APA KABARMU
HUJAN?
Ayub Al Ansori *)
“Kemarau kau selalu
di caci: panasmu membakar dan mengeringkan segalanya.
Hujan kau pun selalu
di maki: banjirmu meluluhlantakkan segalanya.”
Jam sudah menunjukkan pukul 4 sore, baru
saja menjejakkan kaki keluar dari ruangan kuliah, entah pulang entah ada hal
lain yang harus ku kerjakan. Hari ini memang melelahkan. Cukup melelahkan,
berkutat dengan diktat kuliah, berbagai tugas dan makalah juga laporan, rasanya
ingin menyudahi rutinitas yang membosankan di kampus. Biasanya pulang kuliah
atau di sela-sela rutinita kuliah aku berkumpul dengan sahabat-sahabat untuk
rapat atau berdiskusi tentang hal-hal yang up to date untuk di kritisi. Apalagi
akhir-akhir ini kampus sedang diramaikan dijebloskannya terdakwa korupsi
penyalahgunaan pengadaan alat-alat komunikasi oleh oknum pejabat kampus.
Hafiuuuh. Menambah penat saja.
Barangkali karena hawa panas yang tak
mau menguap dari ruang-ruang kelas yang kurang ventilasi udara yang dimuati kurang
lebih 35 Mahasiswa. Barangkali lantaran dosen yang tidak maksimal memberikan
ceramah kuliah karena gerah. Barangkali karena musim kemarau terlanjur
berkepanjangan, kampus di mana aku kuliah menjadi sangat tidak enak dipandang
dengan suasana yang panas setelah seharusnya musim penghujan di Bulan September
ini. Menyisiri lantai dua gredung kuliah sempat aku melihat tanaman dalam pot
tak terawat. Aku pikir kemarau bukan saja mengganggu ku tetapi juga menggagnggu
tanaman, lebih-lebih mengganggu dan mengacau akalku. Mana bisa aku biarkan
tanaman ini mati, padahal nanti gedung ini dan bisa jadi tanaman dalam pot ini,
akan menjadi saksi bahwa aku pernah bersua di sini.
“Langsung pulang?” tanya seorang
temanku.
“Entah. Duluan saja.” Jawabku.
Sementara yang lain pulang bergerombol
hingga hilang di belokan tangga gedung ini. Aku sempat memandang ke arah gedung
di depannku. Gedung rektorat. Ada rasa benci dan muak. Kembali ku pandangi
tumbuhan dalam pot itu. Entah apa yang menggerakkanku, aku beranjak dan
menyisiri ruang kuliah di lantai 2 ini. Kudapati sebotol bekas minuman mineral
tergeletak di lantai ruang kuliah. Aku bahagia mendapatkannya tapi ada rasa
heran.
“Ah. Gusti betapa kami belajar tentang
lingkungan dengan sungguh-sungguh tetapi kenapa musti masih ada yang membuang
botol ini sembarangan” Desisku dalam hati. Padahal aku tahu di ruangan itu hari
ini telah disampaikkan Mata Kuliah Ilmu Lingkungan.
Segera ku raih botol itu dan bergegas
aku menuruni tangga yang berbelok di gedung. Gedung Jurusan T. IPA Biologi.
Sebelah kanan tangga (barat) terdapat kamar kecil. Aku masuk dan masukkan air
ke dalam botol itu. Penuh. Sebelum pergi aku sempat membau tak sedap dalam
kamar kecil itu. Gila. Aku yakin kamar kecil lainnya di kampus ini nasibnya
persis sama bahkan lebih parah. Apa gunanya Aksi Bersih Kampus tempo hari yang
aku dan teman-teman laksanakan. Harus ada kesadaran memang.
Tak mau direpotkan dengan
pikiran-pikiran kotor tentang orang lain, aku kembali ke lantai 2 dan kutemui
tumbuhan dalam pot itu lagi. Ada 10 pot denagn macam-macam tetumbuhan dan
tanaman di lantai atas ini, tetapi memang tidak terawat dengan baik sehingga kulihat
ada tumbuhan yang mati dalam salah satu pot. Ah, aku merasa bersalah. Menyadari
bahwa ini adalah kekurang perhatiannku selama ini. Dan kenapa aku baru sadar. Secepat
aku menyirami tanaman-tanaman itu. Ada rasa bahagia dalam hati. Tiga kali aku
naik turun tangga mengambil air untuk menyirami tanaman itu meski air di kamar
kecil sudah mulai habis. Kosong. Bergegas kutinggalkan tumbuhan itu dan ku
simpan botol itu dalam tas. Aku pikir botol ini akan berguna untuk menyiram
tanaman itu lagi.
Melangkah pelan di koridor gedung kampus.
Meski sudah sore panasnya jagat ini masih terasa. Tetumbuhan dan pepohonan
rindang di pinggir gedung di sekitar halaman kampus membisu bak tak bernyawa.
Anginpun tak bergeming. Hujan pun tak kunjung datang. “Apa kabarmu hujan?” Ada
rasa sejumput rindu menanti sang hujan. Biar ku rapal kata-kata “Apa kabarmu
hujan” sepanjang jalan pulang.
Memnag tidak ada agenda pertemuan entah
itu rapat atau diskusi hari ini. Aku langsung bergegas pulang. Kembali
kurasakan penat, panas dan peluh mulai bercucuran di wajah dan tubuhku. Mobil
elf yang kutumpangi ngetem begitu lama di sebuah pertigaan di kotaku. Sudah 20
menit berlalu, Mobil elf ini tak kunjung jalan. Panas. Berjejal pula. Seorang
penumpang, kulihat Ibu-ibu sekitar berumur 45 tahun menggerutu. “Pir, gage gah
mangkat panas kih” dalam bahasa jawa Cirebon. Tidak hanya itu, kulihat dua
Mahasiswi di jok depan belakang supir terus mengibaskan kipas dengan tangannya.
Ah, ternyata. Memang jagat ini sedang panas. Sepanjang jalan terus ku rapal
“Apa kabarmu Hujan?”.
>>>>>>>>>
Aku urung beranjak dari teras warung tempat aku baru
saja menghabiskan semangkok mie ayam sambil ber-SMS. Kuusap wajahku dengan sapu
tangan. Keringat bercucuran bukan hanya karena proses metabolisme yang banyak
memakan energi sehingga mengeluarkan keringat, tetapi karena memang lagi-lagi
udara sedang panas meski hari beranjak sore. Kudapati SMS dari seorang teman
masuk ke inbox HP ku: Lhat Brita di TV,
bnyk kbakaran hutan, swah kkeringan, tnah retak2 tak ada air. Ini akbat ulah
mnusia tak mau mrawat bumi. Saat nya Go Green dg mnanam pohon dan minimalisasi
emisi gas efek rumah kaca. Sekilas kubaca. Namun lagi-lagi ini hanya ajakan
yang di sampaikan lewat SMS belaka tak ada yang sungguh menjalaninya. Perlu
bukti?. Ah, akupun kadang masih sulit melakukan itu.
Memang
kulihat berita di TV, kebetulan warung Mie Ayam yang aku jajaki menyediakan TV.
Ah, sawah sudah kekeringan. Tanahnya retak-retak besar. Tak ada lagi petani
yang datang mengurus sawahnya. Tak ada air. Jangankan petani, burung-burung
yang biasanya bermain-main di dahan-dahan padi pun sudah lama tak terlihat.
Padi mulai mati kekurangan air. Kebun-kebun pun sama saja. Satu-dua tanaman
terlihat tegak dengan batang dan daun kering. Tak ada yang ingin berkebun. Ke
mana harus mencari air untuk menyiramnya? Untuk minum saja, sudah sulit
didapat. Pagi atau sore akan terlihat barisan panjang warga yang mengantri di
sebuah mata air, yang kian ke dalam saja air yang bisa diambil dari sana.
Begitulah gambaran berita di TV di salah satu tempat di Negeri ini. Miris.
Aku sejenak berpikir akan pola pikir masyarakat di negeriku ini. Jika kemarau panjang, inginnya minta hujan. Sampai-sampai musti Sholat Istisqo. Setelah di beri hujan. Banjir pun datang. Mencak-mencak mencaci hujan, menyalahkan hujan. Padahal pola hidup yang tidak ramah lingkungan penyebab banjir. Begitupun bila kemarau panjang, seperti saat ini. Orang-orang mencaci kemarau gara-gara tak ada air, sawah kekeringan, padi pun mati. Kebun-kebun tandus, tanamannya mengering. Mati. Ah, aku pun tak menampik bahwa kadang aku pun demikian. Tapi setidaknya musti ada kesadaran dalam melakukan pola hidup ramah lingkungan. Sampai saat ini pun aku masih merapalmu: Apa kabarmu hujan?.
>>>>>>
“Apa kabarmu Hujan?” aku masih merapalmu hingga malam ini tiba. Jujur. Larut menjelang dini ini aku benar-benar ingin musim hujan tiba. Setidaknya besok pagi ketika aku bangun ku rasakan sejuknya udara dan harumnya bau tanah terkena hujan. Kalau saja kamu tahu Hujan!, betapa bahagianya aku bila kau menyapa pagiku. Kadang aku berharap hujan akan melupakan musimnya dan turun sepanjang waktu seperti rinduku pada kekasih. Ya, Apakah musim hujan akan segera datang dan kemarau pergi membawa pesan-pesanku untukmu, membawa pergi debar dada yang begitu cemas setiap kali ponsel berdering nyaring oleh SMS masuk memberitakan keadaan Negeriku ini. Dan tayangan –tayangan berita di TV memberitakan keadaan bangsa ini. Sehingga barangkali aku akan lupa pernah merapalmu sepanjang hari: “Apa kabarmu Hujan?”.
Cirebon, 24 September 2012
*) Penulis adalah Mahasiswa Tadris IPA Biologi IAIN Syekh Nurjati Cirebon semester VII
Tidak ada komentar:
Posting Komentar