Gus Dur - sapaan akrab penuh hormat untuk Al-Maghfurlah Kiyai Haji Abdurahman Wahid- dinyatakan wafat pada hari Rabu, 30 Desember 2009, pukul 18.45 WIB di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta. Dua tahun sudah kita kehilangan sosok bersahaja sang guru bangsa- Bapak Pluralisme.
Humanis sekaligus pluralis. Ketika mendengar kata ini kita seakan dekat dengan sosok yang selalu memperjuangkan hak-hak kaum minoritas. Sehingga pantas ketika Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono, dalam pidato kenegaraanya, menjulukinya sebagai “Bapak Pluralisme”. Sosok yang selalu tampil percaya diri dan tidak terlalu cinta akan kedudukan. Seperti ditulis K.H. Mustofa Bisri, “Dia bisa dengan mudah mendapat kedudukan tanpa harus “menyayangi’ (merasa eman terhadap) kedudukan itu”. Tak seperti pejabat yang mengandalkan kedudukannya sebagai “Tuhan” (sebagai ladang pendapatan). Pantas, jika banyak pejabat frustasi dan bahkan bunuh diri dengan membawa frustasinya hanya karena tidak mendapatkan kedudukan yang diharapkannya.
Bagi saya sendiri, Gus Dur itu manusia luar biasa. Sosok yang begitu banyak dengan atribut yang disematkan kepadanya. Sekaligus sosok yang sering menciptakan atribut di negerti ini. Sebut saja: “Guru bangsa”, “Bapak Pluralisme”, “Kiyai Nyentrik”, “Bapak Orang Tiong Hoa/Kong Hu Chu” dan masih banyak lagi atribut yang disematkan kepadanya. Tidak sedikit pula beliau membuat/menciptakan atribut dengan cerdas, sehingga apa yang dikatakannya terkadang membuat orang bingung, tertawa bahkan marah. Dengan sense humornya yang tinggi Gus Dur pernah membuat geger DPR RI. Dalam satu pidatonya di hadapan Sidang Umum MPR, Gus Dur yang kertika itu masih menjabat Presiden RI menyatakan bahwa DPR RI seperti “Taman Kanak-kanak (TK). Pernyataan ini sontak menuai protes dari berbagai pihak dan menjadi polemik berkepanjangan di masyarakat. Namun pada akhirnya, pernyataan tersebut terjawab oleh perilaku anggota DPR RI sendiri di kemudian hari yang memperlihatkan perilaku kekanak-kanakan dalam setiap forum siding yang mereka gelar.
Gus Dur juga dekenal sebagai pembela orang-orang tertindas yang termarjinalkan di banyak sektor. Pembelaannya terhadap Ahmad Dhani dengan logo Band DEWA buatannya yang terlalu jauh dipersoalkan oleh Habib Rizieq Syihab, Inul Daratista dengan “Goyang Ngebor”-nya yang mendapat cercaan dari H. Roma Irama, Jama’ah Ahmadiyah dituduh sudah keluar dari ajaran Islam (sesat) yang dinilai menghina Islam.
Menurut Prof. Dr. K.H. Said Aqiel Siraj, M.A. (Ketua Umum PBNU), kepedulian dan pembelaan Gus Dur terhadap orang-orang yang tertindas dan teraniaya itu bukan tanpa dasar dan alasan kuat. Bagi kebanyakan orang yang tidak suka dengan pemikiran Gus Dur, memvonisnya sebagai orang yang salah. Sedangkan bagi orang-orang yang memahami tradisi berfikir pesantren -dimana Gus Dur menerapkannya dalam berbagai aspek pemikirannya- , sesungguhnya yang di bela Gus Dur adalah bukan menginjaknya DEWA pada logo Band-nya yang katanya merupakan kaligrafi bertuliskan lafad Allah SWT, bukan Goyang Ngebornya Inul Daratista yang katanya menjadi penyebab banyaknya pelecehan seksual di Indonesia, atau aqidahnya Jama’ah Ahmadiyah, tetapi Gus Dur membela mereka dari tindak kekerasan dan teror yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu yang mengatasnamakan Islam –membela Islam atas nama Tuhan- sehingga membuat tidak nyaman. Padahal kekerasan dan teror bertentangan dengan tujuan Syari’at Islam (Maqasidu-s Syari’ah). Kemudian salah satu atribut yang sekaligus menjadi salah satu pemikirannya adalah Pribumisasi Islam.
Pribumisasi Islam
Saya mencoba menggambarkan betapa Indonesia ini merupakan negara berpenduduk muslim terbesar (kuantitatif) di dunia sampai sekarang. Masyarakat Indonesia merupakan suatu komponen yang dinamis dan memiliki karakteristik yang berbeda dari negara lain, baik negara Islam maupun bukan. Karakteristik masyarakat Indonesia secara diferensiatif (turun-temurun) sudah terbangun, semenjak kerajaan-kerajaan nusantara dulu. Oleh karena itu perbedaan-perbedaan di tengah masyarakat kemudian dikenal dengan istilah pluralistik atau kemajemukan. Ide lebih lanjut tentang toleransi dan pluralisme sudah menjadi wacana ilmiah dan terbaca di banyak karya intelektual (Islam) Indonesia. Ide-ide baru baik secara teoritis maupun praktis pluralisme masih segar dikemukakan oleh alm. Nurcholis Madjid. Bahkan istilah yang diperkenalkan oleh Gus Dur mengenai masyarakat Islam Indonesia, yaitu “pribumisasi Islam” sangat menarik di kaji dan perbincangkan.. Sampai sekarang ide-ide tersebut masih tetap seksi dan menarik untuk ditelaah.
Ide ini merupakan bentuk dari pemaknaan Gus Dur akan Islam (muslim) Indonesia. Pribumisasi Islam ala Gus Dur dilakukan dengan cara mengambil spirit dan mengambil nilai-nilai lokal (local genius) yang merupakan sebuah nilai bagi masyarakat local yang bergerak secara dialogis dengan Islam sebagai sebuah agama. Masyarakat lokal yang menjunjung tinggi kearifan lokal tersebut hidup dalam komunitas yang tentunya beragama Islam. Bagaimana Islam itu melakukan dialog secara terbuka dan beradaptasi secara seimbang dengan nilai local. Misalnya shadaqoh pada waktu bulan ramadhan di lakukan dengan acara Selametan. Selametan ini biasanya dilakukan menjelang hitungan hari “Lailatul Qodar”. Kemudian Maulid Nabi dengan acara Tingkeban dan lain sebagainya. Contoh lain dari Pribumisasi Islam ala Gus Dur menurut Jamal Ma’mur Asmani (2007: Hal. 351-352) adalah para Ulama Indonesia telah mencoba mengadopsi budaya local secara selektif, system social kesenian dan pemerintahan yang sudah pas tidak diubah, termasuk adat istiadat, banyak dikembangkan dalam persfektif Islam. Hal ini yang memungkinkan budaya Nusantara tetap beragam, walaupun Islam telah menyatukan wilayah ini secaara agama. Salah satu actor integrasi ke-Islam-an dan kebudayaan local tersebut adalah Sunan Kali Jaga yang menggunakan wayang setelah dirombak seperlunya, baik bentuk fisik wayang itu maupun lakonnya. Juga gamelan yang dalam gabungannya dengan unsur-unsur upacara Islam popular, menghasilkan tradisi Sekatenan di pusat-pusat kekuasaan Islam seperi Cirebon, Demak, Yogyakarta dan Solo. Juga misalnya tradisi peringatan untuk orang-orang yang baru meninggal (setelah 7, 40, 100 dan 1000 hari) dan disebut Selametan atau memohon keselamatan dari Allah untuk orang yang meninggal. Upacara itu juga kemudian dikenal “Tahlilan”, yakni membaca lafal La Ilaha illa Allah secara bersama-sama, sebagai suatu cara efektif untuk menanamkan jiwa tauhid dalam kesempatan suasana keharuan yang membuat orang menjadi penuh perasaan dan sugestif (gampang menerima paham atau pengajaran). Kemudian Sunan Bonang merubah gamelan Jawa yang saat itu kental dengan estetika Hindu menjadi bernuansa Dzikir yang mendorong kecintaan pada kehidupan trasendental. Tembang “”Tombo Ati” adalah salah satu karya Sunan Bonang. Sementara Sunan Kudus mendekati masyarakat kudus dengan memanfaatkan symbol-symbol Hindu dan Budha, hal itu terlihat dari arsitektur Masdjid kudus. Bentuk menara, gerbang, pancuran wudlu melambangkan delapan jalan Budha (Jamal, 2007: 352).
Pribumisasi Islam merupakan representasi Islam di Indonersia secara sosio-antropologis. Bukan merupakan aturan absolut teologis atau instrumen legal-formal yang bernama fiqh. Konstruksi muslim Indonesia sudah majemuk/plural dari awalnya ketika Islam sebagai agama vis a vis masyarakat local yang notabene Hindu-Budha bahkan animisme yang telah ada sebelum Islam masuk. Tentunya Islam sebagai agama yang menjadi rahmatan lil’alamiin ini tetap dengan cita-cita luhurnya yang mulia sebagai penyebar kasih sayang dan rahmat. Interaksi Islam sebagai agama dengan local genius tersebut tidak berhenti pada titik temporal saja, melainkan sudah pada tahap implementasi, seperti yang telah saya jelaskan diatas. Seperti Tahlilan, Tingkeban, Sekatenan dalam ranah ritual sosio-antropologis dan bentuk-bentuk arsitektur Masjid juga kesenian. Dan yang perlu di catat bahwa interaksi tersebut tetap mengalir terjadi sampai era postmodern sekarang ini. Islam benar-benar memasyarakat dan hidup di tengah tradisi lokal yang ramah juga dengan segenap perubahan. Islam Indonesia merupakan manifestasi atau ekspresi keberagamaan umat Islam di Indonesia yang selalu berinteraksi dan hidup inhern/sejalan dengan nilai-nilai lokal. Tentunya yang menjadi media penyambung antara dua komponen tadi (Islam dan Local Genius) adalah nilai-nilai pluralisme dan toleransi yang bersimbiosis menjadi Pribumisasi Islam. Dua hal yang senantiasa menjadi ”kata-kata mutiara” di tengah karut-marut realita kehidupan yang cenderung ”keras dan materialistik’ sekarang ini. Saya kira ini menarik untuk kita kaji karena bagaimanapun juga melalui simbiosis tradisi yang memang tidak pernah ada pada zaman Rasulullah justru Islam berkembang pesat di Indonesia. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa Islam di Indonesia sama sekali berbeda dengan Islam ala Arab (Wahhabi). Dengan penuh kompromi dan melalui dakwah bernuansa hikmah –tidak dengan cara memaksa apalagi membunuh- dakwah para Wali dan Ulama pada akhirnya dapat diterima dengan baik oleh pemeluk agama awal (Hindu dan Budha) di Indonesia.
Oleh karena itu saya rasa tradisi-tradisi bernilai baik yang biasa kita lakukan seperti tahlilan, marhabanan, yasinan, sholawatan, ziarah dan lain sebagainya, harus tetap di lestarikan dalam rangka dakwah Islam yang penuh dengan hikmah dan tentunya bernuansa khas Indonesia. Di sinilah saya yakin Pribumisasi Islam yang di maksud dan di harapkan Gus Dur dalam ranah sosio-antropologis. Dan ini jelas menunjukkan bahwa Islam adalah agama rahmat bagi sekalian alam, rahmatan lil’alamin, tidak penuh dengan cacian, makian apalagi pengeboman. Justru dengan cara-cara yang radikal, eksklusif dan ekstrim perkembangan Islam akan terhambat bahkan dunia akan memandang Islam sebagai agama pro-teroris. Apakah kita rela Islam di klaim sebagai Agama teroris? Tentu tidak, bukan?. Wallahu’alam Bisshowab.
*Adalah Mahasiswa IAIN Syekh Nurjati Cirebon sekaligus pemerhati sosial dan budaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar