Ledakan bom di Masjid Mapolresta Kota Cirebon dan Gereja di Solo menyisakan pertanyaan besar bagi masyarakat dunia, benarkah Islam “rahmatan lil-alamin”? masihkah Islam menjadi agama yang penuh berkah terhadap alam semesta? Bukankah kejadian itu menjadi tanda bahwa dalam ajaran Islam terdapat terorisme? atau memang ada yang salah dengan pemahaman Islam, sehingga mengharuskan jatuhnya korban dalam menegakkan agama?
Selaku manusia yang notabene beragama Islam kita patut prihatin atas stigmatisasi umat Islam akhir-akhir ini. Hanya karena perbuatan segelintir umat Islam yang sangat dangkal pemahamannya atas ajaran agama, umat Islam secara keseluruhan terkena dampaknya. Umat Islam tidaklah dalam posisi bertentangan dengan non-muslim. Umat Islam harus hidup di tengah-tengah masyarakat plural dengan damai. Seperti dicontohkan Rasulullah Saw. saat melihat seorang Yahudi yang dibunuh orang Islam secara zalim. Saat itu beliau bereaksi dengan keras: “Man-qatala dzimmiyan fa ana khasmuh” (Barangsiapa yang membunuh non-Muslim, maka ia akan berhadapan langsung dengan saya). Pola hidup berdampingan seperti inilah yang perlu ditiru umat Islam. Pelaksanaan amar ma’ruf (mendorong untuk berbuat baik) haruslah lebih diutamakan daripada nahy ‘anil munkar (melarang berbuat kemungkaran).
Tragedi bom bunuh diri ini -yang dilakukan segelintir orang yang mengaku dirinya Islam dan menyatakan bahwa Islam yang mereka fahami atau mereka yakini adalah Islam yang benar dan kaffah- merupakan sikap keras, eksklusif, berpikiran sempit, rigid, serta memonopoli kebenaran. Yang kemudian kita istilahkan dengan Radikal. Pemahaman akan ajaran seperti ini kemudian dinamakan Radikalisme. Jika kita sandingkan sikap mereka di atas dengan pemahaman islam yang mereka anggap benar maka muncullah term Islam Radikal. Muslim radikal adalah orang Islam yang berpikiran sempit, kaku dalam memahami Islam serta bersifat ekslusif dalam memandang agama-agama lainnya juga perbedaan-perbedaan pendapat dalam Islam sendiri. Sikap seperti inilah yang kemudian menjadi latar belakang mereka untuk berjihad dengan cara-cara yang biadab. Alih-alih Jihad, mereka tidak memandang siapa yang di hantam dan di bunuh. Bagi mereka yang tidak sesuai dengan ideologinya maka telah benar-benar salah dan harus di luruskan. Lantas apakah Jihad seperti itu benar, yang sering dijadikan alasan Radikalisme dalam Islam?
Sebelum jauh memahami Jihad, ada baiknya kita mengetahui terlebih dahulu akar tumbuhnya Islam Radikal. Kelompok ini mulai berani menunjukkan diri di hadapan Rasulullah pada bulan Syawal tahun 8 Hijriyah saat Rasulullah baru saja memenangkan perang Thaif dan Hunain (Prof. Dr. K.H. Said Agil Siraj, MA. dalam pengantar Buku Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi: 2011). Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, dikisahkan, ketika Rasulullah Saw membagi fai’ atau harta rampasan perang di daerah Thaif dan sekitarnya, tiba-tiba seorang sahabat yang bernama Dzul-Khuwaishirah dari Bani Tamim melayangkan protes kepada beliau. “Bersikap adillah, wahai Muhammad!”. Nabi Muhammad pun dengan tegas menjawab, “Celaka kamu! Tidak ada orang yang lebih adil dari aku. Karena apa yang kami lakukan berdasarkan petunjuk Allah!” Setelah Dzul-Khuwaishirah pergi, Nabi Muhamamd Saw bersabda, “Suatu saat nanti akan muncul sekelompok kecil dari umatku yang membaca al-Quran, namun tidak mendapatkan substansinya. Mereka itu sejelek-jeleknya makhluk di dunia ini).
Prediksi Nabi Saw. di atas kemudian terbukti setelah Nabi Muhammad Saw. wafat. Pada 35 H, Khalifah Usman ibn Affan terbunuh secara mengenaskan oleh sekelompok umat Islam yang ekstrem. Peristiwa ini kemudian terulang pada masa Khalifah Ali ibn Abi Thalib yang juga terbunuh oleh kalangan ekstrem dari umat Islam. Pembunuhnya adalah Abdurrahman Ibnu Muljam. Komunitas ekstrem tersebut, meski pada mulanya bernuansa politik, tetapi perkembangan selanjutnya dirajut dalam sebuah ideologi yang dikenal dengan faham Khawarij. Hal yang menarik, saat Khalifah Ali bin Abi Thalib masih hidup, kelompok ekstrem Khawarij ini sempat memvonis kafir Khalifah Ali bin Abi Thalib atas dasar kesalahan beliau yang membenarkan arbitrase atau tahkim dengan Mu’awiyah. Bagi Khawarij, yang berlaku adalah doktrin “laa hukma illa Allah”, bahwa arbitrase itu hanya milik Allah. Khalifah Ali ibn Abi Thalib pun menangkis diplomasi mereka dengan kata-kata singkat, “Qaul al-haq yuradu bihi al-bhatil (Untaian kata yang benar, namun tendensius dan mengarah pada yang batil)”.
Kata ‘jihad’ berasal dari kata kerja ‘jahada’, berarti usaha, upaya. Jadi, ber-‘jihad’ adalah membangun sesuatu yang sifatnya fisik maupun non-fisik. Sebutan lain yang berasal dari akar kata jihad ini, pertama, adalah “ijtihad”, yang berarti usaha membangun sisi intelektualitas manusia, seperti ijtihad para ulama atau kiai dalam forum bahtsul masail. Kedua, ‘mujahadah’, yang berarti upaya sungguh-sungguh membangun spiritualitas manusia. Dalam perkembangannya, jihad mengarah pada pengertian tertentu yang menekankan sesuatu yang sifanya fisik atau material. Sedangkan ijtihad dan mujahadah penekanannya kepada non- fisik atau immaterial.
Dari ketiga kata tersebut di atas, kata ‘jihad’ mendapatkan perhatian lebih dibanding dua kata lainnya. Hanya saja pengetahuan yang terbatas akan referensi Islam mengakibatkan tema jihad dipahami sebagai sebuah gerakan fisik yang berkonotasi kekerasan, kekejaman, dan pertumpahan darah. Trend pemaknaan jihad seperti ini makin diperparah dengan kemunculan beberapa tragedi kemanusiaan yang diklaim sebagai akibat dari gerakan “Islam Radikial”. Opini dunia pun mengarah kepada Islam. Islam sebagai agama rahmatan lil-alamin, lagi-lagi menjadi tergugat.
Dari ketiga kata tersebut di atas, kata ‘jihad’ mendapatkan perhatian lebih dibanding dua kata lainnya. Hanya saja pengetahuan yang terbatas akan referensi Islam mengakibatkan tema jihad dipahami sebagai sebuah gerakan fisik yang berkonotasi kekerasan, kekejaman, dan pertumpahan darah. Trend pemaknaan jihad seperti ini makin diperparah dengan kemunculan beberapa tragedi kemanusiaan yang diklaim sebagai akibat dari gerakan “Islam Radikial”. Opini dunia pun mengarah kepada Islam. Islam sebagai agama rahmatan lil-alamin, lagi-lagi menjadi tergugat.
Syekh Abu Bakar bin Ahmad Syatho dalam kitab I’anatut Thalibin syarh Fathul Mu’in. mengemukakan suatu ta’bir yang memiliki makna dan implikasi luar biasa. Menurutnya ”al-jihadu fardhlu kifayatin marratan fi kulli ‘aam”, bahwa jihad itu hukumnya fardhlu kifayah dalam setiap tahun. Kemudian ditambahkan pula, dalam bentuk jihad itu ada empat macam, pertama, itsbatu wujuudillah; kedua, iqamatu syari’atiilah, ketiga qital fi sabilillah dan keempat daf’u dlararil ma’shumin, musliman kana au dzimmiyyan.
Bentuk jihad pertama adalah itsbatu wujudillah, yaitu menegaskan eksistensi Allah swt di muka bumi, seperti dengan melantunkan adzan, juga bermacam-macam dzikir dan wirid. Bentuk kedua adalah iqamatu syari’atillah, menegakkan syariat Allah (baca: nilai-nilai agama), seperti shalat, puasa, zakat, haji, nilai-nilai kejujuran, keadilan, kebenaran, dan sebagainya. Bentuk ketiga, al-qital fi sabilillah, berpegang di jalan Allah, artinya jika ada komunitas yang memusuhi kita dengan segala argumentasi yang dibenarkan agama, maka kita baru dibenarkan berperang sesuai dengan rambu-rambu yang ditetapkan Allah. Bentuk keempat, daf’u dlararul ma’shumin musliman kana au dzimmiyyan, yakni mencukupi kebutuhan dan kepentingan orang yang harus ditanggung (oleh pemerintah) baik itu yang muslim maupun kafir dzimmi (termasuk orang Kristani, Majusi, Yahudi, Hindu, Budha, Khong Hu Chu serta pemeluk-pemeluk agama lainnya yang bukan menjadi musuh). Dengan cara mencukupi sandang, pangan dan papan.
Dari keempat model jihad tersebut, Hadlratus-Syaikh KH. Hasyim Asy’ari (Rais Akbar NU) merupakan ulama yang pernah menterjemahkan makna “jihad” secara kontekstual di bumi Indonesia. Pada bulan November 1945, ketika serdadu sekutu (dalam hal ini Inggris) datang ke Surabaya untuk merebut kembali Kemerdekaan Indonesia, beliau secara tegas mengeluarkan resolusi jihad guna memerangi sekutu. Perang yang dimaksud Hadlratus-Syaikh sama sekali tidak dimaksudkan membela ‘agama” an-sich, tetapi guna membela tanah air yang disitu melindungi semua komunitas, baik muslim, kristen, hindu, budha, konghuchu, aliran kepercayaan maupun lainnya. Menurut K.H. Masdar F. Mas’udi (Rois Syuriah PBNU), dalam konteks inilah, kalangan muslim dituntut untuk lebih mampu menempatkan diri dan menampilkan ajaran agamanya sebagaimana pembawa kebaikan (rahmatan li al-0alamin). Artinya, kaum muslim harus mampu menampilkan diri dalam sikap hidup kebangsaan yang tidak lagi melihat kesenjangan antara keislaman dan keindonesiaan. (Syarah Konstitusi UUD 45 dalam Perspektif Islam)
Dalam konteks kekinian, rumusan jihad ini akan mendapatkan relevansinya dan terasa membumi ketika seseorang melakukan langkah-langkah aktualisasi berikut - sebagaimana yang dirumuskan para ulama klasik dengan istilah Lima kebutuhan dasar (mabadi’ khaira ummah):
1. al-Ith’am (jaminan pangan)
Jihad dengan mengupayakan masyarakat sekeliling agar mendapatkan hak kelangsungan hidup, seperti sembako, dengan harga terjangkau, santunan bagi masyarakat terlantar, subsidi bagi yang tidak mampu, dan lainnya.
2. al-Iksa’ (jaminan sandang)
Jihad dengan memperjuangkan agar masyarakat mampu memperoleh kebutuhan sandang secara cukup, seperti harga tekstil terjangkau, bahan baku tekstil tercukupi, tersedianya pakaian yang sesuai dengan kemampuan masyarakat, dan lainnya.
3. al-Iskan (jaminan pangan)
Jihad dengan mengusahakan agar masyarakat mampu mendapatkan kebutuhan tempat tinggal, seperti pengadaan rumah sederhana dengan harga terjangkau, melindungi masyarakat dari jerat kredit memberatkan dari para pengembang real estate, dan lainnya.
4. Tsaman al-dawa’ (jaminan obat-obatan)
Jihad dengan mengupayakan agar masyarakat dapat memenuhi kebutuhannya atas obat-obatan. Masyarakat diberi kesadaran bahwa tindakan preventif perlu dilakukan agar diri kita terhindar dari sakit dan ketergantungan kepada obat-obatan, seperti: memasyarakatkan obat generik, sosialisasi gaya hidup sehat, menjaga kebersihan lingkungan, subsidi obat murah bagi masyarakat tidak mampu, dan lainnya.
5. Ujrah al-Tamridl (jaminan berobat)
Jihad dengan mengusahakan agar orang-orang yang jatuh sakit tidak terbebani oleh ongkos berobat yang tidak terjangkau. Masyarakat yang terserang penyakit harus mendapatkan layanan yang cukup hingga sembuh. Jihad ini pada tataran aplikasi dapat berbentuk subsidi bagi penderita penyakit, pengadaan puskesmas dengan layanan yang baik dan murah, pengobatan gratis bagi yang tidak mampu, dan lainnya. (NU Online/www.nu.or.id)
Tidak hanya sebatas itu, lebih jauh John L. Esposito dalam bukunya Islam: The Straigh Path menjelaskan beberapa hambatan religious yang harus diatasi berkenaan dengan menjamurnya Islam Radikal-konservatif. Pertama, Ultrakonservatif mengarah radikalisme sebagian ulama. Artinya pemahaman ulama atau tokoh agama seperti ini sudah saatnya dig anti dengan sikap-sikap inklusif, tidak jumud dan progressif. Kedua, Reformasi di Madrasah dan Universitas yang menyuburkan “Teologi Kebencian”. Artinya sudah saatnya lembaga-lembaga pendidikan memiliki orientasi yang bersifat Anthroposentris dan Biosentris, tidak muluk di ranah Teosentris-Dogmatis yang terkadang dalam keadaan tertentu bersifat arogan dan eksklusif. Ketiga, mendiskreditkan ide-ide dan ideology Jihad militant. Ini penting karena Jihad seperti ini terkadang disalah artikan sehinggga tidak mendasar. Dan justru menjadi sebuah alat perjuangan mengatasnamakan Agama namun substansinya bersifat politis bahkan pribadi.
Akhir kalam, kita perlu memahami makna Jihad yang sesungguhnya, jauh dari kesan kekerasan, ekstrim, eksklusif dan pembantaian. Sehingga perjuangan (jihad) menjadi semacam bentuk perjuangan religious, intelektual, spiritual dan moral. Bukan malah sebaliknya, yang hanya berkutat dalam ranah perang dan pedang. Selaku pencari Ilmu penulis menegaskan bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu mari kita terus mengaji dan memahami untuk kemudian men-implementasikannya. Karena penulis meyakini, bahwa mengaji juga merupakan Jihad di jalan Allah. Jadi benarkah Islam ajaran Teroris?. Tentu tidak benar. Wallahu’alam bisshawab.
*) Penulis adalah Santri Pondok Kebon Jambu Al Islamy