Catatan: Uub Ayub Al Ansori
MENGINGAT nama Tolchah Mansoer seakan kembali ke masa-masa awal mengenal
Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU). Namanya selalu, bahkan wajib, disebut di
setiap melakukan kegiatan-kegiatan kaderisasi, baik Makesta, Lakmud, ataupun
Lakut.
Sebagaimana lazimnya, saya pribadi hanya tahu bahwa beliau adalah founding
father terpenting dalam organisasi IPNU. Ia merupakan pelopor, pendiri,
sekaligus penggerak pada masa awal berdirinya IPNU. Ia juga merupakan ketua
umum pertama IPNU. Namun hanya sebatas itu yang saya tahu tentang sosok Pak
Tolchah. Biarkan saya menyebutnya begitu, seperti saya menyebut KH Ibrahim Rozi
(pendiri IPNU Cirebon) dengan sebutan Pak Ib.
Tidak banyak ditemukan catatan atau artikel tentang Pak Tolchah ketika saya
penasaran dan sengaja shearching di dunia maya. Rasa ingin tahu itu terjawab,
berawal dari mengikuti dialog interaktif di pinggiran arena Kongres IPNU tahun
2012 lalu, tepatnya di gerai KFC Kota Palembang. Beruntung saya dan rekan-rekan
dari Cirebon menjadi bagian dari peserta yang terbatas itu, di tengah-tengah
yang lain sibuk berkonsolidasi jelang pleno pemilihan ketua umum IPNU.
Saat itu hadir sebagai narasumber Prof Yahya Umar, Ir M Romahurmuziy, dan
Dra Hj Safira Machrusah. Kedua nama yang disebut terakhir merupakan putra dan
putri Pak Tolchah. Sejak itu saya lebih jauh mengenal siapa itu Tolchah Mansoer
pendiri IPNU. Minimalnya saya dapat mengambil pelajaran dan hikmah dari
mengenal sosok Pak Tolchah tersebut.
Ditambah seusai dialog, peserta diberi hadiah sebuah buku yg menurut saya
sangat penting dimiliki setiap kader IPNU, sebuah buku yang berjudul “KH Moh
Tolchah Mansoer, Biografi Profesor NU yang Terlupakan”. Sepulang dari kongres,
saya langsung melahap buku tersebut. Membaca, mengkaji, dan menjiwai setiap
bait kata-kata yg ada dalam buku tersebut. Buku tersebut juga menjadi referensi
utama saat memberikan materi tentang ke-IPNU-an. Bahkan di waktu yang lain
menjadi referensi materi ke-PMII-an.
Patut disematkan pada Pak Tolchah, bahwa ia adalah aktivis pergerakan.
Pelopor berdirinya IPNU. Memiliki kontribusi penting terhadap lahirnya PMII. Ia
juga intelektual andal dan akademisi berdedikasi. Di sisi lain, ia adalah
seorang “kiai otodidak” yang kharismatik dan mumpuni. Pendeknya, ia adalah
potret ideal generasi bangsa ini. Maka pantas ia diberi gelar tertinggi
akademik “profesor” dan disematkan pula kepadanya gelar KH (kiai haji) oleh
masyarakat yang mencintainya.
Sebagai salah seorang pelopor dan pendiri IPNU yang banyak mengkader
generasi muda NU, secara ideologis ia banyak melahirkan generasi-generasi muda
NU penerus estafet kepemimpinan di IPNU. Namun ia pun menjalin hubungan erat
antarkeluarga NU.
Secara biologis ia juga melahirkan generasi-generasi NU. Ia mempersunting
ketua umum pertama IPPNU, Dra Umroh Mahfudzoh, cucu dri pendiri NU, KH Wahab
Chasbullah.
Pak Tolchah adalah orang yang memiliki pendirian kuat dan idealis dalam
merealisasikan cita-citanya di IPNU. Seperti yang ia tuliskan dalam pidatonya,
“berdirinya organisasi Ikatan Peladjar Nahdlatul Ulama’ tidak hanya sekadar
mengumpulkan kawan baik dari pesantren, dari sekolah-sekolah menengah NU dan
umum ataupun dari universitet-universitet. Bukan hanya itu. Ada dasar yang
bersifat ideologisch yang menyebabkan dia tumbuh. Dia mempunyai sebab dan
memiliki principe ideologisch yang memerlukan “ideologiese dranger” yang
melaksanakannya walau bagaimana juga zaman dan orang berkata tentangnya”.
Dari catatan sejarah tersebut, idealisme IPNU merupakan refleksi dari
idealisme Pak Tolchah. IPNU dicita-citakan olehnya menjadi wadah bagi pelajar
umum dan pelajar pesantren. Pertemuan kedua kekuatan ini, dalam pandangannya,
akan menjadi kekuatan kaderisasi yang penting dalam pengembangan jamiyah NU ke depan.
Lebih dari sekadar visi organisasi, komitmen itu seolah melekat dalam dirinya.
Pak Tolchah merupakan sosok ilmuan, ahli hukum tata negara generasi kedua yang
dimiliki Indonesia, sekaligus santri.
Bagi Pak Tolchah berdirinya IPNU bukan sekadar wahana kumpulnya bocah-bocah
NU atau bertemunya anak-anak NU dari pesantren dan sekolah. Tapi baginya ada
sebab yang jelas, salahsatunya perjuangan untuk menyelamatkan para kader muda
NU agar tetap pda jalur ke-NU-annya dan tidak terpengaruh oleh ideologi transnasioanal
yang tidak relevan dengan garis ideologis NU.
Apalagi Yogyakarta, yang menjadi pusat aktivitas IPNU saat itu, merupakan
basis tumbuhnya gerakan ideologi Wahabi. Bagi Pak Tolchah, IPNU berperan
sebagai “juru selamat” bagi para kader muda NU agar tidak tercerabut dari akar
ideologi Aswaja.
Konteks hari ini, ancaman ideologi transnasional semacam ISIS, Wahabi dan
HTI terhadap generasi muda NU terasa makin gencar. Barangkali ada pengulangan
sejarah sbagaimana dulu dirasakan Pak Tolchah. Karenanya, IPNU sudah seharusnya
tampil di depan untuk tetap menjaga agar generasi muda Islam Indonesia tetap
berada dalam garis moderasinya, yaitu dengan semangat tawasut, tawazun,
tasamuh, itidal, serta amar ma’ruf nahi munkar.
Bagi Pak Tolchah, IPNU juga bukan sekadar paguyuban pecinta NU. Tetapi IPNU
didirikan denga semangat perjuangan dan pengabdian. Semangat untuk
memperjuangkan hak-hak kaum pelajar. Semangat untuk mengabdikan diri kepada
kemaslahatan umat. Jadi, jika kader IPNU tidak siap berjuang dan mengabdi, maka
dia akan tersingkir oleh sejarah panjang IPNU. Sebab, IPNU dalam gagasan Pak
Tolchah, adalah ruang yang elegan untuk belajar, berjuang, dan bertakwa bagi
setiap kader muda NU.
Pak Tolchah mengajarkan kepada kita bagaimana laku perjuangan dalam
organisasi. Ia sangat bersahaja, berpenampilan sederhana, naik-turun angkutan
untuk datang ke berbagai daerah dalam rangka menyebarkan semangat juang bagi
kader muda NU. Masa mudanya dihabiskan untuk perjuangan kaum pelajar NU, bahkan
hingga tua dan meninggalnya. Rumahnya di komplek Colombo 21 senantiasa menjadi
markas para aktivis pergerakan, garasi rumahnya menjadi tempat diskusi dan
mengaji, hingga menjadi tempat berlindungnya para aktivis dari kejaran polisi
sehabis demonstrasi.
Satu hal yang cukup menarik dan tidak ingin saya lewatkan, Pak Tolchah
bukanlah putra mahkota dari pesantren ternama. Buka pula putra saudagar atau
bangsawan kaya raya. Ia lahir dri seorang pedagang kecil di sudut Pasar Besar
Malang. Justru karena itulah kearifannya ditempa dan terbangun menjadi sosok
yang idealis dan visioner. Karena berasal dari keluarga sederhana itulah, yang
menyebabkannya pandai bergaul tanpa rasa sungkan, disertai dengan penuh
ketakziman.
Mengagumi masa lalu dan menghormati pendahulu, bukan romantisme belaka.
Rasa-rasnya bentuk penghormatan kepada orang terdahulu kita adalah dengan
melanjutkan perjuangan mereka. Kita tidak bisa menyamai semangatnya Pak
Tolchah, namun kita juga tidak berhenti pada maqam terdiam. Artinya, kita harus
terus bergerak serta melakukan inovasi dan kreativitas-kreativitas untuk
kemajuan IPNU.
Terus bergerak dalam satu ikatan, sambil belajar pada perjuangan dan
kearifan pendahulu kita pada masa lalu, salahsatunya adalah kepada sang pelopor
gerakan pelajar NU, Prof Dr KH Moh Tolchah Mansoer MH. Wallahu a’lam bisshowab.
(*)
Penulis Adalah Mantan Ketua PC IPNU Kabupaten Cirebon
** Tulisan pernah dimuat dalam http://cirebonplus.com/berita/belajar-kepada-tolchah-mansoer-sang-pelopor-gerakan-pelajar-nu/
(24 Mei 2017)