Oleh:
Ayub Al Ansori *)
Judul
Buku : Membaca Sejarah Nusantara (25
kolom Sejarah Gus Dur)
Penulis : Abdurrohman Wahid
Penerbit : LKiS Yogyakarta
Tebal : xx + 134 halaman; 12 x 18 cm
Cetakan : I / Januari 2010
Humanis sekaligus pluralis. Ketika mendengar kata ini kita
seakan dekat dengan sosok yang selalu memperjuangkan hak-hak kaum minoritas. Sehingga
pantas ketika Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono, dalam pidato
kenegaraanya, menjulukinya sebagai “Bapak
Pluralisme”. Sosok yang selalu tampil percaya diri dan tidak terlalu cinta akan
kedudukan. Seperti ditulis K.H. Mustofa Bisri, “Dia bisa dengan mudah mendapat
kedudukan tanpa harus “menyayangi’ (merasa eman terhadap) kedudukan itu”. Tak seperti pejabat yang mengandalkan
kedudukannya sebagai “Tuhan” (sebagai ladang pendapatan). Pantas, jika banyak
pejabat frustasi dan bahkan bunuh diri dengan membawa frustasinya hanya karena
tidak mendapatkan kedudukan yang diharapkannya.
Gus Dur, K.H. Abdurrahman Wahid Almaghfurlah,
tidak tampak tergoncang sedikit pun ketika dipaksa lengser tak seperti
diperkirakan orang sebelumnya. Selepas lengser itulah, dengan kemampuan,
kelebihan dan kepercayaan dirinya, tokoh paling kontroversial ini, meneruskan perjalanan
hidupnya seperti biasa. Begitu lengser Gus Dur langsung kembali muter-muter,
bershilaturahmi ke sana
ke mari dan menerima tamu siapa saja yang memerlukannya. Dalam jangka waktu
yang cepat -terhitung sejak lengsernya
dari kursi kepresidenan- banyak artikel-artikel dalam berbagai tema, telah
ditulisnya. “Tidak kurang
dari 54 artikel, dalam berbagai tema, telah ditulisnya” Gus Mus menulis.
Buku yang
diberi judul “Membaca Sejarah Nusantara” ini merupakan kumpulan kolom-kolom Gus
Dur, yang beliau tulis setelah kejatuhannya dari panggung kekuasaan. Buku ini
menyajikan beberapa kolom Gus Dur sebanyak 25 kolom dari ratusan kolom-kolom
beliau. Dalam kumpulan kolom ini Gus Dur melihat sejarah masa lalu, melalui
kaca matanya sendiri yang kritis, analitis dan berani hingga membuat orang
tergelitik atas spekulasinya terhadap suatu peristiwa sejarah. Sebuah gebrakan
baru dan tentunya nekat yang kemungkinan besar membuat orang
terkaget-kaget atas tafsir spekulasinya itu. Sehingga sesuatu yang sudah lama dipercaya sebagai
“kebenaran sejarah”, tiba-tiba digoyangkan dengan kehadiran buku ini dan
tentunya tidak menutup kemungkinan banyak orang tergelitik untuk kembali
melakukan peninjauan ulang sejarah kita.
Sejarah
memang tidak akan pernah lepas dari kontroversi. Apalagi sejarah yang sudah
lama berlalu begitu terbuka terhadap berbagai versi tafsiran yang memang tidak
bisa dihindari. Seperti dalam buku Gus Dur ini dibicarakan adalah tentang Raden
Wijaya yang menurut Ensiklopedi Indonesia hidup di abad ke-13 (1294-1309),
sementara sumber lain menyebutkan tahun 1441-1451. Raja yang disebut sebagai
Brawijaya 1, pendiri Majapahit ini, umum disebut sebagai raja Hindu-Budha (bhairawa)
yang hidup Pra Walisanga. Namun ada cerita tutur –meminjam istilah Gus Dur-
yang menyebutkan bahwa raja ini pernah didakwahi oleh Sunan Ampel yang menurut
Ensiklopedi Indonesia wafat 1481, dan sebagai putra Malik Ibrahim al-Maghrib
yang sama-sama dengan raja Brawijaya 1 sebagai menantu Prabu Kiyan, Raja Campa, yang berarti Sunan Ampel
keponakan pendiri Majapahit itu sendiri. Jadi, tidak terlalu memaksa, meski
terkesan aneh, bila Gus Dur dalam tulisannya ini membuat spekulasi, ada
kemungkinan Raden Wijaya itu muslim dan keturunan China bermarga Oei
atau Wie. Jadi satu marga dengan Oei Tjen Hien alias Haji Abdul Karim, tokoh
Pahlawan Indonesia.
Kemudian bagaimana ia (Gus Dur)
berspekulasi mengenai cerita pasukan Cina yang bersama-sama Raden Wijaya
mengalahkan pamannya Jayakatwang, yang membunuh mertuanya Kertanegara, belaiu
berpendapat bahwa bukan Khubilai Khan dan pasukannya yang menyerang Jayakatwang
dibantu Raden Wijaya, mealinkan Raden Wijaya-lah yang di bantu pasukan China
dibawah pimpinan Laksamana Ma Chengho yang notabene beragama Islam. Kemudian
tentang latar belakang penyerangan tersebut beliau menyatakan bahwa motivasi
penyerangan tersebut bisa jadi oleh sebab beberapa faktor: balas dendam,
perluasan kekuasaan, soal agama dan lain sebagainya.
Dalam buku
ini, kemudian beliau menyatakan bahwa Sejarah bisa saja terjadi berulang-ulang
(dalam arti konteks sejarah), seperti belau mengaitkan kisah Perang Bubat
di zaman Hayam Wuruk dengan perkembangan PKB (Partai yang dipimpinnya),
mengaitkan kisah Joko Tingkir dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM); dsb.
Dalam buku
ini kita berpeluang untuk lebih mengenal pandangan-pandangan dan sikap Gus Dur
mengenai banyak hal, termasuk harapan-harapannya, baik bagi kehidupan dunia
terutama bagi bangsa dan negaranya sendiri dan
kehidupan akhirat. Seperti yang sudah kita ketahui bersama Gus Dur
begitu konsisten terhadap prinsi[-prinsip yang beliau pegang dan yakini,
seperti demokrasi, penegakan hukum, keberpihakan kepada kaum minoritas dan
rakyat, kejujuran dan keterbukaan, menjaga solidaritas dan menghargai multikultur
bangsa ini. Dalam buku ini pula kita dapat mengetahui atau membaca penegasannya
atas itu semua.
Orang
bilang, verbal dan scripta (ucapan dan tulisan) Gus Dur kadang
sulit dimengerti, namun pada buku ini tidak terlalu sulit untuk memahami isi
yang disampaikan oleh si pengarang. Justru beliau tidak memperlebar permasalahan
dalam setiap kolomnya, sehinnga masalah yang diangkat tertuju pada apa yang dimaksud
penulis sekaligus hikmah dari apa yang disampaikannya itu.
Ketika
kita berbicara mengenai ke-shohihan – istilah Pesantren untuk ke-validan
suatu kisah atau cerita- mungkin kita akan bertanya –tanya metode atau
pendekatan apa yang digunakakn Gus Dur hingga beliau bisa berspekulasi yang
berani itu?. Melihat analisis beliau
dalam tulisannya ini beliau lebih condong merekonstruksi Sejarah hingga sedemikian
rupa dengan Pendekatan Konflik. Pendekatan konflik berangkat dari Teori
Maxis yang diperkenalkan oleh Karl Marx yang melihat bahwa mesyarakat telah
terstruktur dan terbagi atas kelas-kelas yang berada dalam posisi konflik.
Keberlangsungan dan perubahan dilihat oleh pendekatan ini sebagai sebuah proses
perjuangan berbagai kelompok untuk menggulingkan kelompok lawannya dalam
memperoleh kedudukan politik dan keuntungan materi. Meski dalam tulisan ini
beliau –Gus Dur- tidak begitu memerhatikan motivasi dari gejolak sejarah itu.
Dilihat dari cakupan subyek kajiannya, pendekatan ini bersifat inklusif karena
memasukkan semua kelompok, terutama kelompok masyarakat bawah yang tidak
memiliki peran dalam sejarah yang konvensional. Sehingga cerita-cerita tutur
rakyat pun beliau pakai sebagai referensinya. Seperti beliau menulis dalam
salah satu kolom dalam buku ini.
“Sebaliknya, pengetahuan kita dari
sumber-sumber tertulis tentang kerajaan Kutai, Kerajaan Bacan, Kerajaan
Ternate, Kerajaan Tidore serta Kerajaan Keilolo hampir tidak ada yang tertulis,
tetapi dari cerita-cerita lisan. Meski demikian, dari cerita-cerita lisan itu,
yang bercampur antara cerita fiktif dan informasi aktual, harus dapat dibuat
rekonstruksi kesejarahan yang konkret.”
Berbicara Sejarah, ada sejarah yang
dipandang sebagai ilmu. Sejarawan Kuntowijoyo memberi ciri-ciri sejarah sebagai
ilmu adalah sebagai berikut: 1. Sejarah itu empiris artinya diperoleh
berdasarkan penemuan,percobaan dan pengamatan yang telah dilakukan, 2. Sejarah
itu memilioki obyek, yaituwaktu dan manusia, 3.
Sejarah itu memiliki teori, 4. sejarah itu memiliki generalisasi,
terakhir Sejarah itu memiliki metode.
Jadi dilihat dari sisi sejarah sebagai ilmu apa yang beliau kemukakan
dalam buku ini agak kurang ilmiah. Meski begitu, agaknya beliau berusaha
meluruskan dengan menawarkan kaca mata baru untuk melihat sejarah atau sekedar
menyarankan agar, dalam melihat sejarah, kita tidak a priori terhadap
salah satu tafsiran tanpa melakukan perbandingan dengan alternatif-alternatif
tafsiran atas beberapa kejadian sejarah. Dalam adagium Pesantren, mempelajari
sejarah antara lain agar orang dapat I’tha-u kulli dzi haqqin haqqahu,
memberikan hak kepada pemiliknya dengan kata lain membenarkan yang benar,
memuji yang patut dipuji dan menyalahkan yang salah, mengecam apa yang patut
dikecam untuk kemudian dijadikan pelajaran untuk memperbaiki sikap dan
perbuatan.
Kemudian Gus Dur berusaha berpesan
lewat buku ini seperti bersikap
objektif: bersikap, tawazun, seimbang, menjunjung tinggi kejujuran, tidak
memandang sesuatu hanya dari satu sisi, tidak menggeneralisir, menghormati
perbedaan dan seterusnya. Pendek kata, pelajaran-pelajaran yang penting bagi
mewujudkan kehidupan berdemokrasi khususnya kepada para penulis sejarah, beliau
menekankan perlunya melengkapi sumber-sumber mereka dengan cerita-cerita lisan,
disamping sumber tertulis, untuk merekonstruksi
kebenaran sejarah dan melakukan penafsiran tunggal, serta mampu
memisahkan fakta sejarah dari mis-tafsir dalam sejarah panjang
bangsa kita ini. Dan memberikan pelajaran untuk tidak loyo, dalam
membentuk budaya kritis, yang akhir-akhir ini sempat hilang khususnya
dikalangan mahasiswa. Mahasiswa agaknya sudah kurang kritis dalam menyikapi
persoalan baik internal maupun eksternal kampus. Dari sinilah kita harus meneladani
beliau yang tidak pernah kehilangan optimismenya. Sehinggga beliau –semasa
hidupnya- tetap konsisten dalam memberikan kritikan-kritikannya terhadap
pemerintah, bukan berarti beliau putus
harapan tapi teguh memegang adagium kaidan fiqh yang berbunyi: maa la yudraku
kulluh la yutraku julluh (apa yang tak dapat dicapai seluruhnya, jangan
ditinggal yang terpentingnya).
Mungkin saat ini kita hanya dapat
melihat sosok Gus Dur lewat buah karyanya, tapi semangat kebangsaan dan
pluralis beliau akan terus menggema di Indonesia Raya ini. Baiklah anda baca
sendiri saja bukunya. Mungkin anda akan menemukan dan mendapatkan yang lain dan
berpendapat lain pula. Selamat jalan Gus !. Semoga tenang dalam keharibaan
Tuhan.
*) Adalah Mahasiswa
IAIN Syekh Nurjati sekaligus pengagum dan pecinta pemikiran Gus Dur
**) Rabu, 30 Desember 2009 Gus Dur mangkat keharibaan Allah SWT. Sekarang Bulan Desember beberapa Minggu lagi Haul beliau yang ke-2.