“Kemarau
di Negeriku, kau
selalu dicaci: panasmu membakar dan mengeringkan segalanya.
Hujan
di Negeriku, kau
pun selalu dimaki: banjirmu meluluhlantakkan segalanya.”
Jam sudah menunjukkan
pukul empat
sore, baru saja menjejakkan kaki keluar dari ruang kuliah, entah pulang entah
ada hal lain yang harus ku kerjakan. Hari ini memang melelahkan. Cukup
melelahkan.
Berkutat
dengan diktat kuliah, berbagai tugas dan makalah juga laporan. Rasanya
ingin menyudahi rutinitas yang membosankan di kampus. Biasanya, selepas bubar kuliah
atau di sela-sela rutinitas kuliah, aku berkumpul dengan sahabat-sahabat untuk
rapat atau berdiskusi tentang hal-hal yang up to date untuk di kritisi.
Apalagi akhir-akhir ini kampus sedang diramaikan dengan kasus dijebloskannya
terdakwa korupsi penyalahgunaan pengadaan alat-alat komunikasi oleh oknum
pejabat kampus. Hafiuuuh. Menambah penat saja.
Barangkali karena suhu
panas yang tidak ingin menguap dari ruang kelas karena kurangnya ventilasi
udara. Atau karena
berjubelnya ruang kelas
karena dimuati
kurang lebih 35 Mahasiswa
sehingga ruangan terasa sumpek dan pengap. Atau memang lantaran dosen yang
tidak maksimal dalam memberikan
kuliah karena dirinya juga
merasa
gerah.
Barangkali karena musim kemarau terlanjur berkepanjangan, kampus dimana aku
kuliah menjadi sangat tidak enak dipandang. Suhu
udara
yang panas membuat
ubun-ubun terasa disengat Matahari. Padahal harusnya September ini jatuh tempo
musim hujan.
Aku pun menyisir lantai dua gedung kuliah, sempat aku melihat tanaman dalam pot
tak terawat. Aku pikir kemarau bukan saja menggangguku tetapi juga menggagnggu
tanaman, lebih-lebih mengganggu dan mengacau akalku.
“Mana bisa aku biarkan
tanaman ini mati, padahal nanti gedung yang aku pijak ini juga tanaman dalam
pot itu akan menjadi saksi bahwa aku pernah membiarkan tanaman mati”, pikirku
dalam hati.
“Langsung pulang?”
tanya seorang temanku.
“Entah. Duluan saja.”
Jawabku mensilakan.
Sementara yang lain
pulang bergerombol hingga hilang di belokan tangga gedung ini. Aku sempat
memandang ke arah gedung di depannku. Gedung Rektorat. Gedung dimana tinggal seorang pejabat yang terlibat
kasus korupsi di kampusku. Ahhh. Kadang aku merasa geli dengan tingkah oknum
pejabat kampusku ini. Kembali aku pandangi tumbuhan dalam pot itu.
Entah apa yang menggerakkanku, aku beranjak dan menyisiri ruang kuliah di
lantai 2 ini. Kudapati sebotol bekas air mineral tergeletak di lantai ruang kuliah. Aku
bahagia mendapatkannya.
Tetapi
ada rasa heran yang
menggelayut dalam hatiku.
“Ahh Gusti. Betapa
kami belajar tentang kelestarian lingkungan dengan sungguh-sungguh tetapi
kenapa musti masih ada yang membuang botol ini sembarang. Padahal aku tahu di ruangan ini, barusan telah disampaikkan Mata
Kuliah Ilmu Lingkungan”,
gumamku dalam hati.
Segera aku raih botol itu dan bergegas
menuruni tangga yang berbelok di gedung. Gedung Jurusan Biologi. Sebelah kanan
tangga di ujung barat terdapat
kamar kecil. Aku masuk.
Aku tuangkan air
ke dalam botol itu. Penuh. Sebelum pergi aku sempat membau tidak sedap dalam kamar kecil itu. Gila.
Aku yakin kamar kecil lainnya di kampus ini nasibnya persis sama bahkan lebih
parah. Apa gunanya Aksi Bersih Campus (ABC) tempo hari yang aku dan
teman-teman selenggarakan. Harus ada kesadaran memang.
Tak ingin direpotkan dengan pikiran-pikiran
kotor tentang orang lain, aku kembali ke lantai 2 dan kutemui tumbuhan dalam
pot itu lagi. Ada 10 pot dengan
macam-macam tetumbuhan dan tanaman di lantai atas ini, tetapi memang tidak
terawat dengan baik sehingga kulihat ada tumbuhan yang mati dalam salah satu
pot. Ah, aku merasa bersalah. Menyadari bahwa ini adalah kekurang perhatiannku
selama ini. Dalam hati aku bergumam.
“Kenapa aku baru sadar. Duh Gusti,”
Secepatnya aku menyirami tanaman-tanaman itu.
Ada rasa bahagia dalam hati. Tiga kali aku naik turun tangga mengambil air
untuk menyirami tanaman itu meski air di kamar kecil sudah mulai habis. Kosong.
Bergegas kutinggalkan tumbuhan itu dan segera aku simpan botol yang tadi kupakai menyiram tanaman.
Aku pikir botol ini akan berguna untuk menyiram tanaman itu lagi.
Melangkah pelan di
koridor gedung kampus. Meski sudah sore, panasnya jagat ini masih terasa. Tetumbuhan
dan pepohonan rindang di pinggir gedung di sekitar halaman kampus membisu bak
tak bernyawa. Anginpun tak bergeming. Hujan pun tak kunjung datang.
“Apa kabarmu hujan?”.
Ada rasa sejumput rindu
menanti sang hujan. Biarlah sepanjang
jalan pulang,
aku
rapal kata-kata: Apa
kabarmu hujan?.
____####____
Hari ini tidak ada agenda pertemuan baik itu rapat atau diskusi. Aku
bergegas pulang. Kembali kurasakan penat, panas dan peluh mulai bercucuran di
wajah dan tubuhku. Angkutan
umum, biasanya kusebut ELP, yang kutumpangi ngetem
begitu lama di sebuah pertigaan di kotaku. Sudah 20 menit berlalu, ELP ini tak kunjung jalan. Panas.
Berjejal pula. Seorang penumpang, kulihat Ibu-ibu sekitar umur 45 –an tahun menggerutu.
“Pir, gage gah
mangkat!.
Panas
kih”
gerutunya dalam
bahasa jawa Cirebon.
Tidak hanya itu,
kulihat dua Mahasiswi di jok depan belakang supir terus mengibaskan kipas angin dari plastik dengan tangannya. Ah, memang jagat ini sedang panas.
Sepanjang jalan pulang terus
ku rapal Apa kabarmu Hujan?.
____###____
Aku urung beranjak dari teras warung. Tempat aku baru
saja menghabiskan semangkok Mie Ayam sambil
ber-SMS. Aku usap wajah bepeluh dengan sapu
tangan. Keringat bercucuran bukan hanya karena proses metabolisme yang banyak
memakan energi sehingga mengeluarkan keringat, tetapi karena memang lagi-lagi
udara sedang panas meski hari beranjak sore. Kudapati SMS dari seorang teman
masuk ke inbox HP ku:
“Lhat Brita
di TV. Indonesia merana. Indonesia menangis. Bnyk kbakaran hutan, swah kkeringan,
tnah retak2 tak ada air, bnyak desa-desa kekeringan. Ini akbat
ulah mnusia yg tak mau mrawat bumi. Saatnya Go Green
dg mnanam pohon dan minimalisasi emisi gas efek rumah kaca,”
Sekilas kubaca. Namun lagi-lagi ini
hanya sebatas ajakan yang
disampaikan lewat SMS belaka. Tidak ada
yang sungguh-sungguh menjalaninya. Perlu bukti?. Ah, akupun kadang masih sulit
melakukan itu.
Memang kulihat berita di TV, kebetulan warung Mie Ayam yang
aku jajaki menyediakan TV. Betul. Banyak
desa-desa di Negeri ini kekeringan tidak ada air, sawah sudah kekeringan hingga petani gagal panen, tanahnya
retak-retak besar. Tidak ada lagi petani yang datang
mengurus sawahnya. Sekali lagi
karena tidak ada air. Jangankan petani, burung-burung yang biasanya
bermain di dahan-dahan padi pun sudah lama tak terlihat. Padi mulai mati
kekurangan air. Kebun-kebun pun sama saja. Satu-dua tanaman terlihat tegak dengan
batang dan daun kering. Tak ada yang ingin berkebun. Ke mana harus mencari air
untuk menyiramnya? Untuk minum saja, sudah sulit didapat. Pagi atau sore akan
terlihat barisan panjang warga yang mengantri di sebuah mata air, yang kian ke
dalam saja air yang bisa diambil dari sana. Begitulah gambaran berita di TV di
salah satu tempat di Negeri ini. Miris.
Aku sejenak berpikir akan pola pikir masyarakat di negeri
ini. Jika kemarau panjang, inginnya minta hujan. Sampai-sampai musti Sholat Istisqo. Setelah diberi hujan.
Banjir pun datang. Mencak-mencak mencaci hujan, menyalahkan hujan. Mengkambing hitamkan hujan. Padahal
pola hidup yang tidak ramah lingkungan penyebab banjir. Begitupun bila kemarau
panjang, seperti saat ini. Orang-orang mencaci kemarau gara-gara tak ada air,
sawah kekeringan, padi pun mati. Kebun-kebun tandus, tanamannya mengering.
Mati. Ah, aku pun tidak
menampik bahwa kadang aku pun demikian. Tapi setidaknya mesti ada kesadaran dalam melakukan pola
hidup ramah lingkungan. Sampai saat ini pun aku masih merapalmu Hujan: Apa kabarmu hujan?.
____###____
Apa
kabarmu Hujan?. Aku masih merapalmu hingga
malam ini tiba. Jujur. Larut menjelang dini, aku benar-benar ingin hujan turun.
Setidaknya besok pagi ketika aku bangun, aku rasakan sejuknya udara dan
harumnya bau tanah terkena hujan. Kalau saja kamu tahu Hujan, betapa bahagianya
aku bila kau menyapa pagiku, menyapa para petani, menyapa negeri ini. Kadang
aku berharap hujan akan melupakan musimnya dan turun sepanjang waktu seperti
rinduku pada kekasih. Ya.
Apakah musim hujan akan segera datang dan kemarau pergi membawa pesan-pesanku
untukmu. Membawa
pergi debar dada yang begitu cemas setiap kali ponsel berdering nyaring oleh
SMS masuk memberitakan keadaan Negeriku ini. Membawa pergi rasa duka setiap kali aku lihat tayangan –tayangan
berita di TV memberitakan keadaan Negeri ini. Sehingga barangkali aku akan lupa pernah merapalmu
sepanjang hari: Apa kabarmu Hujan?.