PENTINGNYA HUTAN KOTA *)
Oleh: Ayub Al Ansori
Pencemaran udara di Kota Cirebon tidak bisa dianggap sepele, mengingat
jumlah kendaraan yang terus meningkat. Salah satu cara mengatasi problem
ini adalah dengan melestarikan hutan kota. Dalam hal ini Pemerintah Kota
Cirebon harus sesegera mungkin mewujudkan hutan kota untuk menyaring
udara dan mengurangi masalah polusi yang mulai tampak serius.
Dampak yang sangat terasa di Cirebon adalah dampak pencemaran udara.
Pencemaran udara ini dapat diakibatkan oleh banyaknya gas-gas yang
dikeluarkan oleh kendaraan. Gas – gas ini bisa jadi berupa CO (karbon monoksida), aerosol, dan timbel. “Partikel-partikel gas ini pada tingkat tertentu dapat menimbulkan berbagai macam gangguan seperti penyakit paru-paru, bronchitis, dan pembuluh
darah. Pada tingkat rendah bisa mengakibatkan peradangan kulit
daniritasi mata,”. Demikian ini seperti apa yang disampakan Dr. Tumisem,
M.Pd, pakar lingkungan hidup dan hutan kota, saat berkesempatan menjadi
pembicara dalam Seminar Nasional Konservasi Lingkungan yang digelar
Himpunan Mahasiswa Biologi (HIMBIO) di IAIN Syekh Nurjati Cirebon.
Kitatahu bersama bahwa Kota Cirebon berada di jalur strategis
perhubungan darat.Kota Cirebon yang berada di tengah jalur transportasi
antar kota-kota di pulau Jawa tentu akan selalu dilewati kendaraan yang
berasal dari berbagai kota. Hal itu berdampak pada banyaknya volume
kendaraan dan tentu saja dengan sendirinya mengakibatkan pencemaran udara
di Kota Cirebon. Melihat situasi demikian dan dampakyang
diakibatkannya, tentu sudah saatnya Pemerintah Kota Cirebon
menyeriusi kelestarian hutan kota. Jangan sampai terjadi dampak
lingkungan yang lebih fatal, krisis lingkungan hidup.
Secara umum, krisis lingkungan hidup didorong oleh dua hal berikutini, yaitu: Pertama,
pertambahan penduduk yang begitu pesat yang menuntut pemenuhan kebutuhan
yang tak terbatas (bahan makanan, bahan bakar, energi, dsb). Kedua,
Kemajuan di pelbagai bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).
Krisis ini sebenarnya sudah lama terjadi, namun agaknya manusia (secara
keseluruhan) belum menyadari akan bahaya laten yang terdapat di dalamnya.
Manusia masih asyik menjadi penguasa alam semesta. Manusia belum
menyadari bahwa dirinya adalah bagian dari alam semesta ini, sehingga
krisis lingkungan hidup belum menjadiperhatian bersama. Padahal, dari
berbagai definisi tentang lingkungan hidup yang ada, kita diingatkan
bahwa lingkungan hidup adalah bagian dari kita dankita adalah bagian
dari lingkungan hidup; dan keduanya saling berinteraksi dalam sebuah
ekosistem.
Oleh karena itu sesuai dengan PP Nomor 63
Tahun 2002 Tentang Hutan Kota pasal 1 ayat 2; hutan kota merupakan suatu
hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di
dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak,
yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat yang berwenang. Dalam hal
ini pemerintah wajib mendukung segala kegiatan yang sifatnya
melestarikan lingkungan terutama hutan kota.
Dalam suatu kawasan harus disediakan 30 % dari luas kawasan tersebut
sebagai kawasan lindung. Kawasan lindung sendiri merupakan wilayah yang
ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelstarian lingkungan hidup
yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan. Dengan demikian
dalam kawasan perkotaan perlu ditetapkan suatu kawasan yang mempunyai
fungsi perlindungan kelestarian lingkungan.
Dalam makalahnya yang berjudul “Hutan Kota dan Pemanfaatannya”, Dr.
Tumisem menuliskan bahwa tujuan penyelenggraan hutan kota adalah untuk
kelestarian, keserasian dan keseimbangan ekosistem perkotaan yang
meliputi unsure lingkungan, sosial dan budaya. Untuk menekan/mengurangi
peningkatan suhu udara di perkotaan dan menekan/mengurangi pencemaran
udara (kadar karbonmonoksida, ozon, karbondioksida, oksidanitrogen, belerang dan debu).
Hutan kota pun bisadalam bentuk hutan bakau, kita tahu Cirebon
merupakan daerah pesisir pantai.Juga bisa dibuat di pinggir-pinggir
jalan atau area (jalan) bypass dengantumbuhan-tumbuhan yang
dapat menyerap air seperti kersem, dammar, pala, dankacang merah atau
kacang-kacangan. Dalam hal ini sekali lagi perlu adanya visi,sinergi dan
gerakan antara masyarakat, steakholder dan pemerintahsebagai eksekutor kebijakan.
Sikap Kita sebagai Manusia
Perlu juga disampaikan seperti apa sikap kita sebagai manusia, dalam hal ini sebagai khalifah di muka bumi. Pertama, menjadi khalifahbukan berarti sama dengan bahwa manusia berhak menjadi pemilik dan penguasaalam, dan kita sering lupa hal ini. Justru,
yang terjadi, manusia merusak lingkungan yang menampilkanwajahnya
sebagai bukan seorang khalifah yang menjaga bumi. Manusia seperti itu lebih menampilkan wajah serakah, egois, sombong dan kufur. Ini menandakan sikap manusia mengangkangi bahwa Allah-lah sebagai penguasa dan pemilik alam rayaini.
Kedua,
Sikap terbuka dansederhana. Alam bukanlah milikmanusia. Manusia hanya
penggarap, ia tergantung sepenuhnya kepada Allah. Iatidak mempunyai
apa-apa. Ia hanya tahumemakai saja. Seluruhnya adalah merupakan ciptaan.Kehidupan manusia merupakan anugerah. Karena itu semua ciptaan-Nya adalah saudara yang harus saling menjaga.
Ketiga, Semua makluk adalahsuadara. Pandangan ini muncul dari pengalaman mistik atas alam raya. Hal ini akan menimbulkan sikap mistik alam yang membuat orangmelihat bahwa alam ciptaan adalah sebagai tanda kehadiran sang pencipta.Mempunyai sikap mistik ada tuntutan untuk pembersihan dari egoisme.Sehingga
keharmonisan bisa tewujud. Sebab manusia tidak memandang dunia
dariefisisen dan kumulasi untuk dirinya sendiri. Dengan sikap ini
manusia sungguhbesatu dengan alam, sehingga menjadikan manusia itu
semakin peka.Manusia tahu dan sadar bahwa merusak lingkungan berarti merusak dirinyasendiri. Wallahua’lamuBishshowabi.
*) Tulisan pernahdimuat di HARIAN UMUM (HU) FAJAR CIREBON Edisi Kamis (09 Januari 2014) halaman14 kolom Opini.
Minggu, 19 Januari 2014
Munding Gus Dur
Munding Gus Dur
Oleh: Ayub Al Ansori
Lahir tahun 1991 di Kabupaten Majalengka, saya betul-betul tidak mengenal yang namanya Abdurrahman Wahid apalagi Abdurrahman Ad-Dakhil. Belakangan, saya tahu, keduanya merupakan nama lain dari Gus Dur.
Kenapa nama lain? Bukankah itu nama asli beliau? Karena telinga saya pertama kali mendengar nama Gus Dur bukan yang lainnya. Hingga nama itu terngiang terus. Sampai suatu waktu, kalau tidak salah tahun 1999-an, ada tetangga, tepatnya teman bermain menyanyikan “lagu”, sebuah lagu yang saat ini mungkin bisa disebut black campaign.
Nyanyian itu berbunyi “PAN, Amin Rais. PKB, Gus Dur. Jangan Menangis di alam Kubur,”. Jujur, saat itu saya sangat marah. Saya sampai pukul teman saya yang menyanyikan lagu itu hingga menangis.
Satu alasan kenapa saya memukulnya, Gus Dur, saat itu adalah Presiden (lagi-lagi saya mengenal dan tahu bahwa presiden Indonesia waktu itu bernama Gus Dur bukan Abdurrahman Wahid). “Presiden kok kamu ece,” kata saya waktu itu.
Orang yang pertama kali mengenalkan nama Gus Dur adalah bapak saya. Saat itu tahun 1999, umur saya baru 8 tahun. Namun bapak saya waktu itu membawa beberapa lembar kertas ke rumah. Saat ini saya mengenalnya pamflet.
Kertas itu memuat foto seorang bapak-bapak yang sudah tua berkacamata dan berkopiah. Waktu itu muncul pertanyaan, “Pak, siapa orang ini?” tunjuk saya pada foto kertas yang dibawa bapak itu.
“Ini foto Gus Dur. Presiden kita nanti,” begitu jawab bapak saya. Itulah kali pertama saya mendengar nama Gus Dur si presiden.
Lantas keesokan harinya bapak saya menempel kertas-kertas itu di pintu garasi mobilnya. Banyak sekali. Lagi-lagi saya bertanya, “Kok di tempel di pintu garasi, Pak? Kan jadinya jelek pintunya,” kataku tak setuju. Namun bapakku menjawab dengan enteng, “Biar orang lain tahu. Gus Dur akan jadi Presiden.” Saya hanya diam melihat bapak menempelkan kertas satu per satu di pintu garasi mobilnya.
Namun, hari berikutnya. Pagi-pagi ketika hendak berangkat kerja bapak saya dikagetkan dengan keadaan pintu garasi mobilnya. Garasi mobilnya penuh dengan kotoran munding (kerbau dalam Sunda). Saya tahu ketika bapak mengambil ember dan mengajak saya untuk membersihkan garasinya, kebetulan saya sekolah masuk jam 10.00 pagi karena madrasah waktu itu kekurangan kelas sehingga satu kelas angkatan saya masuk agak lebih siang.
“Tuh kan, Pak, gara-gara kertas yang ditempel jadi banyak tai munding-nya,” kataku. Bapakku hanya jawab, “Hush, yang ngelemparin kotoran ini, mundingnya Gus Dur,” katanya sambil senyum.
Saya belum puas dengan jawabannya, “Emangnya siapa sih Gus Dur itu Pak?”
“Gus Dur itu yang akan jadi Presiden Indonesia. Beliau itu seorang ulama panutan dan disegani di Indonesia. Munding aja gak berani nyeruduk garasi mobil,” jawab Bapakku seadanya.
Mungkin bagi saya saat ini jawaban itu tidak begitu memuaskan, namun dulu jawaban tersebut cukup memuaskan. “Jadi, yang ngelempar kotoran di garasi ini mundingnya Gus Dur,” tambahnya lagi.
Belakangan, menginjak remaja, saya baru tahu yang bapak maksud dengan “munding” dan kenapa kotoran kerbau itu memenuhi pintu garasi mobilnya.
Tidak lama dari kejadian itu, saya diajak nonton pemilihan Presiden oleh bapak saya di salah satu stasiun televisi. Saya lihat di TV suasana di dalam sebuah gedung yang luas sangat ramai. Dan sorotan kamera mangarah pada satu sosok yang saya ketahui melalui kertas yang Bapak dulu bawa.
“Itu kan orang yang ada di foto kertas yang bapak waktu itu bawa?” tanyaku.
“Iya. Beliau akan jadi Presiden,” jawab Bapakku.
Saat itu saya serius menonton karena yang namanya Gus Dur, yang sering disebut-sebut bapak saya, saat itu benar-benar ada di televisi.
“Yang Mulia Gus Dur,” saya dengar seorang pemandu suara mengatakannya.
“Alhamdulillah. Tuh kan Gus Dur jadi Presiden. Mundingnya malah kalah kan,” sorak Bapak saya pada waktu itu.
Saat itu saya sangat mengagumi sosok Gus Dur. Seorang tokoh besar yang Bapak kenalkan pada saya sejak kecil. Belakangan ketika nyantri di Pondok Kebon Jambu Al Islamy Babakan Ciwaringin Kabupaten Cirebon, saya tahu nama beliau adalah Abdurrahman Wahid Ad-Dakhil, Presiden ke-4 Republik Indonesia, Ketua Umum PBNU, tokoh kebhinekaan, tokoh anti-kekerasan, tokoh humanisme, dan seabrek julukan lainnya.
*) Pernah dimuat di situs NU Online (http://www.nu.or.id) Edisi Ahad, 22 Desember 2013 dalam rangka Haul Gus Dur
Dapat dilihat di: http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,48868-lang,id-c,nasional-t,Munding+Gus+Dur-.phpx
Oleh: Ayub Al Ansori
Lahir tahun 1991 di Kabupaten Majalengka, saya betul-betul tidak mengenal yang namanya Abdurrahman Wahid apalagi Abdurrahman Ad-Dakhil. Belakangan, saya tahu, keduanya merupakan nama lain dari Gus Dur.
Kenapa nama lain? Bukankah itu nama asli beliau? Karena telinga saya pertama kali mendengar nama Gus Dur bukan yang lainnya. Hingga nama itu terngiang terus. Sampai suatu waktu, kalau tidak salah tahun 1999-an, ada tetangga, tepatnya teman bermain menyanyikan “lagu”, sebuah lagu yang saat ini mungkin bisa disebut black campaign.
Nyanyian itu berbunyi “PAN, Amin Rais. PKB, Gus Dur. Jangan Menangis di alam Kubur,”. Jujur, saat itu saya sangat marah. Saya sampai pukul teman saya yang menyanyikan lagu itu hingga menangis.
Satu alasan kenapa saya memukulnya, Gus Dur, saat itu adalah Presiden (lagi-lagi saya mengenal dan tahu bahwa presiden Indonesia waktu itu bernama Gus Dur bukan Abdurrahman Wahid). “Presiden kok kamu ece,” kata saya waktu itu.
Orang yang pertama kali mengenalkan nama Gus Dur adalah bapak saya. Saat itu tahun 1999, umur saya baru 8 tahun. Namun bapak saya waktu itu membawa beberapa lembar kertas ke rumah. Saat ini saya mengenalnya pamflet.
Kertas itu memuat foto seorang bapak-bapak yang sudah tua berkacamata dan berkopiah. Waktu itu muncul pertanyaan, “Pak, siapa orang ini?” tunjuk saya pada foto kertas yang dibawa bapak itu.
“Ini foto Gus Dur. Presiden kita nanti,” begitu jawab bapak saya. Itulah kali pertama saya mendengar nama Gus Dur si presiden.
Lantas keesokan harinya bapak saya menempel kertas-kertas itu di pintu garasi mobilnya. Banyak sekali. Lagi-lagi saya bertanya, “Kok di tempel di pintu garasi, Pak? Kan jadinya jelek pintunya,” kataku tak setuju. Namun bapakku menjawab dengan enteng, “Biar orang lain tahu. Gus Dur akan jadi Presiden.” Saya hanya diam melihat bapak menempelkan kertas satu per satu di pintu garasi mobilnya.
Namun, hari berikutnya. Pagi-pagi ketika hendak berangkat kerja bapak saya dikagetkan dengan keadaan pintu garasi mobilnya. Garasi mobilnya penuh dengan kotoran munding (kerbau dalam Sunda). Saya tahu ketika bapak mengambil ember dan mengajak saya untuk membersihkan garasinya, kebetulan saya sekolah masuk jam 10.00 pagi karena madrasah waktu itu kekurangan kelas sehingga satu kelas angkatan saya masuk agak lebih siang.
“Tuh kan, Pak, gara-gara kertas yang ditempel jadi banyak tai munding-nya,” kataku. Bapakku hanya jawab, “Hush, yang ngelemparin kotoran ini, mundingnya Gus Dur,” katanya sambil senyum.
Saya belum puas dengan jawabannya, “Emangnya siapa sih Gus Dur itu Pak?”
“Gus Dur itu yang akan jadi Presiden Indonesia. Beliau itu seorang ulama panutan dan disegani di Indonesia. Munding aja gak berani nyeruduk garasi mobil,” jawab Bapakku seadanya.
Mungkin bagi saya saat ini jawaban itu tidak begitu memuaskan, namun dulu jawaban tersebut cukup memuaskan. “Jadi, yang ngelempar kotoran di garasi ini mundingnya Gus Dur,” tambahnya lagi.
Belakangan, menginjak remaja, saya baru tahu yang bapak maksud dengan “munding” dan kenapa kotoran kerbau itu memenuhi pintu garasi mobilnya.
Tidak lama dari kejadian itu, saya diajak nonton pemilihan Presiden oleh bapak saya di salah satu stasiun televisi. Saya lihat di TV suasana di dalam sebuah gedung yang luas sangat ramai. Dan sorotan kamera mangarah pada satu sosok yang saya ketahui melalui kertas yang Bapak dulu bawa.
“Itu kan orang yang ada di foto kertas yang bapak waktu itu bawa?” tanyaku.
“Iya. Beliau akan jadi Presiden,” jawab Bapakku.
Saat itu saya serius menonton karena yang namanya Gus Dur, yang sering disebut-sebut bapak saya, saat itu benar-benar ada di televisi.
“Yang Mulia Gus Dur,” saya dengar seorang pemandu suara mengatakannya.
“Alhamdulillah. Tuh kan Gus Dur jadi Presiden. Mundingnya malah kalah kan,” sorak Bapak saya pada waktu itu.
Saat itu saya sangat mengagumi sosok Gus Dur. Seorang tokoh besar yang Bapak kenalkan pada saya sejak kecil. Belakangan ketika nyantri di Pondok Kebon Jambu Al Islamy Babakan Ciwaringin Kabupaten Cirebon, saya tahu nama beliau adalah Abdurrahman Wahid Ad-Dakhil, Presiden ke-4 Republik Indonesia, Ketua Umum PBNU, tokoh kebhinekaan, tokoh anti-kekerasan, tokoh humanisme, dan seabrek julukan lainnya.
*) Pernah dimuat di situs NU Online (http://www.nu.or.id) Edisi Ahad, 22 Desember 2013 dalam rangka Haul Gus Dur
Dapat dilihat di: http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,48868-lang,id-c,nasional-t,Munding+Gus+Dur-.phpx
Langganan:
Postingan (Atom)