Isra’
Mi’raj: Sebuah Perenungan Bersama
(Tinjauan
antara persfektif Agama dan Sains)
Oleh: Ayub Al Ansori
*)
Berbincang tentang peristiwa Isra’ Mi’raj secara tidak langsung kita akan membincangkan sebuah peristiwa agung, dimana Nabi Muhammad
mendapatkan ilmu yang mana mendapatkannya tidak dapat dilakukan sembarang
orang. Saya teringat ketika mengaji kitab Qishotul Mi’raj (saya dan teman-teman di
Pesantren mengenalnya “Kitab Bainama”)[1] sebuah
kitab klasik karya Syekh Najmuddin Alghaythy pada K.H. Iim Abdurrahim di
Pesantren dulu dan pengajian ini merupakan salah satu pelajaran istimewa bagi
saya. Menurut beliau (Pak Kiyai), Isra’ Mi’raj adalah perjalanan ilmu yang
dilakukan oleh Nabi Muhammad dan harus kita teladani. Ilmu yang ia dapatkan
adalah Syari’at Shalat. Dalam perjalanan itu Shalat bisa dikatakan sebuah
hadiah bagi kita selaku pengikut Rasulallah. Beliau melanjutkan bahwa arti dari
Shalat adalah Do’a. Do’a dalam arti bukan sekedar menengadah tangan dan memohon
sebuah harapan, tetapi do’a pada hakikatnya yaitu ikhtiar dan kerja. Jadi pada
hakikatnya ketika kita sedang bekerja, belajar dan melakukan aktifitas
lainnya secara sungguh-sungguh maka saat
itu kita sedang shalat (Shalat dalam arti Do’a). Pelajaran penting dari
pengajian tersebut dan hingga kini masih betul-betul saya ingat adalah “Ketika
kita meninggalkan Shalat, maka ketika itu kita telah betul-betul merusak
pencarian, pengajian dan pengkajian kita akan ilmu dan pengetahuan itu sendiri”.
Baik, dalam tulisan ini kita akan
sedikit mencari (bukan mengkaji) dan melihat sedikitnya pergumulan antara Agama
dan Sains terkait peristiwa agung Isra’ Mi’raj Rasulullah. Secara tidak
langsung peristiwa agung tersebut telah menyeret kita pada dua persfektif yang
berbeda tersebut. Dan ini penting kita ketahui karena “agama” pernah bermusuhan
sangat lama dengan Sains. Momentum bercorak supranatural semacam
Isra' Mi'raj ini merupakan salah satu titik persinggungan yang potensial
menyeret sains dan agama ke dalam perbedaan paradigma yang kerap berujung pada
makin runcingnya persinggungan antara sains dan agama. Sulitnya peristiwa
supranatural semacam Isra' Mi'raj dijelaskan dan dipertanggungjawabkan secara
rasional-empiris merupakan pemicu atas hal itu.
Saat abad pertengahan dimana filsafat
masih diwarnai mistisisme-spirituais, dalam hal ini “mengikuti perintah kitab”,
meminjam istilah Jostein Gaarder, secara tekstual dan dibumbuhi kekuatan iman
sehingga sesuatu yang tidak terlihatpun mudah diyakini kebenarannya. Gaarder
dalam bukunya Dunia Sophie
menggambarkan keadaan abad pertengahan dengan menganalogikan pengetahuan
seseorang dengan Hujan Angin. Dimana seseorang tersebut tahu dari orang-orang
bahwa ketika turun hujan maka akan ditandai dengan adanya kilat dan suara
guntur. Meski orang tersebut buta, dia masih tahu bahwa ketika hujan ada kilat.
Atau meski orang tersebut tuli, dia tahu bahwa ketika hujan ada suara guntur.
Nah, dengan merasakan dinginnya air hujan meski dia buta dan tuli, dia yakin
sebelum hujan turun akan ditandai dengan kilat dan guntur. Secara empirik dan
rasional hal ini tentunya tidak objektif karena orang tersebut tidak secara
langsung melihat dan mendengar kilat dan suara guntur tersebut. Pada abad ini
kenabian serta ketinggian posisi spiritual Nabi Muhammad dinilai cukup untuk
melegitimasi secara objektif peristiwa sakral tersebut meski hanya dengan
keyakinan spiritualis bahkan mistis sekalipun.
Namun, memasuki era Renaisans/pencerahan,
ketika peradaban manusia didominasi oleh paradigma modernis yang cenderung
rasionalis-positifis, objektivitas peristiwa "langit" –meminjam
istilah Husein Ja’far- semacam Isra' Mi'raj dinilai tidak masuk akal bahkan
kebenarannya tergoyahkan. Bahkan, momentum-momentum "langit" semacam
itu digusur oleh paradigma modernis yang tersohor kala itu. Pasalnya, manusia
modernis hanya menerima objektivitas realitas ketika dapat
dipertanggungjawabkan secara rasionalis-positifis. Masuk akal dan dibuktikan
secara ilmiah.
“Memasuki abad ke-20,
Albert Einstein kemudian melakukan revolusi paradigma sains. Ia memberikan toleransi
serta ruang bagi otoritas agama dalam ranah sains. Dengan demikian, peristiwa
"langit" semacam Isra' Mi'raj secara tidak langsung kemudian relatif
mulai dibincangkan dalam ranah sains. Dalam pandangan Einstein, keyakinan akan
peristiwa-peristiwa supranatural semacam itu terletak pada suatu ranah yang
belum dapat dijustifikasi oleh sains. Sebab, baginya, pengetahuan aktual para
saintis tentang hukum-hukum alam hanyalah sepotong karya yang belum utuh
(unvollkommenes stuckwerk)” (Husein Ja’far Al Hadar, 2009).
Melihat hal diatas dapat kita ketahui
bahwa paradigma modernis khas Renaisans terlihat menegasikan (mentiadakan)
objektivitas sesuatu yang supranatural, paradigma saintis ala Einstein tampak
masih mentolerir atas ke-objektivitas sesuatu yang supranatural semacam
peristiwa Isra' Mi'raj. Dalam paradigma Einstein (kita petakan bahwa Paradigma
Einstein disini berarti Paradigma Sains itu sendiri), ketidakmampuan sesuatu
yang supranatural dipertanggungjawabkan secara rasionalis-positifis (Masuk akal
dan ilmiah) justru disebabkan karena dinamika sains yang belum menjangkau dan
memahami sesuatu yang supranatural tersebut. Walhasil Einstein masih mengakui
-setidaknya- bahwa Isra’ Mi’raj masih dapat dipertanggung jawabkan
ke-ilmiahan-nya. Dan kita belum tahu apakah peristiwa agung ini ilmiah atau
tidak, akal kita masih jauh meneropong. Kita (lagi-lagi) harus yakin bahwa
Al-Qur’an itu ilmiah maka peristiwa apapun yang diceritakan Al-Qur’an pun
ilmiah.
Yang lebih penting dari ungkapan Einstein
tersebut adalah bagaimana kita berupaya memahami dan menjustifikasi
objektivitas sesuatu yang supranatural (dalam hal ini Isra’ Mi’raj) tidak dapat
dilakukan dengan epistemologi –cara menemukan- ala manusia modernis yang
berlandaskan pada basis empiris-rasionalis semata. Namun, upaya memahami dan
menjustifikasi sesuatu yang supranatural tersebut patut dilakukan dengan
landasan epistemologi berbasis intuitif/kesadaran/psikologis. Muhammad Husain
Haikal, seperti dikutip Fauz Noor dalam bukunya Semesta Sabda mengatakan bahwa Isra’ Mi’raj terjadi secara
psikologis. Di atas telah disebutkan bahwa “hadiah” dari peristiwa agung ini
adalah ilmu, yaitu Shalat. Dengan lisannya yang Fasih Rasulullah mengatakan bahwa: Ash-shalat ‘imaadu ad-din. Shalat adalah tiang ketundukkan
berfikir.
Dari sini, dalam konteks momentum Isra'
Mi'raj, paradigma atau epistemologi berbasis intuitif/psikologi itulah yang
diharapkan digunakan untuk memahami kedalaman makna transendensi –keagungan Tuhan- Isra' Mi'raj secara utuh. Pasalnya, mencoba
meneropong Isra' Mi'raj dengan perspektif paradigma modernis yang cenderung
rasionalis-positifis, secara tidak langsung akan mereduksi nilai-nilai
transenden yang terkandung di balik momentum supranatural tersebut.
Namun, paradigma bercorak sains harus
tetap dipertahankan agar budaya berfikir dan meneliti juga mengkaji keluasan
Agama Islam dengan Al-Qur’an sebagai Kitab suci tetap termotivasi sehingga ilmu
pengetahuan terus bertambah dan terbaharui. Dengan demikian, paradigma sains
akan membawa umat beragama –khususnya Islam- pada corak keberagamaan yang
cenderung lebih rasional, tanpa harus menyingkirkan nilai-nilai transenden
sakral (keimanan pada Allah Maha Esa) yang menjadi salah satu fondasi agama
Islam.
*) adalah Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Biologi (HIMBIO) IAIN Syekh Nurjati
Masa Bhakti 2011-2012
[1]
Kitab Qishotul Mi’raj dikenal juga “Kitab Bainama” di Indonesia karena Kitab
ini tidak seperti Kitab-kitab lain yang di dahului Hamdalah, Shalawat dan Salam
pada permulaan kitabnya. Teks permulaan kitab ini didahului oleh kata
“Bainama”, dalam Bahasa Indonesia berarti “Pada suatu saat”/”Pada waktu
itu”/”Saat itu”. Kitab ini langsung menceritakan duduk persoalan terkait
peristiwa Isra Mi’raj.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar