Oleh: Uub Ayub Al Ansori
Siapa yang tidak kenal Jack Sparrow? Sang
pemimpin bajak laut yang diperankan oleh Johnny Depp dalam sequel Pirates of
the Caribbean: The Curse of the Black Pearl (2003), Dead Man’s Chest (2006), At
World’s End (2007), On Stranger Tides (2011), dan yang terbaru (rilis tahun
ini) Pirates of the Caribbean: Dead Man Tell No Tales.
Bercerita tentang kehidupan bajak laut, melalui
Jack Sparrow, Pirates of the Caribbean memiliki banyak pesan moral. Karakter
Jack Sparrow memiliki keunikan tersendiri. Ia yang terlihat bodoh dan konyol
namun pintar dan cerdik. Pandai berkomunikasi dan berdiplomasi.
Lewat Jack Sparrow kita akan memasuki dunia
dimana kepemimpinan organisasi ditunjukkan oleh karakternya. Sifatnya yang
nyeleneh dan apa adanya menjadi ciri dari kepemimpinan yang harusnya
teraktualisasi dalam prilaku berorganisasi. Nyeleneh berarti kreatif dan
inovatif. Apa adanya berarti sederhana.
Ia -Jack Sparrow- tidak pernah meletakkan dirinya
sebagai sosok yang harus dihormati dan selalu benar. Kadang ia pun melakukan
kesalahan. Karena kesalahannya dengan memberi tahu letak peti cortez yang penuh
dengan emas pada krunya, ia harus dikhianati oleh salah seorang krunya sendiri
yaitu Hector Barbossa.
Di sini kita perlu belajar bahwa seorang pemimpin
terkadang harus merahasiakan atau setidaknya menunda memberi tahu sesuatu yang
dianggap akan memecah belah kebersamaan.
Meskipun begitu, Jack Sparrow adalah sosok yang
kuat dengan prinsip, siap berkorban untuk teman, walaupun harus mengorbankan
jiwa dan raganya. Ia selalu mentaati kode etik bajak laut dan selalu membantu.
Sebut saja ketika ia membantu Will dalam misi membebaskan Elizabeth yang
diculik Barbossa. Ia juga kadang membantu Elizabeth dari cengkraman komodor
Norrington.
Ia juga sosok yang cerdik. Betapa ketika ia harus
berebut peti yg berisi jantung Davy Jones, ia lebih memilih menggunakan otaknya
daripada harus bertempur saling membunuh. Dengan kecerdikan dan kepandaiannya
menggunakan senjata ia mendapatkan peti tersebut tanpa perlu melukai lawannya.
Bahkan Jack Sparrow dapat dikatakan sebagai
antitesa dari kepemimpinan tradisional, di mana pemimpin selalu dihormati dan
pengikut harus tunduk serta patuh pada perintah pemimpin. Ia tidak melakukan
gaya kepemimpinan ini, ia memberlakukan kepemimpinan partisipatoris dan
menganggap krunya sebagai anggota-teman bukan sebagai pengikut atau bawahan.
Bagi Jack Sparrow partisipasi dari anggota bajak
laut yang dipimpinnya mutlak dilakukan. Percis apa yang dibilang Durkheim bahwa
kita hidup dalam sebuah solidaritas sosial. Dalam hal ini Durkheim menyebutnya
“solidaritas mekanik”. Partisipasi anggota dengan kemampuannya masing-masing
oleh Jack Sparrow dimanfaatkan betul. Saat bertarung melawan kraken ia percaya
akan kemampuan anggotanya. Kepercayaan dari pemimpin akan membentuk solidaritas
anggotanya. Kepada kita, Jack Sparrow seolah sedang mengajarkan The division of
labor-nya Durkheim.
Ia juga seolah mengajarkan -dalam berinteraksi-
harus adanya transformasi sosial. Transformasi sosial yang diwujudkan melalui
dialog-dialog emansipatoris sebagai bentuk “etika komunikasi” -meminjam istilah
Habermas-. Gaya diplomasi Jack Sparrow dengan lawan-lawannya selalu menggunakan
jalan komunikasi dua arah, selalu ada kesepakatan dikedua belah pihak yang
saling menguntungkan. Ia tidak menggunakan gaya dialog yang mendominasi yang
kadang harus mengancam dan menindas salah satu pihak. Dengan gaya diplomasi
semacam inilah Jack Sparrow selalu mendapatkan yang ia inginkan. Baginya adalah
kemenangan, meskipun menurut lawannya ia kalah.
Lihat saja ketika ia melakukan kesepakatan dengan
Davy Jones. Ia merelakkan dirinya mengabdi selama 100 tahun di kapal Flying
Dutchman asalkan ia mendapatkan kembali kapal Black Pearl beserta kru
kesayangannya. Di kemudian hari, ia tidak perlu mengabdi pada Davy Jones,
karena jauh hari ia sudah memikirkan dan mempersiapkan apa yang harus ia
lakukan kedepannya. Di sinilah Jack Sparrow menunjukkan kreativitasnya.
Kreativitas selalu melihat dan berangkat ke masa depan.
Dari sosok Jack Sparrow kita belajar menjadi
pemimpin ideal yang tidak harus dipaksakan dan dituntut menjadi pemimpin
sempurna tanpa kekurangan. Kekurangan seorang pemimpin selalu ditutupi oleh
kelebihan para anggotanya. Begitupun sebaliknya. Unsur kesalingan menjadi etika
yg tak terbantahkan.
Dan harus dipahami, pemimpin di sini tidak selalu
diasosiasikan pada ketua sebuah organisasi atau pemimpin negara. Tapi pemimpin
bisa dipahami juga sebagai ketua panitia, koordinator sebuah program, bahkan
pemimpin bagi dirinya sendiri. “Setiap kalian adalah pemimpin -bagi dirinya
sendiri-” begitu bunyi hadits nabi yang diriwayatkan Bukhori-Muslim. Wallahu
a’lam bisshowabi.
** Tulisan pernah dimuat dalam http://www.ipnu.or.id/belajar-kepada-jack-sparrow/
(15 Juni 2017)