Minggu, 21 April 2013

Refleksi Hari Kartini: Dari Marjinalisasi ke Kesadaran Oleh: Ayub Al Ansori


Terlepas dari kontroversi atau pandangan sinis yang beredar di permukaan tentang sejarah ditetapkannya tanggal 21 April sebagai Hari Kartini yang menjadi ikon kebangkitan nasional khususnya kebangkitan perempuan, saya hendak mencoba sedikitnya menorehkan beberapa catatan tentang peran perempuan yang kadang bahkan masih termarjinalkan dan di sepelekan. Padahal hak bagi seorang perempuan untuk memainkan peran apapun selagi itu baik untuk dirinya. Salah satunya adalah hak mendapatkan pendidikan dan perlindungan terhadap kekerasan.
Saat ini di sadari atau tidak perempuan masih jadi kelompok yang termarjinalkan. Mereka masih rentan terhadap aksi kekerasan dan prilaku diskriminatif. Sebagai bukti, jumlah kekerasan terhadap perempuan setiap tahunnya terus meningkat. Berdasarkan catatan Komnas Perempuan, angka kekerasan pada 2010 sebanyak 105.103 kasus, lalu 2011 sebanyak 119.107 kasus, dan 2012 sebanyak 216.156 kasus.
Di sektor pendidikan, kaum perempuan juga cenderung tidak bisa melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi. Berdasarkan data BPD (2011), angka partisipasi murni (APM) perempuan jenjang SD 90,37;jenjang SMP 69,19;SMA 48,19. Bahkan, perempuan diatas usia 15 tahun yang melek huruf hanya 90,07% atau lebih rendah dibandingkan angka melek huruf laki-laki 95,59%.
Padahal jelas sekali bahwa mendapatkan pendidikan setinggi-tingginya dan perlindungan terhadap kekerasan mutlak hak perempuan. Namun kedua hal tersebut nyatanya masih jauh dari harapan. Ini terjadi dan penulis yakini akibat masih kukuhnya budaya patriarkhi di Indonesia. KH. MA Sahal Mahfudh –seperti yang dikutip Mamang Haerudin- menjelaskan bahwa kehidupan dalam masyarakat kita terdapat akar sejarah yang panjang mengenai dominasi laki-laki atas perempuan dalam sebagian besar sektor yang dibangun di atas dasar tatanan yang timpang (tidak seimbang). Yaitu tatanan nilai di mana laki-laki ditempatkan sebagai pihak superior (kuat, kuasa) di hadapan perempuan yang inferior (lemah). Hingga saat ini pun budaya patriarkhi yang notabene memarjinalkan perempuan kerap kali tidak disadari oleh perempuan itu sendiri. Kaum perempuan tidak sadar bahwa dirinya sedang disudutkan dan dimarjinalkan. Sebut saja ada beberapa tayangan televisi dan iklan yang jelas-jelas menyudutkan perempuan. Masih mengakarnya kepercayaan bahwa perempuan tidak boleh lebih tinggi dari laki-laki dari segi pendidikan. Bahwa perempuan hanya memiliki peran domestik yang cukup hanya di sumur, kasur dan dapur. Padahal peran perempuan harus jauh lebih bermartabat ketimbang hanya di tiga aspek tadi. Sebut saja perempuan-perempuan yang menurut penulis bisa di jadikan contoh atau teladan, salah satunya Ny. Hj. Sinta Nuriyah Wahid (istri almarhum Gus Dur), meski dengan keterbatasannya yang hanya bisa berjalan dengan kursi roda sejak tahun 1991, namun beliau tidak putus asa untuk menyelesaikan studi S2 nya di UI. Kemudian Prof. Dr. Hj. Musdah Muliah, perempuan yang produktif menulis buku dan juga dosen. Tak kalah menjadi teladan, ada Dian Sastrowardoyo, aktris yang meski memilih karirnya menjadi ibu rumah tangga, tapi apa yang ia katakan, “Entah akan berkarir atau menjadi ibu rumah tangga, seorang wanita wajib berpendidikan tinggi karena ia akan menjadi Ibu. Ibu-ibu cerdas akan menghasilkan anak-anak yang cerdas”. Luar biasa bukan?.
Ny. Hj. Sinta Nuriyah pernah mengatakan, “Saya pikir setiap saat kita (perempuan) harus belajar. Kalau tak mau belajar kita akan tertinggal”. Bahkan Dr. Daisaku Ikeda, Presiden Soka Gakkai International ditengah-tengah diaolog dengan Gus Dur mengatakan, “Perkataan Ibu Sinta ini juga perkataan yang ingin saya sampaikan kepada seluruh wanita dan generasi muda”. Betul. Kita (laki-laki dan perempuan) memang perlu belajar. Belajar dari keadaan-keadaan di sekitar kita. Belajar dari ketidakpercayaan bahwa perempuan masih belum sadar –entah itu akibat tuntutan budaya atau keadaan-  bahwa sebetulnya peran perempuan jauh begitu penting untuk kemajuan bangsa dan negara.
Berkenaan dengan kekerasan terhadap perempuan, sebagai laki-laki, harus sadar bahwa perempuan buka alat eksploitasi. Tetapi perempuan adalah tulang rusuk laki-laki, laki-laki yang menyakiti perempuan sama saja mematahkan rusuknya sendiri dan tak tegap berdiri. Laki-laki yang menyakiti perempuan bukanlah seorang laki-laki yang tanggung bahkan justru pincang.
Sudah saatnya kita meski merubah cara pandang dan prilaku bahwa laki-laki maupun perempuan sama-sama makhluk ciptaan Allah. Dan dianugerahi potensi yang sama, sama-sama meraih predikat taqwa (QS. an-Nisa’ [4]: 32). Taqwa itu butuh pengetahuan, bukan hanya sekedar ibadah seremonial. Pengetahuan hanya bisa di dapat dengan pendidikan yang tinggi. Karena itu kualitas ibadah dan usaha laki-laki maupun perempuan tak akan pernah di sia-siakan Allah.
Pada akhirnya dengan momen Hari Kartini ini kita perlu menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama untuk mengenyam pendidikan. Serta saling menghormati, memahami dan berbangga bahwa laki-laki di ciptakan bukan untuk meng-eksploitasi dan menyakiti perempuan justru untuk melengkapi dan menjamin rasa aman. Menjamin rasa aman bukan berarti perempuan harus berselimut di ketiak laki-laki. Tetapi dimanapun posisi perempuan, laki-laki tidak lantas menjadi ancaman begitupun sebalinya. Ketika perempuan diberi kelebihan kualitas –baik pendidikan dan kedudukan- daripada laki-laki maka hal tersebut bukan pula menjadi ancaman bagi laki-laki. Inilah yang musti kita sadari. Selamat Hari Kartini. Berbahagialah anda yang menjadi perempuan dan berbanggalah anda yang menjadi laki-laki. Wallahua’lam Bisshowab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Do'a

Adalah Engkau

Yang beri kekuatan

Sekaligus menghujamku

Dengan Qodo dan Qodar-Mu

Tuhan..............

Engkau ku percaya

Menjawab setiap do’a yang ku panjatkan

Ku menyanjung-Mu dengan butiran-butiran dzikirku

Kau tak goyah dengan Qodo-Mu

Ku merengek dengan untaian Wiridku

Kau terlampau tentukan Qadar-Mu

Ku serapi setiap lantunan ayat-ayat-Mu

Kau hanya beri aku harapan

Ku berontak dalam puji-puji doa’ku

Kau hanya menatapku dingin dengan ke-Maha Besaran-Mu

Ku menangis dan memaksamu dalam sujudku

Kau tertawa dengan segala ke-Maha Agungan-Mu

Apa mau-Mu Tuhan?

Aku yakin

Kau jawab “YA”, Kau beri yang aku minta

Kau jawab “TIDAK”, Kau akan berikan yang lebih baik

Kau jawab “TUNGGU” Kau akan beri yang terbaik

Untukku..........

Dengan keterbatasanku

Hanya satu, berikan padaku

“Ridhoilah aku sebagai Hamba-Mu yang terbatas

Wahai ALLAH, Tuhan yang Maha Tak Terbatas”