Selasa, 14 November 2017

Membaca PMII Cirebon (Pengalaman dan Catatan antara 2014-2015)

Oleh: Ayub Al Ansori *)

A.   Awal Berdiri PMII Cirebon
Berdirinya PMII di Cirebon tidak lepas dari sejarahnya yang berawal dari departemen perguruan tinggi dalam IPNU. Tahun 1958 merupakan tahun bersejarah di Cirebon, bukan saja karena Muktamar III IPNU digelar di Cirebon, namun juga menjadi tempat bagi embrio yang akan melahirkan PMII.[1] Menurut KH. Ibrahim Rozi, salah seorang pendiri PMII Cirebon, Muktamar tersebut di gelar di Gedung Bioskop yang sekarang menjadi Pasar Balong Kota Cirebon. Peserta Muktamar saat itu menginap di rumah-rumah warga dan hotel di sekitar Kota Cirebon.
Beliau juga sempat menghadiri Muktamar III IPNU pada tanggal 27 Desember 1958 – 2 Januari 1959 di Cirebon sebagai utusan dari PW. IPNU Yogyakarta. Selain membahas soal krisis politik dan ekonomi nasional, pengembangan cabang IPNU masih menjadi prioritas bahasan. Tidak hanya itu, Ibrahim Rozi juga menjadi saksi sejarah bahwa dalam Muktamar ini betapa keinginan mahasiswa NU untuk mendirikan organisasi kemahasiswaan ditubuh NU begitu tinggi, sehingga muncul gagasan pembentukan departemen perguruan tinggi sebagai embrio lahirnya PMII.[2]
Pada perjalanannya, KH Ibrahim Rozi lebih dahulu mendirikan IPNU di Cirebon tahun 1955 bersama teman-temannya. Baru kemudian pada tahun 60-an bersamaan dengan berdirinya kampus IAIN Cirebon, yang kemudian menjadi cabang dari IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, Ibrahim Rozi yang saat itu diberi tugas mencari mahasiswa baru untuk masuk ke IAIN bersama dengan 6 (enam) orang temannya menggagas dan mendirikan PMII di Cirebon. Mereka yang mendirikan PMII Cirebon adalah  Maksudi Yusuf (Plered Cirebon), Suaeb Sumpeno (Cirebon), Umar Labib Irfan (Klayan Cirebon), Ahmad Sayuti Hasan (Kebon Baru Cirebon), Ahmad Syahari Muchsin (Kebon Baru Cirebon), Kistiharno (KS Tubun Cirebon), dan Ibrahim Rozy (Plered Cirebon). Dan ditunjuk sebagai Ketua Umum pertama PC. PMII Cirebon adalah H. Umar Labib Irfan, seorang jurnalis. Kemudian disusul Sueb Sumpeno pada tahun 1962, kemudian Ahmad Sayuti pada tahun 1964, Ahmad Syahari Muchsin pada tahun 1967, yang tiga tahun kemudian yaitu tahun 1970 menjadi anggota DPRD Kabupaten Cirebon.[3]
Dalam ingatan Ibrahim Rozi, pada awal-awal berdirinya PMII, kegiatan-kegiatan PMII lebih mengarah pada penguatan internal khususnya diskusi-diskusi gerakan mahasiswa sebagai upaya menambah wawasan keilmuan dan kejelian dalam bernalar bagi anggota dan kader. Juga kegiatan-kegiatan pelatihan kaderisasi dan pelatihan-pelatihan kejurnalistikan. Baru kemudian pada masa Sahabat A. Sayuti dan A. Syahari Muchsin terjadi pergolakan gerakan mahasiswa dengan adanya aksi yang digelar oleh KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) di Jakarta. Saat itu Ketua Presidium KAMI adalah Sahabat Zamroni yang juga merupakan Ketua Umum PB PMII. Ahmad Syahari Muchsin dan A. Sayuti Hasan mewakili PMII Cirebon berangkat ke Jakarta.
Sementara hubungan PMII dengan NU saat itu cukup erat karena sebagian pengurus PC. PMII Cirebon merupakan jebolan dari IPNU. Bahkan bisa dikatakan pendiri PMII Cirebon juga merupakan pendiri IPNU Kabupaten Cirebon. Terlepas dari itu semua, bagaimanapun PMII saat itu merupakan badan otonom (banom) NU. Saat itu di Cirebon belum ada wadah organisasi bagi mahasiswa NU. Dengan berdirinya PMII, mahasiswa NU begitu antusias ingin mendirikan PMII di Cirebon, termasuk mahasiswa yang masih tergabung dalam organisasi IPNU Cirebon. Namun demikian tidak terlalu banyak konflik kepentingan antara PMII dan IPNU saat itu. PMII dan IPNU masing-masing berjalan sesuai dengan garapan dan bidangnya masing-masing.

B.   PMII Cirebon 2014-2015 (Sebuah Pengalaman dan Catatan)
PC PMII Cirebon Masa Bhakti 2014-2015 resmi dilantik langsung oleh Ketum PB PMII Sahabat Aminuddin Ma’ruf di Auditorium UNU Cirebon. Sebelum dilantik sungguh banyak pengalaman yang penulis peroleh dalam mempersiapkan acara pelantikan tersebut. Dari rapat ke rapat, saling mengenal antar pengurus baru, makan bersama/bancakan, hingga ke Jakarta mengurus SK naik bus super cepat yang bernama Luragung.
Penulis juga pernah mengalami berbagai macam kegiatan di luar Cirebon bersama sahabat-sahabat lain. Sebut saja agenda Pelatihan Kader lanjut (PKL) di Garut bersama sahabat M Yazidul Ulum (Ketum PMII Cirebon), Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Regional Jabar & Banten di Bandung tahun 2015, penulis berangkat bersama Yazid, sahabat Sahabat Asep Rizky Padhilah (Sekum), dan Sahabati Mar’atus Sholihah (Ketua KOPRI). Selain itu penulis juga berangkat ke Ambon, Maluku untuk mengikuti Musyawarah Pimpinan Nasional (Muspimnas) PMII bersama sahabat Yazid, pernah juga keliling Jakarta seharian menemui alumni dan narasumber untuk mengisi di kegiatan PKL PMII Cirebon dan Seminar Nasional. 
Sebagai salah satu cabang, PC. PMII Cirebon tidak dapat melepaskan diri secara penuh dari peraturan-peraturan dasar yang telah  ditetapkan. Ia berkewajiban menjalankan AD/ART, keputusan kongres, serta peraturan organisasi. Termasuk peraturan eksistensi cabang yang mensyaratkan paling tidak memiliki dua komisariat.
PC. PMII Cirebon dalam struktur organisasi berada di bawah PB (Pengurus Besar) PMII dan PKC (Pengurus Koordinator Cabang) PMII Jawa Barat, serta membawahi beberapa PK (Pengurus Komisariat) dan PR (Pengurus Rayon). Antara tahun 2014 hingga awal tahun 2016, PMII Cirebon memiliki beberapa PK dan PR yang tersebar di 5 (lima) kampus dan 6 (enam) fakultas/jurusan yaitu IAIN Syekh Nurjati (Komisariat Syekh Nurjati), Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon (Komisariat Unswagati), STAI Ma’had ‘Ali Cirebon (Komisariat STAIMA), IAI Bunga Bangsa Cirebon (Komisariat BBC), Universitas Nahdlatul Ulama Cirebon (Komisariat UNU), Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN SNJ Cirebon (Rayon Pelangi Tarbiyah), Fakultas Syari’ah dan Ekonomi Islam IAIN SNJ Cirebon (Rayon El Farouk), Fakultas Ushuluddin, Adab, dan Dakwah IAIN SNJ Cirebon (Rayon An-Nahdloh), Fakultas Hukum Unswagati Cirebon (Rayon Cakrabuana), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Unswagati Cirebon (Rayon Literat), dan Jurusan Tarbiyah STAIMA Cirebon (Rayon Ibnu Rusyd). [4]
Jika melihat perkembangan sebelumnya PMII Cirebon juga memiliki Komisariat di STIKOM Cirebon dan STID Al Biruni Cirebon. Namun pada perjalanannya STIKOM harus mengalami kekosongan anggota dan kader. Namun demikian penulis sendiri saat masih aktif menjadi Ketua Internal PC. PMII Cirebon masa khidmat 2014-2015, sempat rapat dengan para alumni PMII STIKOM, yang diantaranya Sahabat M. Syukron, Sahabat Jaka, Sahabati Roziqoh, Sahabat Andriyono, dan Sahabat Syihabuddin. Saat itu sudah disusun rencana untuk kembali mengaktifkan komisariat STIKOM. Namun pada realitanya belum sempat terwujud.
Sementara untuk STID Al Biruni mengalami stagnasi, meski akhir-akhir ini (awal 2016) sudah mulai terlihat semangat dari pengurus dan anggota PMII di kampus STID Al Biruni. Terlihat dengan kembali disusunnya kepengurusan Komisariat STID Al Biruni dan akan dilakukannya pelantikan.
Dalam kurun waktu tahun 2014-2016 berdiri PK PMII UNU Cirebon dan PR PMII FKIP Unswagati Cirebon (Rayon Literat). Juga kembali aktifnya PK PMII IAI BBC, PK PMII STAIMA Cirebon, PR PMII Tarbiyah STAIMA Cirebon, dan PR PMII FH Unswagati (Rayon Cakrabuana). Salah satu indikatornya adalah dengan melakukan gerakan kaderisasi dan regenerasi kepengurusan, lewat Mapaba dan RTK/RTAR.
Masing-masing komisariat dan rayon tersebut secara kelembagaan berada di bawah cabang. Namun pada fungsinya, cabang tidak secara penuh mengintervensi komisariat atau rayon, tetapi lebih sekedar sebagai fasilitator dan mediator rayon atau komisariat.

C.   Kaderisasi dan Pengembangan Anggota
Penerimaan menjadi anggota PMII dimulai dari tingkat rayon yang notabene merupakan struktur organisasi yang paling bawah dan bersentuhan langsung dengan kader. Rayon secara langsung bertanggungjawab terhadap rekrutmen anggota serta pelaksanaan pengaderan awal PMII. Namun apabila dalam sebuah Komisariat tidak terdapat Rayon maka tugas rekrutmen anggota menjadi tanggung jawab komisariat tersebut. [5]
Rekrutmen anggota PMII di beberapa perguruan tinggi (komisariat) di Cirebon diadakan setiap tahun dan ditangani oleh pengurus rayon atau komisariat. Di beberapa perguruan tinggi, Masa Penerimaan Anggota Baru (MAPABA) secara langsung ditangani oleh rayon. Namun tak jarang pula secara kolektif dilakukan di komisariat. Bahkan ada pula yang karena ketidakmampuannya, ditangani secara bekerjasama antara komisariat dan cabang. Di komisariat IAIN Syekh Nurjati dan Unswagati Cirebon, misalkan, MAPABA ditangani dan diselenggarakan secara langsung oleh masing-masing rayon. Hal ini dikarenakan rekrutmen yang dilakukan di masing-masing rayon berhasil menjaring peserta atas kemampuan yang sudah dimiliki rayon tersebut. Bahkan beberapa rayon, misalkan Rayon Pelangi Tarbiyah dan Rayon An-Nahdloh, berhasil melakuakan kaderisasi (MAPABA) dua kali dalam satu periode kepengurusan.
Sementara di perguruan tinggi di luar IAIN, rekrutmen anggota tidak sebesar IAIN. Sehingga pelaksanaan MAPABA jarang dilakukan di tingkat rayon, namun secara kolektif dilakukan di tingkat komisariat atau gabungan rayon. Bahkan ada yang “dititipkan” di MAPABA tempat lain.
Untuk memperlebar sayap organisasi di perguruan tinggi yang lain, jalur kultural dianggap efektif. Praktisnya dilakukan dengan dua cara, yakni membangun kontak person dengan mahasiswa di perguruan tinggi tersebut dan menitipkannya pada komisariat atau rayon yang melaksanakan MAPABA. Hal ini dapat mengembangkan ghirah untuk membentuk komisariat baru. Anggota yang telah resmi masuk ke PMII praktis terikat dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh PMII. Terlebih PMII sendiri merupakan organisasi ideologi yang memegang teguh prinsip-prinsip teologis dan ideologi yang menjadi pegangannya.
Hingga hari ini berdasarkan data internal PC. PMII Cirebon, PMII Cirebon kini memiliki 1.109 anggota dan kader aktif di berbagai komisariat dan rayon PMII Cirebon.[6]
Kita ketahui bersama, kaderisasi merupakan proses wajib bagi terbentuknya gerakan massif di PMII. Dengan demikian kaderisasi menjadi sebuah tuntutan yang tidak dapat dipisahkan sama sekali dari organisasi kaderisasi seperti PMII, dengan berbagai dasar argumentasinya.
Argumentasi tersebut adalah sebagai berikut; Pertama, Pewarisan nilai-nilai (argumentasi idealis), pengaderan ada sebagai media pewarisan nilai-nilai luhur yang difahami, dihayati dan diacu oleh PMII. Nilai-nilai harus diwariskan karena salah satu sumber elan-gerak PMII adalah nilai-nilai, seperti penghormatan terhadap sesama, perjuangan, kasih-sayang. Nilai-nilai tersebut selain disampaikan melalui materi-materi pengaderan juga ditularkan dalam pergaulan sehari-hari sesama anggota/kader PMII.
Kedua, Pemberdayaan anggota (argumentasi strategis),  pengaderan merupakan media bagi anggota dan kader untuk menemukan dan mengasah potensi-potensi individu yang masih terpendam. Secara lebih luas, pengaderan merupakan upaya pembebasan individu dari berbagai belenggu yang menyekap kebebasannya. Sehingga individu dapat lebih terbuka untuk menyatakan diri dan mengarahkan potensinya bagi tujuan perjuangan.
Ketiga, Memperbanyak anggota (argumentasi praktis), manusia selalu membutuhkan orang lain untuk dijadikan teman. Semakin banyak teman semakin manusia merasa aman dan percaya diri. Hukum demikian berlaku dalam organisasi. Di samping itu kuantitas anggota sering menjadi indikator keberhasilan organisasi, meskipun tidak bersifat mutlak. Setidaknya semakin banyak anggota, maka human resources organisasi semakin besar.
Keempat, Persaingan antar-kelompok (argumentasi pragmatis), hukum alam yang berlaku di tengah masyarakat adalah kompetisi. Bahkan teori Charles Darwin, survival of the fittest, nyaris menjadi kenyataan yang tidak dapat dielak siapapun. Dalam persaingan di tingkat praktek, cara yang sehat dan tidak sehat campur aduk dan sulit diperkirakan berlakunya. Melalui pengaderan, PMII menempa kadernya untuk menjadi lebih baik dan ahli daripada organisasi yang lain. Dengan harapan utama, apabila (kader) PMII memenangkan persaingan, kemenangan tersebut membawa kebaikan bersama. Hanya sekali lagi, persaingan itu sendiri tidak dapat dielakkan. Terakhir atau yang kelima, adalah sebagai mandat organisasi (argumentasi administratif), regenerasi merupakan bagian mutlak dalam organisasi, dan regenarasi hanya mungkin terjadi melalui pengaderan. Tujuan PMII yang termaktub dalam AD/ART Pasal 4 mengharuskan adanya pengaderan. Melalui pengaderan penggemblengan dan produksi kader dapat sinambung. Oleh karena menjadi mandat organisasi, maka pengaderan harus selalu diselenggarakan.[7]
Kelima argumentasi pengaderan di atas tentu sangat ideal. Meski pada perjalannya banyak sekali rintangan. Rintangan itu menjadi penghalang maju dan suksesya kaderisasi di PMII khususnya PMII Cirebon. Kita tidak bisa menolak argument bahwa di PMII banyak sekali orang cerdas. Sehingga seringkali timbul konflik dari perbedaan pendapat orang-orang cerdas tersebut yang justru kontra produktif dengan proses kaderisasi.
Dalam pengaderan PMII dikenal tiga bentuk pengaderan. Pertama, pengaderan formal. Yakni jenjang pengaderan yang telah ditentukan dalam Peraturan Organisasi (PO). Pengaderan ini berjenjang mulai MAPABA (Masa Penerimaan Anggota Baru), PKD (Pelatihan kader Dasar) dan PKL (Pelatihan Kader Lanjut).[8]
Kedua, pengaderan non-formal. Jenis pengaderan ini dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan kader, seperti pengembangan skill dan lain-lain. Pengaderan ini berangkat dari pemetaan bakat dan minat kader untuk terjun dalam bidang-bidang tertentu.[9]
Idealnya, jenis-jenis pengaderan tersebut berjalin berkelanjutan. Dengan harapan kader yang nantinya terbentuk mempunyai skill memadai serta militan dalam gerakan. Kaderisasi formal menjadi penting dan utama karena merupakan dasar bagi kader PMII. Dan seterusnya pengaderan non-formal disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing kader.
Di PMII Cirebon sendiri baik PC, PK, maupun PR, telah melakukan proses kaderisasi yang disebutkan di atas tadi. Untuk MAPABA dilaksanakan oleh setiap PR atau PK, untuk PKD dilaksanakan oleh PK, dan untuk PKL dilaksanakan oleh PC. Begitupun pengaderan non-formal, sudah banyak dilakukan oleh PC, PK, dan PR di PMII Cirebon.
Sebut saja selama kurun waktu masa bhakti 2014-2015 telah dilaksanakan sebanyak 12 (dua belas) kali MAPABA oleh PR dan PK PMII di Cirebon, 1 (satu) kali PKD oleh PK. PMII IAIN SNJ Cirebon, dan 1 (satu) kali PKL oleh PC. PMII Cirebon. Tidak hanya pengaderan formal yang dilaksanakan oleh PC, PK, dan PR PMII di Cirebon, tetapi juga pengaderan non-formal, seperti Sekolah Advokasi, Pelatihan Administrasi dan Manajemen Organisasi, Pelatihan Jurnalistik, Kursus Bahasa Inggris, Pelatihan Karya Tulis Ilmiah, Sekolah Dasar Kepemimpinan, dan lain sebagainya.[10]
Ini menunjukkan bahwa proses kaderisasi di PMII tidak sebatas kaderisasi formal, tetapi juga kaderisasi non-formal sebagai follow up dari kaderisasi formal di PMII. Meski pada kenyataanya masih banyak kendala dan hambatan pada pelaksanaanya.

D.   Harapan Ke Depan
Bukan organisasi kalau tidak ada masalah, kendala, dan hambatan. Salah satu masalah yang sering dialami di semua level kepengurusan di PMII adalah tidak optimalnya kinerja pengurus. Ini merupakan masalah klasik yang dihadapi organisasi kader semacam PMII, terlebih kader-kadernya masih menyandang status sebagai mahasiswa yang dituntut studinya. Belum lagi dihadapkan pada konflik-konflik internal organisasi. Meski pada hakikatnya konflik tersebut merupakan cara bagaimana belajar dewasa, belajar menghargai, belajar komunikasi yang baik, dan belajar mengelola kepemimpinan di PMII.
Dengan demikian, menurut penulis, PMII Cirebon akan menjadi lebih baik dan solid ketika pengurus, kader, dan anggotanya bahkan alumninya bisa saling memahami dan menyadari. Faham dan sadar akan pentingnya komunikasi yang baik, saling melengkapi, saling menasihati, saling mengkritik yang membangun. Tradisi kritik itu baik seperti ilmuan terdahulu. Berkat kritik tersebut kita akan sama-sama menjadi besar dan lebih profesional. Sehingga tidak perlu banyak pertengkaran, meski banyak perbedaan. Tidak perlu ada dendam meski ada perselisihan. Tidak perlu saling acuh meski suasana kian mengeruh. Sebagai kader PMII kita selalu diajarkan saling menghormati. Saling dukung dalam kepengurusan adalah kunci dari kemajuan dan solidnya organisasi. Di sinilah pentingnya “Ngopeni Bebaturan, Ngurip-ngurip Seduluran”.
Salah satu bait Mars PMII “satu barisan dan satu cita, satu angkatan dan satu jiwa” menegaskan bahwa PMII harus senantiasa solid karena kita -di PMII- adalah keluarga. Karena kita berada dalam satu cita dan jiwa, maka akan menepis segala kemungkinan terburuk yang menimpa PMII. “Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”, begitu orang sering mengatakan slogan yang berkaitan dengan organisasi. Sekali lagi, kita –PMII- mengenal “satu barisan dan satu cita, satu angkatan dan satu jiwa”. Salam Pergerakan!.

*) Penulis adalah Ketua 1 PC PMII Cirebon Masa Khidmat 2014-2015.









Bahan Data
1.        Data Internal PC. PMII Cirebon Masa Khidmat 2014-2015.
2.        Hasil Wawancara dengan Drs. KH Ibrahim Rozi (salah seorang pendiri PMII Cirebon), pada bulan Februari 2015.
3.        Hasil Wawancara dengan Drs. KH Ibrahim Rozi, pada 14 Maret 2016.
4.        Hermawan, Eman, 2000, Menjadi Kader Pergerakan: Dari Simpatisan Menjadi Kader Militan, Dari Individu Menjadi Organizer, Yogyakarta: KLINIK.
5.        Tim Editor, 2013, Diaspora Pemikiran Pelajar NU dalam Mengabdi NKRI, Jakarta: PP IPNU.
6.        Tim Kaderisasi Nasional, 2012, Buku Panduan Kaderisasi PMII, Jakarta: PB PMII.
Tim Penyelaras, 2016, Keputusan-Keputusan Musyawarah Pimpinan Nasional (Muspimnas) PMII, Jakarta: PB. PMII.


[1] Tim Editor, Diaspora Pemikiran Pelajar NU dalam Mengabdi NKRI, (Jakarta: PP IPNU, 2013), hlm. 36.
[2] Wawancara dengan KH Ibrahim Rozi (salah seorang Pendiri PMII Cirebon) bulan Januari 2015.
[3] Wawancara dengan KH Ibrahim Rozi di kediamannya tanggal 14 Maret 2016.
[4] Data Internal PC. PMII Cirebon Masa Khidmat 2014-2015, hlm. 1-2.
[5] Tim Kaderisasi Nasional, Buku Panduan Kaderisasi PMII (Jakarta: PB PMII, 2012), Hal. 145
[6]  Data Internal PC. PMII Cirebon Masa Khidmat 2014-2015, hlm. 2.
[7] Eman Hermawan, Menjadi Kader Pergerakan: Dari Simpatisan Menjadi Kader Militan, Dari Individu Menjadi Organizer, (Yogyakarta: KLINIK,2000), hlm. 9-16.
[8] Tim Penyelaras, Keputusan-Keputusan Musyawarah Pimpinan Nasional (Muspimnas) PMII, tentang PO BAB II Pasal 2 Ayat 1, (Jakarta: PB. PMII, 2016), hlm. 91.
[9]  Ibid, hlm. 94-96.
[10]  Data Internal ……………………., hlm. 3-6.

Selasa, 25 Juli 2017

Ramadan, Fathu Makkah, dan Pesan Perdamainan **

Oleh: Uub Ayub Al Ansori

Tepat tanggal 10 Ramadan 14 abad silam, Rasulullah Muhammad SAW beserta para sahabatnya memasuki Makkah dengan tanpa darah menetes sedikit pun. Meskipun di pihak kafir Quraisy sangat ketakutan akan terjadinya konflik berdarah.

Kekhawatiran mereka cukup beralasan. Bagaimanapun, menurut Husain Haikal dalam bukunya “Sejarah Hidup Muhammad”, Makkah dikepung melalui empat penjuru yang terdiri dari arah bawah lembah dipimpin Khalid bin Walid, arah atas bukit Kada’ dan Al Hajun dipimpin Zubair bin Awwam, arah tengah lembah dipimpin Abu Ubaidah Al Jarrah, dan dari arah barat dipimpin Sa’ad bin Ubadah.
Alasan lainnya adalah tradisi perang di Arab. Di mana semua laki-laki akan dieksekusi mati; perempuan dan anak-anak akan dijadikan budak. Mengingat persitiwa ini kait-kelindan dengan dikhianatinya perjanjian Hudaibiyah oleh kafir Quraisy yang merugikan Nabi dan para sahabatnya. Maka wajar Nabi melakukan pembalasan dengan menyerang Makkah.

Namun kekhawatiran-kekhawatiran itu dijawab lain oleh Nabi dan para sahabatnya. Alih-alih balas dendam, Nabi malah memilih jalan kasih sayang, Jalan perdamaian. Meski Makkah sudah dikepung dari berbagai arah, sedikitpun Nabi tidak menginstruksikan menyerang apalagi membunuh. Nabi lebih memilih berunding daripada pertumpahan darah.

Setelah berunding dengan Abu Sufyan, salah seorang pemimpin Quraisy, Nabi mengatakan siapa saja yang memasuki pekarangan Ka’bah, ia aman. Siapa saja yang masuk ke rumahnya sendiri dan menutup pintu, ia aman. Bahkan untuk menghormati Abu Sufyan sebagai pemimpin Quraisy, Nabi menambahkan, siapa saja yang memasuki rumah Abu Sufyan, maka ia aman.

Setelah itu, Nabi memimpin pasukannya dan meminta para pemimpin pasukan dari empat penjuru menyatakan “Al Yaumu Al Marhamah (Hari ini adalah Hari Kasih Sayang)”. Namun Sa’ad bin ‘Ubadah, salah seorang pemimpin pasukan, berteriak “Al Yaumu Al Malhamah (Hari ini adalah Hari Pertumpahan Darah)”. Sontak semua kaget dan merasa ketakutan terutama kaum kafir Quraisy.

Menurut Prof KH Nasaruddin Umar, saat itu Abu Sufyan melakukan protes. Namun Nabi segera menjawab, “Tidak begitu maksudnya. Sahabat itu cadel. Tidak bisa menyebut huruf “ra”, sehingga dibaca “lam”.

Sedangkan menurut Husain Haikal, saat itu Nabi langsung menegur Sa’ad bin Ubadah dan mengambil bendera pasukan dari tangan Sa’ad. Kemudian diserahkan kepada Qais –anaknya Sa’ad- yang pembawaannya lebih tenang daripada ayahnya.

Dalam suasana khidmatnya bulan Ramadan, Nabi memasuki Makkah beserta para sahabatnya menuju K’bah. Kemudian melakukan thawaf.

Bilal bin Rabbah yang ikut bersama rombongan lantas melantunkan Adzan yang begitu merdu. Meski saat itu Bilal sempat di-bully karena ia berkulit hitam dan seorang budak. Namun Nabi tidak membiarkan rasisme terjadi di antara umatnya. Lantas Nabi berkhutbah di hadapan para sahabat dan sebagaian masyarakat Makkah yang memasuki pekarang Ka’bah –sekarang Masjidil Haram-. Khutbah yang penuh dengan cinta kasih, tanpa hoax apalagi ujaran kebencian. Khutbah yang menentramkan semua jiwa yang mendengarkannya.

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, serta menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling takwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.

Ayat 13 surat Al Hujurat di atas menjadi pembuka khutbah Nabi sebagai jawaban atas ejekan kepada Bilal. “Ayat modern” –meminjam istilah Prof Nadirsyah Hosen- ini telah jauh mendahului teori-teori social dan teori-teori psikologi kalangan ilmuwan dan filsuf abad modern.

Masih dalam khutbahnya, Nabi memberikan amnesty kepada seluruh penduduk Makkah. Tanpa memandang agama, suku, dan status sosialnya.

Fad-habuu, wa antum thulaquu (Pergilah, sesungguhnya kalian telah bebas)” ujar Nabi.

Peristiwa bersejarah ini dikenal dengan Fathu Makkah atau Pembebasan Makkah. Fathu Makkah menjadi saksi penyelesaian konflik paling manusiawi. Nabi tidak memaksakan ajaran agama kepada masyarakat Makkah. Tidak ada pembunuhan. Beliau justru menawarkan jalan damai. Perdamaian dijunjung tinggi. Dendam dibalas kasih sayang. Bahkan pembesar Quraisy pun mendapat pemaafan dari Nabi.

“Muhammad sangat mengedepankan prinsip mencegah tindak kekerasan di antara umat, karena Islam yang berarti berserah di hadapan Tuhan diambil dari kata Salam yang memiliki arti perdamaian,” ungkap Karen Armstrong saat menggambarkan peristiwa Fathu Makkah dalam bukunya “Muhammad Sang Nabi”.

Fathu Makkah menjadi rekonsiliasi paling fenomenal yang melahirkan keutuhan dan kedamaian. Dunia mengetahui dan menyaksikan kearifan dari seorang Nabi Muhammad SAW.

Kita harus berkaca pada Fathu Makkah. Sebagai muslim yang mayoritas di Indonesia dengan beragam akan suku, agama, ras, dan budaya mestilah meneladani sifat dan sikap Nabi. Segala persoalan yang berhubungan dengan SARA tidak lantas kemudian menjadi konflik yang berkepanjangan. Sudah saatnya kita saling memahami satu sama lain. Sisi kemanusiaan harus dikedepankan. Perbedaan tidak lantas menjadi persaingan dan permusuhan. Perbedaan justru harus menjadi kekuatan. Kekuatan untuk melawan segala bentuk terror dan ancaman. Dengan demikian akan menjadi sebuah kekuatan bagi Indonesia yang damai penuh kasih sayang. Wallhu A’lam Bisshowabi.

Majalengka, 4 Juni 2017


** Tulisan pernah dimuat dalam kolom “Tausiyah Ramadan” Radar Cirebon hal. 1 (19) Edisi Senin, 5 Juni 2017.

Soal Menghormati yang (Tidak) Puasa **

Oleh: Uub Ayub Al Ansori

Setiap bulan Ramadan datang bukannya tenang dan khusuk, malah seringkali kita meributkan soal menghormati dan tidaknya orang yang berpuasa. Begitupun sebaliknya untuk yang tidak berpuasa. Apa pentingnya menghormati orang yang berpuasa? Apa pula pentingnya menghormati orang yang tidak berpuasa?

Ternyata keharusan menghormati puasa sudah ada sejak dulu. Sejak paruh 1919. Menghormati puasa zaman pendudukan Belanda dan Jepang diwujudkan dalam bentuk meliburkan sekolah selama bulan puasa. Alih-alih menghormati, ternyata Belanda dan Jepang ada maunya.

Nagi Belanda, berurusan dengan Islam sama saja berurusan dengan perdagangan dan perekonomian. “Seyogyanya meenghormati pesantren-pesantren di Jawa, pada umumnya terletak di tengah lautan kebun tebu, agar supaya santri Buntet di Cirebon atau Tebuireng di Jombang tidak mengobrak-abrik pabriksambil menggulung kain sarung hingga lutut. Gula, yang merupakan gabus tempat kerajaan Belanda mengapung, tidak boleh terancam,” begitu tulis Mahbub Djunaidi dalam esainya yang berjudul “Bulan Puasa Anak-anak Sekolah”.

Lain Belanda, lain pula dengan Jepang. Saat pendudukan Jepang, menghormati muslim yang sedang puasa, lebih pada motif kekuasaan secara politik agar tidak begitu banyak konflik dengan Islam. “pura-pura bersungguh hati demi Asia Timur Raya.” tulis mahbub jeli.

Kepura-puraan memang merugikan. Maka pasca kemerdekaan, Mahbub, tidak ingin lagi libur puasa dijadikan ajang seolah-olah menghormati yang sedang puasa. Ia mengingatkan, “Karena itu, kamu harus belajar keras, tak terkecuali di bulan puasa. Satu hari terlewat berarti rugi dua puluh lima tahun”.

Kepura-puraan dengan dalih menghormati yang sedang puasa itu dijawab sudah oleh Gus Dur. Saat jadi Presiden, beliau meliburkan sekolah selama Ramadan penuh. Tidak ada motif dan tidak ada kepentingan. Apalagi dengan dali menghormati yang sedang puasa.

Dengan dalih menghormati orang yang sedang puasa tidak jarang merugikan orang lain. Pemaksaan penutupan warung makan, pemaksaan tidak boleh makan-minum di depan orang yang sedang puasa. Semua serba tidak boleh, demi menghormati yang sedang puasa. Padahal meski ada yang makan-minum di depan kita yang berpuasa, tidak menjadikan kita lantas ikut menikmati. Anggap saja itu semua godaan bagi yang sedang puasa. Semakin banyak godaan dan kita tahan akan godaan itu, maka iman kita dianggap kuat. Tahan godaan, iman kuat.

Nah, demi menghormati orang yang tidak puasa tidak jarang kita juga terkadang –maaf- lebay. Alih-alih bersikap toleransi kita diharuskan menghormati yang tidak berpuasa. Padahal yang tidak berpuasa pun tidak menuntut untuk dihormati. Justru sebaliknya, yang tidak berpuasa merasa perlu menghargai yang sedang puasa.

Contoh kecil jika memang harus saling menghormati. Bukankah dengan menutup warung pakai tikar agar yang makan-minum tidak terlihat oleh yang sedang puasa merupakan cara menghormati mereka kepada yang berpuasa. Bukankah membiarkan warung buka measki harus pakai tirai agar orang-orang yang tidak berpuasa bias menikmati makan-minum, juga merupakan cara menghormati mereka yang puasa kepada yang tidak puasa.

Sebetulnya semua ini terjadi begitu saja, berdasarkan kesadaran diri masing-masing, tanpa perlu dikomando, apalagi diajari dengan ungkapan-ungkapan suci agama. Karena sebagai warga Indonesia yang baik dan ini sudah menjadi watak dari sejak zaman nenek moyang bahwa kita diajarkan untuk saling menghargai.

Puasa Hanya untuk Allah SWT

Kita pastilah ingat sebuah hadits qudsi yang menyatakan bahwa puasa hanya milik Allah SWT.

…… Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya. Disebabkan dia (orang berpuasa) telah meninggalkan syahwat dan makanannya karena-Ku …. (HR. Bukhori-Muslim).

Dapat kita pahami bahwa puasa merupakan ibadah khusus antara manusia dengan Tuhannya. Yang pantas dihormati hanyalah Allah SWT karena puasa milik-Nya. Dengan puasa seharusnya kita terhindar dari riya, ujub, dan dengki/sombong. Namun alih-alih ingin dihormati terkadang kita merasa sombong. Merasa bahwa diri kitalah yang paling benar dan harus dihormati lantaran sedang menjalankan tugas suci puasa.

Kita seakan lupa bahwa puasa semestinya menghindarkan diri dari hal-hal negative. Seperti hadits di atas bahwa puasa menghindarkan kita dari syahwat. Syahwat dari merasa benar sendiri, merasa paling mulia, dan merasa paling dimuliakan. Padahal hanya Allah yang tahu seberapa jauh kita ikhlas berpuasa untuk-Nya. Karena itu hanya Allah lah yang pantas memuliakan dan dimuliakan.

Saat puasa hanya Allah lah yang tahu mereka yang puasa atau tidak. Kita juga tidak tahu seseorang tidak puasa bukan karena memang ia tidak ingin puasa. Islam memberikan hak privilege bagi orang tertentu untuk boleh tidak puasa, yaitu orang sakit, musafir –orang yang sedang dalam perjalanan jauh-, anakanak, perempuan yang sedang menyusui atau hamil, dan orang jompo. Tentunya dengan konsekuensi mengganti/qodo puasa di lain waktu atau dengan membayar fidyah.

Hal ini, mestinya dipahami oleh kita para pemeluk agama, apalagi ormas yang membawa symbol agama. Allah SWT menghendaki kemudahan bagi umatnya, dan tidak menghendaki kesukaran. Karena puasa adalah milik-Nya, maka tanpa kita melakukan sebentuk pemaksaan untuk menghormati yang sedang puasa atau sebentuk rasa toleransi untuk menghormati yang tidak puasa, Allah SWT Maha Mengetahui kita yang benar-benar menjalankan ibadah puasa karena-Nya.

Lantas masih perlukah menghormati itu dieksplisitkan? Ah, rasa-rasanya tidak perlu.

“Jika saya harus menjawab, saya akan mengatakan: saya takut dihormati,” tulis Goenawan Mohammad tempo hari dalam capingnya yang ia beri judull “Puasa”.


Majalengka, 28 Mei 2017

Puasa Sebagai Sarana Pendidikan Jasmani-Rohani **

Oleh: Uub Ayub Al Ansori

Bulan Ramadan telah tiba. Bulan dimana segenap orang Islam bersuka-cita di dalam melaksanakan kewajiban agama yaitu puasa. Besar-kecil, tua-muda, laki-laki dan perempuan, semuanya larut di dalam suasana religious yang tercipta ketika bulan sabit/hilal muncul menandai permulaan Ramadan atau ketika Bapak Menteri Agama mengumumkannya. Umat Islam di seluruh penjuru dunia menyongsong Ramadan dengan penuh bahagia dalam suasana takzim.

Lepas dari kontroversi soal penentuan awal Ramadan, sebagai santri, penulis taklid saja kepada Syekh Salim bin Sumair Al Hadrami mushonif kitab Safinatun Najah. Saat kecil, kita, mungkin pernah mengaji kitab Safinah, dimana terdapat pembahasan Puasa dengan Bab tersendiri. Sedikit penulis kutip, “Faslun. Yajibu Shaumu Ramadana Bi-Ahadi Umuri Khomsatin. Ahaduha Bi-Kamali Sya’bana Tsalatsina Yauman. Wa Tsaniha Bi-Ru’yati Al Hilali Fi Haqqi Man Ro-ahu Wa In Kana Fasiqon. Wa Tsalitsuha Bi-Tsubutihi Bi Haqqi Man Lam Yarohu Bi “Adli Syahadatin…. Dst,”.

Kurang lebih maknanya begini, “Pasal (kata ini kalau ditarkib panjang-red). Diwajibkannya Puasa Ramadan dengan salah satu sebab yang lima. Pertama, sempurnanya bulan Sya’ban yaitu tiga puluh hari. Kedua, melihat bulan/hilal bagi seseorang yang benar-benar melihatnya, meski ia orang fasik. Ketiga, melihat hilal dapat ditetapkan bagi orang yang tidak melihat hilal dengan sebab adanya persaksian orang adil dan dapat dipercaya bahwa ia melihat hilal… dst.

Jadi kalau salah satu sebabnya sudah mencukupi maka kita sudah diwajibkan puasa pada saat itu juga. Di Indonesia, sebagai warga Negara yang baik mesti manut pada pemerintah yang dianggap adil dalam menentukan Bulan Ramadan lewat rukyatul hilal di seluruh penjuru Indonesia melalui tim rukyat dan hisab Kemenag.

Jika Menteri Agama sudah mengumumkan di televise secara live bahwa hasil sidang itsbat menyatakan hilal tampak, maka kita berbondong-bondong ke Masjid atau Tajug untuk berjama’ah Tarweh. Lantas paginya kita sahur bersama keluarga. Sungguh saat itu kita benar-benar telah memasuki bulan puasa.

Puasa Sarana Pendidikan Jasmani dan Rohani

Puasa merupakan perintah Allah untuk kita lakanakan, sebagaimana yang juga dilaksanakan umat-umat Islam terdahulu sebelum Nabi Muhammad mendapat risalah kenabian. Tujuannya agar manusia bertakwa kepada Allah. Menjadi orang saleh secara personal dan social. Kesalehan personal lebih pada ibadah yang bersifat ritual seperti shalat, sedangkan kesalehan social dicirikan denganrelasi kasih saying kepada orang lain.

Selama Ramadan kita melaksanakan puasa dari mulai waktu imsak hingga Maghrib.ketika itu kita diharuskan menahan lapar dan haus dengan tidak makan dan minum. Dengan puaa kita lebih merasakan arti seteguk air. Dengan puasa kita menjadi tahu manfaat sepiring nasi bagi perut yang lapar. Dengan puasa kita dapat merasakan bagaimana haus dan laparnya si miskin setiap harinya. Dengan puasa juga kita menjadi mengerti arti dari kesabaran, menahan nafsu, dan menahan rasa ego.

Prof. KH Said Aqil Siradj memberikan wejangan kepada kita bahwa puasa tidak hanya berurusan dengan kenyang dan lapar. Jika ditelusuri lebih jauh, tulis Kiai Said, kata sha-wa-ma yang berarti menahan juga merujuk pada aktivitas batiniah. Artinya, puasa juga menahan hati dari berbagai hal negative yang bisa merusak jiwa seperti iri, dengki, riya, sombong, ujub, dan penyakit hati lainnya. Karena itu, dalam puasa, seorang Muslim dilatih untuk menyinergikan antara dua eksistensi yang berbeda, yaitu jasmaniah dan rohaniah. Sebab, di dalam rohani kita terdapat ide-ide kebaikan yang nanti diejawantahkan oleh jasmani dengan sikap hidup keseharian.

Sementara itu, Cak Nur –sapaan Nurcholis Madjid- dalam bukunya Dialog Ramadan menulis begini “Ibadah puasa merupakan bagian dari pembentuk jiwa keagamaan seorang Muslim, dan menjadi sarana pendidikannya di waktu kecil dan seumur hidup”.

Betapa tidak, saat kecil, kita tidak mau ketinggalan di hamper seluruh kegiatan Ramdan, dari acara sahur sampai berbuka puasa. Lebih-lebih di saat tarawih. Kita merasa senang bias berkumpul dengan teman-teman di Masjid atau Tajug. Tarawih bersama sambil “mengganggu” satu sama lain, saling senggol kanan-kiri, bisik sana-bisik sini. Para orang tua ada yang memahami tingkah kita waktu itu, tapi ada juga yang tidak tahan untuk tidak membentak atau menghardik. Biasanya kita tidak peduli alias bodo amat. Kalaupun terpaksa, kita akan pindah ke pelataran di luar Masjid/Tajug. Dan ini berarti “ancaman” bahwa salat tarawih akan mulai sepi dari teriakan ‘Aamiin” dari kita sebagai anak-anak, yang diakui atau tidak teriakan ini ikut “menyemangati” suasana salat tarawih yang panjang sebanyak 20 rakaat atau 8 rakaat plus witir 3.

Lalu diakui atau tidak justru kita –sebagai anak-anak- lah yang meramaikan masjid/tajug sebulan penuhy. Lihat saja para jama’ah saat tarwih hari ketujuh mulai menghilang satu persatu. Mang Jaja sudah tidak kelihatan lagi –mungkin sedang mengejar target bekerja sampai malam untuk persiapan lebaran, sehingga tidak sempat salat berjama’ah. Pak Eme dan Abah Udin sudah tidak tampak –mungkin mereka lelah karena sudah tua. Yang masih tetap eksis ya anak-anak yang suka bikin rebut, yang karena keributannya itu masjid/tajug menjadi tetap “hidup”.

Pada akhirnya bulan puasa menjadi penuh hikmah bagi kita umat Islam. Sebagai Muslim, kita tanpa perlu dipaksa-paksa biasanya muncul sendiri kesadarannya bahwa sebagai manusia beragama kita punya kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikan, baik kepada Allah maupun sesama manusia. Saat puasa, yang malas shalat, misalnya barangkali agak mikir-mikir, sehingga rajin shalat. Kita pasti pernah mendengar “tidak ada gunanya puasa kalau tidak shalat” atau “puasa tanpa shalat pahalanya tidak dapat”. Saat bulan puasa juga kita merasakan berbagi dengan si miskin melalui zakat. Padahal member si miskin bias kita lakukan setiap hari melalui sedekah. Kita juga semakin rajin membaca ayat suci Al-Qur’an. Lembar demi lembar, one day one juz, Al Qur’an kit abaca hingga khatam dalam sebulan. Padahal pada bulan-bulan lainnya, Al Qur’an hanya menjadi pajangan di lemari.

Mudah-mudahan puasa tahun ini lebih berkah dari tahun-tahun yang lalu. Lebih giat dan semangat. Pastinya puasa kita memberikan dampak yang baik bagi jasmani dan rohani kita. Sehingga kita benar-benar mendapatkan apa yang kanjeng Nabi Muhammad sebut sebagai “Farhataani”, yaitu farhatun ‘inda fitrih, wa farhatun ‘inda liqoi’ robbih. Amin. Wallhu A’lam Bisshowabi
   
Majalengka, 26 Mei 2017


** Tulisan pernah dimuat dalam kolom Opini HU Kabar Cirebon Hal. 12 edisi Senin 29 Mei 2017

Selasa, 11 Juli 2017

Terorisme, Komik, dan Anak-anak


Oleh Uub Ayub Al-Ansori

Diakui atau tidak terorisme hampir ada pada semua agama. Tentu bukan agama yang mengajarkan terorisme, tetapi pemeluk agamanya yang salah memahami agamanya. Harus diyakini bahwa semua agama mengajarkan kebaikan. Tidak ada agama di dunia ini yang mengajak pemeluknya untuk mencuri, membenci, memukul, apalagi membunuh. Aqidah boleh beda tapi inti dari ajaran agama adalah mengajak pada kebaikan.

Celakanya, terorisme berbaju agama sudah bergerak di Indonesia. Salah satunya teror yang dilakukan ISIS. Sebut saja, baru-baru ini terjadi teror di Masjid Falatehan. Masjid yang notabene berada persis di kompleks Mabes Polri. Dua orang anggota kepolisian terkena tusuk si pelaku. Beberapa bulan lalu kita juga dihebohkan dengan teror ISIS di Kampung Melayu dan kawasan Sarinah.

Fenomena terorisme ISIS yang mengklaim apa yang mereka lakukan adalah sesuai ajaran Islam tentu tidak bisa dibenarkan. Islam tidak mengajarkan kekerasan dan pembunuhan apalagi pemboman. Pemboman yang marak akhir-akhir ini diakui merupakan gerakan ISIS. Tentu ini merupakan ancaman agar kita takut dan tunduk pada ISIS. Sebagai Muslim, kita harus mengatakan dengan lantang bahwa kita tidak takut dan ISIS bukan ajaran Islam. Justru kita harus memberikan pemahaman kepada dunia bahwa Islam mengajarkan cinta kasih sesama umat beragama apalagi sesama umat seagama.

Lalu apa hubungannya terorisme dengan komik dan anak-anak seperti judul di atas?

Kita harus menyadari sedini mungkin, perkara terorisme bukan sekadar urusan orang dewasa. Perkara terorisme juga menyasar pada anak-anak. Di Suriah dan Irak, ISIS begitu gencar mendoktrin anak-anak pada pemahaman keagamaan yang salah. Anak-anak sudah diajarkan untuk melakukan teror. Bahkan baru-baru ini viral di media sosial ada seorang ayah di NTB mengajarkan kekerasan atas nama agama kepada anaknya yang masih kecil. Ini gila, mengingat si ayah berprofesi sebagai guru. Bukan tidak mungkin hal yang semacam terjadi di daerah lain di Indonesia. Miris memang.

Bagaimana caranya? Selain di sekolah dan lembaga pendidikan yang harus mengajarkan pentingnya bersikap toleransi dan bahayanya terorisme ISIS. Pemahaman bahayanya ISIS juga harus digalakkan melalui komik.

Penulis merupakan anak MI/SD zaman 90-an menjelang milenium 2000. Dapat dibilang zaman berjayanya komik-komik khas Indonesia. Anak 90-an pasti masih ingat komik horor petualangan Petruk dan Gareng karya Tatang S. Bagi Penulis, Tatang S ini adalah legendanya komik, yang bisa dinikmati kalangan anak-anak ekonomi menengah ke bawah. Harganya terjangkau. Komik Petruk ini begitu digemari anak-anak. Selain seram dan dibubuhi cerita lucu, komik ini juga kadang mengajarkan watak keagamaan khas Indonesia. Selain menampilkan hantu semacam kuntilanak, sundel bolong, pocong, dan tuyul, komik ini juga menampilkan bagaimana peran penting tokoh agama di perkampungan. Petruk dan Gareng terkadang harus mendapat taushiyah dari Pak Ustadz karena jarang shalat makanya diganggu kuntilanak. Hal-hal ini menjadi penting bagi pembentukan karakter anak-anak.

Tidak hanya komik Petruk. Kita juga bakal menemukan komik horor lainnya yang bernuansa siksa neraka. Komik semacam ini biasanya membuat Penulis dan teman-teman merinding. Bukan main seramnya ilustrasi neraka di komik tersebut. Sedikit nostalgia, sampai-sampai Penulis juga teman-teman waktu itu segera tobat dan rajin mengaji. Betapa tidak, komik ini dibaca bersama-sama terkadang giliran, jadi seisi kelas dapat membaca semua.

Biasanya komik-komik ini akan beredar menjelang bahkan saat bulan Ramadhan. Tujuannya tentu agar komik terjual banyak karena uang jajan anak MI/SD tidak dibelikan makanan atau minuman. Yang pasti, si penerbit juga sangat mulia karena dengan membaca komik-komik tersebut anak-anak akan rajin beribadah. Minimalnya jadi rajin mengaji di madrasah diniyah.

Demikian, menurut Penulis, komik-komik semacam begini harus digalakkan kembali. Anak-anak pasti akan suka. Mesti ada penerus-penerus Tatang S di negeri ini. Hanya saja tema-temanya diganti menjadi Bahaya ISIS, Kita Tidak Takut ISIS, dan lain sebagainya. Di mana di situ ditampilkan sosok kiai atau ustadz kampung yang mengajak pada ajaran agama yang benar, penuh kasih sayang, penuh toleransi, dan pesan perdamaian.

Tetapi kita beruntung. Pasalnya, untuk membentengi anak-anak dari otak buntungnya teroris ISIS, NU punya komikus kawakan. Namanya Mas Aji Prasetyo. Seperti yang ditulis Abdullah Alawi di NU Online, Mas Aji sudah membuat komik dengan judul Apa Sih Maunya NU? Komik bisa menjadi semacam kontra radikalisme. Komik membuat penikmatnya merasa tenang dan damai.

Kita patut bersyukur dengan hadirnya komik-komik yang menyebarkan atau mengampanyekan perdamaian tersebut. Penulis yakin dengan hadirnya komik-komik semacam begitu akan membekas di hati anak-anak, pun hingga dewasa. Wallahu a'lam bis shawab.

** Tulisan pernah dimuat dalam https://www.nu.or.id/post/read/79356/terorisme-komik-dan-anak-anak (Rabu, 05 Juli 2017)

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Do'a

Adalah Engkau

Yang beri kekuatan

Sekaligus menghujamku

Dengan Qodo dan Qodar-Mu

Tuhan..............

Engkau ku percaya

Menjawab setiap do’a yang ku panjatkan

Ku menyanjung-Mu dengan butiran-butiran dzikirku

Kau tak goyah dengan Qodo-Mu

Ku merengek dengan untaian Wiridku

Kau terlampau tentukan Qadar-Mu

Ku serapi setiap lantunan ayat-ayat-Mu

Kau hanya beri aku harapan

Ku berontak dalam puji-puji doa’ku

Kau hanya menatapku dingin dengan ke-Maha Besaran-Mu

Ku menangis dan memaksamu dalam sujudku

Kau tertawa dengan segala ke-Maha Agungan-Mu

Apa mau-Mu Tuhan?

Aku yakin

Kau jawab “YA”, Kau beri yang aku minta

Kau jawab “TIDAK”, Kau akan berikan yang lebih baik

Kau jawab “TUNGGU” Kau akan beri yang terbaik

Untukku..........

Dengan keterbatasanku

Hanya satu, berikan padaku

“Ridhoilah aku sebagai Hamba-Mu yang terbatas

Wahai ALLAH, Tuhan yang Maha Tak Terbatas”