Munding Gus Dur
Oleh: Ayub Al Ansori
Lahir
tahun 1991 di Kabupaten Majalengka, saya betul-betul tidak mengenal
yang namanya Abdurrahman Wahid apalagi Abdurrahman Ad-Dakhil.
Belakangan, saya tahu, keduanya merupakan nama lain dari Gus Dur.
Kenapa
nama lain? Bukankah itu nama asli beliau? Karena telinga saya pertama
kali mendengar nama Gus Dur bukan yang lainnya. Hingga nama itu
terngiang terus. Sampai suatu waktu, kalau tidak salah tahun 1999-an,
ada tetangga, tepatnya teman bermain menyanyikan “lagu”, sebuah lagu
yang saat ini mungkin bisa disebut black campaign.
Nyanyian itu
berbunyi “PAN, Amin Rais. PKB, Gus Dur. Jangan Menangis di alam Kubur,”.
Jujur, saat itu saya sangat marah. Saya sampai pukul teman saya yang
menyanyikan lagu itu hingga menangis.
Satu alasan kenapa saya
memukulnya, Gus Dur, saat itu adalah Presiden (lagi-lagi saya mengenal
dan tahu bahwa presiden Indonesia waktu itu bernama Gus Dur bukan
Abdurrahman Wahid). “Presiden kok kamu ece,” kata saya waktu itu.
Orang
yang pertama kali mengenalkan nama Gus Dur adalah bapak saya. Saat itu
tahun 1999, umur saya baru 8 tahun. Namun bapak saya waktu itu membawa
beberapa lembar kertas ke rumah. Saat ini saya mengenalnya pamflet.
Kertas
itu memuat foto seorang bapak-bapak yang sudah tua berkacamata dan
berkopiah. Waktu itu muncul pertanyaan, “Pak, siapa orang ini?” tunjuk
saya pada foto kertas yang dibawa bapak itu.
“Ini foto Gus Dur. Presiden kita nanti,” begitu jawab bapak saya. Itulah kali pertama saya mendengar nama Gus Dur si presiden.
Lantas
keesokan harinya bapak saya menempel kertas-kertas itu di pintu garasi
mobilnya. Banyak sekali. Lagi-lagi saya bertanya, “Kok di tempel di
pintu garasi, Pak? Kan jadinya jelek pintunya,” kataku tak setuju. Namun
bapakku menjawab dengan enteng, “Biar orang lain tahu. Gus Dur akan
jadi Presiden.” Saya hanya diam melihat bapak menempelkan kertas satu
per satu di pintu garasi mobilnya.
Namun, hari berikutnya.
Pagi-pagi ketika hendak berangkat kerja bapak saya dikagetkan dengan
keadaan pintu garasi mobilnya. Garasi mobilnya penuh dengan kotoran
munding (kerbau dalam Sunda). Saya tahu ketika bapak mengambil ember dan
mengajak saya untuk membersihkan garasinya, kebetulan saya sekolah
masuk jam 10.00 pagi karena madrasah waktu itu kekurangan kelas sehingga
satu kelas angkatan saya masuk agak lebih siang.
“Tuh kan, Pak,
gara-gara kertas yang ditempel jadi banyak tai munding-nya,” kataku.
Bapakku hanya jawab, “Hush, yang ngelemparin kotoran ini, mundingnya Gus
Dur,” katanya sambil senyum.
Saya belum puas dengan jawabannya, “Emangnya siapa sih Gus Dur itu Pak?”
“Gus
Dur itu yang akan jadi Presiden Indonesia. Beliau itu seorang ulama
panutan dan disegani di Indonesia. Munding aja gak berani nyeruduk
garasi mobil,” jawab Bapakku seadanya.
Mungkin bagi saya saat ini
jawaban itu tidak begitu memuaskan, namun dulu jawaban tersebut cukup
memuaskan. “Jadi, yang ngelempar kotoran di garasi ini mundingnya Gus
Dur,” tambahnya lagi.
Belakangan, menginjak remaja, saya baru tahu
yang bapak maksud dengan “munding” dan kenapa kotoran kerbau itu
memenuhi pintu garasi mobilnya.
Tidak lama dari kejadian itu, saya
diajak nonton pemilihan Presiden oleh bapak saya di salah satu stasiun
televisi. Saya lihat di TV suasana di dalam sebuah gedung yang luas
sangat ramai. Dan sorotan kamera mangarah pada satu sosok yang saya
ketahui melalui kertas yang Bapak dulu bawa.
“Itu kan orang yang ada di foto kertas yang bapak waktu itu bawa?” tanyaku.
“Iya. Beliau akan jadi Presiden,” jawab Bapakku.
Saat
itu saya serius menonton karena yang namanya Gus Dur, yang sering
disebut-sebut bapak saya, saat itu benar-benar ada di televisi.
“Yang Mulia Gus Dur,” saya dengar seorang pemandu suara mengatakannya.
“Alhamdulillah. Tuh kan Gus Dur jadi Presiden. Mundingnya malah kalah kan,” sorak Bapak saya pada waktu itu.
Saat
itu saya sangat mengagumi sosok Gus Dur. Seorang tokoh besar yang Bapak
kenalkan pada saya sejak kecil. Belakangan ketika nyantri di Pondok
Kebon Jambu Al Islamy Babakan Ciwaringin Kabupaten Cirebon, saya tahu
nama beliau adalah Abdurrahman Wahid Ad-Dakhil, Presiden ke-4 Republik
Indonesia, Ketua Umum PBNU, tokoh kebhinekaan, tokoh anti-kekerasan,
tokoh humanisme, dan seabrek julukan lainnya.
*) Pernah dimuat di situs NU Online (http://www.nu.or.id) Edisi Ahad, 22 Desember 2013 dalam rangka Haul Gus Dur
Dapat dilihat di: http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,48868-lang,id-c,nasional-t,Munding+Gus+Dur-.phpx
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar