Oleh: Uub Ayub Al Ansori
Meskipun setiap hari anak-anak dicekoki mars salah satu partai politik yang
menguasai separuh dunia pertelevisian kita, saya masih punya keyakinan
anak-anak tidak akan pernah melupakan lima sila daripada Pancasila. Meskipun
intensitas mendengarkannya hanya seminggu sekali, ketika pembina upacara
membacakannya, saat upacara bendera di Senin pagi.
Dengan keras pula anak-anak mengikuti apa yang diucapkan, sambil lamat-lamat
menghafalnya di luar kepala:
Satu, Ketuhanan yang Maha Esa,
Dua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab,
Tiga, Persatuan Indonesia,
Empat, Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan dan Perwakilan,
Lima, Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.
Satu, Ketuhanan yang Maha Esa,
Dua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab,
Tiga, Persatuan Indonesia,
Empat, Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan dan Perwakilan,
Lima, Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.
Suara lantang-keras tersebut menjadi sebuah harapan masa depan Indonesia.
Ya, masa depan Indonesia. Kita menaruh harapan itu pada mereka. Pancasila tidak
boleh digeser oleh apapun atas nama sebentuk ideologi. Apalagi ideologi yang
mengancam keharmonisan kita dalam berbangsa dan bernegara.
Jauh sebelum Indonesia merdeka, gagasan membentuk ideologi negara ini sudah
demikian santer didiskusikan bahkan diperdebatkan oleh para punggawa2 yang membawa
Indonesia pada rel kebebasannya dari kecurangan dan kebiadaban “tukang warung”
Belanda -meminjam istilah Tan Malaka- dan infeksi “Sheikerei- nya Jepang.
Bung Karno berangkat dengan ide nasionalisme yang dibalut sosialisme, M.
Yamin berangkat dengan gagasan kebangsaan yang dilandasi agama dan kemanusiaan,
Soepomo berangkat dengan ide hubungan internasionalnya, KH Wahid Hasyim dan
tokoh2 Islam lainnya mengajukan gagasan ketuhanan dan kebudayaan, sementara
Hatta mendorong musyawarah mufakat dan keadilan bagi seluruh elemen bangsa.
Hasil dari pergumulan ide dan gagasan para tokoh bangsa yang berbeda latar
belakang agama dan pemikiran itu adalah Pancasila. Pancasila menjadi semacam
rumah bersama bagi yang mengaku dirinya “Indonesia”. Pondasi dan pilar bagi beragamnya
agama, suku, ras, bahasa, dan budaya.
Oleh karena itu, Indonesia tidak akan hancur hanya karena segelintir orang
yang mengadu domba Pancasila dengan agama. Begitupun tidak akan tercerai berai
hanya karena isu komunisme dan kapitalisme.
Indonesia sudah banyak belajar kepada komunisme ala Uni Soviet dan China,
belajar kepada kekhalifahan Turki Utsmani, juga belajar kepada gaya
kapitalismenya Belanda dan Amerika.
Pancasila akan terus bertahan, ketika Uni Soviet dan China harus mengakui
kegagalan mempertahankan “sosialisme ilmiah” yg ditawarkan Karl Marx dan Mao
Zedong dengan gagasan surga di bumi yang bebas dari kapitalisme. Pada
kenyataanya Uni Soviet dan China harus merubah haluan dengan menerima jalan
“kapitalis” yang semula mereka kecam.
Pancasila juga akan bertahan, ketika kekhilafahan Turki Utsmani gagal
menunjukkan kemapanan “Hukum Tuhan harus ditegakkan” justru karena ulah para
khalifah dan pejabatnya yang haus kekuasaan dan gemar berfoya-foya. Dan
kebijakan2 pemimpinnya yang anti akal dan kemajuan teknologi. Jauh dari apa
yang diharapakan Rasulullah Muhammad.
Pancasila akan terus bertahan, ketika Belanda gagal mempertahankan seluruh
kekuasaannya di negeri2 bekas jajahannya. Pancasila tidak akan kompromi kepada
segala bentuk imperialisme di dunia. Pancasila akan terus bertahan dari
derasnya arus kapitalisme gaya baru ala Amerika. Pancasila menolak segala
bentuk campur-tangan asing atas-nama sebentuk demokrasi kepura-puraan. Menanam
modal boleh, tapi menguasai kekayaan milik negara, bagi Pancasila, menjadi
keharaman.
Betul apa yang diteriakkan Bung Karno, dalam pidato gagasannya 1 Juni 1945,
“Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk
satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara -semua
buat semua- satu buat semua, semua buat satu”.
Sejalan dengan cita-cita Pancasila, apa yang dipikirkan Gus Dur menjadi
semacam penyegaran, bahwa negara dengan Pancasilanya hendaknya bertugas sebagai
“polisi lalulintas- yang mengatur jalannya kehidupan antar ataupun inter umat
beragama. Karenanya negara harus bersikap adil dan tidak boleh berpihak pada
salah satu agama. Setiap agama boleh saja menafsirkan Pancasila sesuai dengan
pemahaman agamanya, karena Pancasila merupakan ideologi terbuka. Selama kita
berpedoman pada Pancasila, maka selama itu kita wajib berpartisipasi dalam
memaknai Pancasila dalam kehidupan kita.
Akhirnya, tadi pagi Pak Jokowi sudah dengan lantang mengatakan “Saya
Pancasila, Anda Pancasila”, maka saatnya kita berteriak “Kita Pancasila”. Wallahu
a’lam bisshowab.
Majalengka, 1 Juni 2017
** Tulisan pernah dimuat dalam http://www.ipnu.or.id/kita-kita-pancasila/
(4 Juni 2017)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar