah. Masyarakat dan potensi Wilayah Masyarakat sekitar Pondok kebon Jambu umumnya hidup dari pertanian terutama padi dan berdagang. Mereka menganut islam taat nilai-nilai agama dijadikan sumber prilaku, kondisi ini sangat kondusif bagi perkembangan pesantren. Jumlah penduduk ada lebih kurang 6000 orang terdiri dari 1500 kepala keluarga. Mereka ikut berpartisipasi meramaikan kegiatan pondok kebon jambu dengan cara mengikuti kegiatan yang diselenggarakan pesantren.
Pengelolaan Pondok Pesantren Pendiri sekaligus Pengelola pertama pondok Kebon Jambu adalah KH. Muhammad, yang dilingkungan santri terkenal dengan sebutan “Akang” dari nama Kebon Jambu ini akang mempunyai harapan nantinya para mutakhorijin (alumni) pondok Kebon jambu ini benar-benar terdorong untuk berbakti dan mengabdi kepada masyarakat serta bermanfaat bagi umat. Kepemimpinan KH. Muhammad berjalan sampai 1 Nopember tahun 2006 saat beliau wafat. Dan sejak itu dibentuklah Dewan pengasuh yang dipimpin oleh K. asror Muhammad dan beranggotakan K. Syafii Atsmari, K Syamsul Maarif, K. Shodikin, K Muhyidin untuk melanjutkan kepemimpinan Pesantren. Disamping Dewan Pengasuh dilingkungan Pondok Kebon Jambu ada dikenal istilah ahlil-bait yaitu keluarga kyai dan MPP (Majelis pembimbing Pesantren) yang beranggotakan Para alumni yang tinggal disekitar Pesantren. Kepengurusan PP dijabat oleh santri senior dengan cara dipilih secara langsung oleh santri. Kyai dan keluarganya (ahlil-bait) dalam kepengurusan secara formal hanya duduk sebagai penasehat. Kepengurusan kebon jambu ini terdiri atas Dewan pengasuh dengan lima orang kyai, kepala, sekretaris, bendahara dua disamping unsur tersebut dalam kepengurusan ini dibentuk enam seksi, empat kepala komplek yang masing masing komlek memiliki struktur tersendiri, dan duapuluh enam kepala kamar yang bertanggung jawab atas anggota kamarnya. Kegiatan Pendidikan Pendidikan Luar Sekolah PP. Kebon Jambu Al-Islamy menyelenggarakan pendidikan pesantren atau pendidikan luar sekolah seperti program salafiyah tingkat wustho (setara MTs/SMP) dan kejar paket c (setara SMA) yang pelaksanaannya diintegrasikan dengan madrasah pesantren / Madrasah Tahsinul Akhlaq Assalafiyah MTAS yang telah berdiri sejak tahun 1987 bertujuan untuk memberikan pendidikan bagi santri yang tidak mengikuti sekolah formal, kurikulum yang dipakai adalah kurikulum pesantren selain itu kegiatan pendidikan bagi seluruh santri deselenggarakan sebagaimana pendidikan salafi yaitu kajian kitab dengan metode sorogan (face to face) dan bandongan (kolektif). Sorogan adalah santri satu per satu menghadap kyai/ustadz, sedangkan bandongan adalah santri bersama-sama mendengarkan kajian kitab kyai/ustadz.
Materi yang diberikan adalah fiqih, ushul fiqih, tauhid, tafsir al-quran, hadits, mustholah hadits dan lain sebagainya. Kegiatan ekstra kurikuler Kegiatan ekstra kurikuler yang diselenggarakan di kebon jambu meliputi kegiatan : Dari kegiatan ekstra kurikuler ini kebon jambu telah memiliki grup sholawat yang bernama New Zahro yang telah sering memenuhi undangan memeriahkan acara masyarakat seperti PHBI, walimatul khitan, walimatul nikah dan lain sebagainya. Santri, Kyai dan ustadz/guru Jumlah santri yang mendalami agama di Kebon Jambu sebanyak 700 orang, 500 putra dan 200 putri semuanya adalah santri mukim. Dilihat dari latar belakang asal daerah mereka berasal dari kabupaten Indarmayu, cirebon, kuningan, majalengka, subang, karawang, sumatra , Jakarta, Jawa tengah dan NTB. Santri tersebut diasuh oleh Dewan pengasuh, 70 santri senior dengan latar belakang pendidikan santri dan alumni pondok pesantren. Sarana dan prasarana Untuk menunjang kelancaran proses belajar mengajar Kebon jambu memiliki sarana dan prasarana yang terdiri atas ; Putra meliputi : 1 Kantor, 1 masjid, 1 ruang perpustakaan 2 komplek asrama terdiri dari 2 kantor komplek dan 26 kamar, 2 dapur 7 warung, 1 komplek BUMP ( Badan Usaha Milik Pesantren) terdiri dari ruang computer, fotocopy 2 komplek MCK. Pondok Putri meliputi : 1 kantor, 3 komplek asrama terdiri dari 14 kamar, 1 ruang komputer, 2 dapur, 1 komplek MCK. Selain itu kebon Jambu juga memiliki satu unit peralatan seni. Program pengembangan Program pengembangan kebon jambu meliputi pengembnagn fisik dan non fisik. Penmgembanganfisik disesuaikan dengan dana yang ada diantaranya berupa penambahan dan perbaikan asrama dan fasilitas pondok lainnya sementara untuk pengembangan non fisik berupa pengembangan dan pemberdayaan santri di bidang ekonomi dan kemasyarakatan keduanya diupayakan dengan cara didirikannya badan usaha milik pesantren dan mengirimkan santri kedaerah tertentu yang membutuhkan pengajaran dibidang agama.

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Do'a

Adalah Engkau

Yang beri kekuatan

Sekaligus menghujamku

Dengan Qodo dan Qodar-Mu

Tuhan..............

Engkau ku percaya

Menjawab setiap do’a yang ku panjatkan

Ku menyanjung-Mu dengan butiran-butiran dzikirku

Kau tak goyah dengan Qodo-Mu

Ku merengek dengan untaian Wiridku

Kau terlampau tentukan Qadar-Mu

Ku serapi setiap lantunan ayat-ayat-Mu

Kau hanya beri aku harapan

Ku berontak dalam puji-puji doa’ku

Kau hanya menatapku dingin dengan ke-Maha Besaran-Mu

Ku menangis dan memaksamu dalam sujudku

Kau tertawa dengan segala ke-Maha Agungan-Mu

Apa mau-Mu Tuhan?

Aku yakin

Kau jawab “YA”, Kau beri yang aku minta

Kau jawab “TIDAK”, Kau akan berikan yang lebih baik

Kau jawab “TUNGGU” Kau akan beri yang terbaik

Untukku..........

Dengan keterbatasanku

Hanya satu, berikan padaku

“Ridhoilah aku sebagai Hamba-Mu yang terbatas

Wahai ALLAH, Tuhan yang Maha Tak Terbatas”