Selasa, 29 Januari 2013

Cerpen: Apa Kabarmu Hujan?

APA KABARMU HUJAN?
Ayub Al Ansori *)

“Kemarau kau selalu di caci: panasmu membakar dan mengeringkan segalanya.
Hujan kau pun selalu di maki: banjirmu meluluhlantakkan segalanya.”

Jam sudah menunjukkan pukul 4 sore, baru saja menjejakkan kaki keluar dari ruangan kuliah, entah pulang entah ada hal lain yang harus ku kerjakan. Hari ini memang melelahkan. Cukup melelahkan, berkutat dengan diktat kuliah, berbagai tugas dan makalah juga laporan, rasanya ingin menyudahi rutinitas yang membosankan di kampus. Biasanya pulang kuliah atau di sela-sela rutinita kuliah aku berkumpul dengan sahabat-sahabat untuk rapat atau berdiskusi tentang hal-hal yang up to date untuk di kritisi. Apalagi akhir-akhir ini kampus sedang diramaikan dijebloskannya terdakwa korupsi penyalahgunaan pengadaan alat-alat komunikasi oleh oknum pejabat kampus. Hafiuuuh. Menambah penat saja.
Barangkali karena hawa panas yang tak mau menguap dari ruang-ruang kelas yang kurang ventilasi udara yang dimuati kurang lebih 35 Mahasiswa. Barangkali lantaran dosen yang tidak maksimal memberikan ceramah kuliah karena gerah. Barangkali karena musim kemarau terlanjur berkepanjangan, kampus di mana aku kuliah menjadi sangat tidak enak dipandang dengan suasana yang panas setelah seharusnya musim penghujan di Bulan September ini. Menyisiri lantai dua gredung kuliah sempat aku melihat tanaman dalam pot tak terawat. Aku pikir kemarau bukan saja mengganggu ku tetapi juga menggagnggu tanaman, lebih-lebih mengganggu dan mengacau akalku. Mana bisa aku biarkan tanaman ini mati, padahal nanti gedung ini dan bisa jadi tanaman dalam pot ini, akan menjadi saksi bahwa aku pernah bersua di sini.
“Langsung pulang?” tanya seorang temanku.
“Entah. Duluan saja.” Jawabku.
Sementara yang lain pulang bergerombol hingga hilang di belokan tangga gedung ini. Aku sempat memandang ke arah gedung di depannku. Gedung rektorat. Ada rasa benci dan muak. Kembali ku pandangi tumbuhan dalam pot itu. Entah apa yang menggerakkanku, aku beranjak dan menyisiri ruang kuliah di lantai 2 ini. Kudapati sebotol bekas minuman mineral tergeletak di lantai ruang kuliah. Aku bahagia mendapatkannya tapi ada rasa heran.
“Ah. Gusti betapa kami belajar tentang lingkungan dengan sungguh-sungguh tetapi kenapa musti masih ada yang membuang botol ini sembarangan” Desisku dalam hati. Padahal aku tahu di ruangan itu hari ini telah disampaikkan Mata Kuliah Ilmu Lingkungan.
Segera ku raih botol itu dan bergegas aku menuruni tangga yang berbelok di gedung. Gedung Jurusan T. IPA Biologi. Sebelah kanan tangga (barat) terdapat kamar kecil. Aku masuk dan masukkan air ke dalam botol itu. Penuh. Sebelum pergi aku sempat membau tak sedap dalam kamar kecil itu. Gila. Aku yakin kamar kecil lainnya di kampus ini nasibnya persis sama bahkan lebih parah. Apa gunanya Aksi Bersih Kampus tempo hari yang aku dan teman-teman laksanakan. Harus ada kesadaran memang.
Tak mau direpotkan dengan pikiran-pikiran kotor tentang orang lain, aku kembali ke lantai 2 dan kutemui tumbuhan dalam pot itu lagi. Ada 10 pot denagn macam-macam tetumbuhan dan tanaman di lantai atas ini, tetapi memang tidak terawat dengan baik sehingga kulihat ada tumbuhan yang mati dalam salah satu pot. Ah, aku merasa bersalah. Menyadari bahwa ini adalah kekurang perhatiannku selama ini. Dan kenapa aku baru sadar. Secepat aku menyirami tanaman-tanaman itu. Ada rasa bahagia dalam hati. Tiga kali aku naik turun tangga mengambil air untuk menyirami tanaman itu meski air di kamar kecil sudah mulai habis. Kosong. Bergegas kutinggalkan tumbuhan itu dan ku simpan botol itu dalam tas. Aku pikir botol ini akan berguna untuk menyiram tanaman itu lagi.
Melangkah pelan di koridor gedung kampus. Meski sudah sore panasnya jagat ini masih terasa. Tetumbuhan dan pepohonan rindang di pinggir gedung di sekitar halaman kampus membisu bak tak bernyawa. Anginpun tak bergeming. Hujan pun tak kunjung datang. “Apa kabarmu hujan?” Ada rasa sejumput rindu menanti sang hujan. Biar ku rapal kata-kata “Apa kabarmu hujan” sepanjang jalan pulang.
Memnag tidak ada agenda pertemuan entah itu rapat atau diskusi hari ini. Aku langsung bergegas pulang. Kembali kurasakan penat, panas dan peluh mulai bercucuran di wajah dan tubuhku. Mobil elf yang kutumpangi ngetem begitu lama di sebuah pertigaan di kotaku. Sudah 20 menit berlalu, Mobil elf ini tak kunjung jalan. Panas. Berjejal pula. Seorang penumpang, kulihat Ibu-ibu sekitar berumur 45 tahun menggerutu. “Pir, gage gah mangkat panas kih” dalam bahasa jawa Cirebon. Tidak hanya itu, kulihat dua Mahasiswi di jok depan belakang supir terus mengibaskan kipas dengan tangannya. Ah, ternyata. Memang jagat ini sedang panas. Sepanjang jalan terus ku rapal “Apa kabarmu Hujan?”.  
>>>>>>>>> 
Aku urung beranjak dari teras warung tempat aku baru saja menghabiskan semangkok mie ayam sambil ber-SMS. Kuusap wajahku dengan sapu tangan. Keringat bercucuran bukan hanya karena proses metabolisme yang banyak memakan energi sehingga mengeluarkan keringat, tetapi karena memang lagi-lagi udara sedang panas meski hari beranjak sore. Kudapati SMS dari seorang teman masuk ke inbox HP ku: Lhat Brita di TV, bnyk kbakaran hutan, swah kkeringan, tnah retak2 tak ada air. Ini akbat ulah mnusia tak mau mrawat bumi. Saat nya Go Green dg mnanam pohon dan minimalisasi emisi gas efek rumah kaca. Sekilas kubaca. Namun lagi-lagi ini hanya ajakan yang di sampaikan lewat SMS belaka tak ada yang sungguh menjalaninya. Perlu bukti?. Ah, akupun kadang masih sulit melakukan itu.
Memang kulihat berita di TV, kebetulan warung Mie Ayam yang aku jajaki menyediakan TV. Ah, sawah sudah kekeringan. Tanahnya retak-retak besar. Tak ada lagi petani yang datang mengurus sawahnya. Tak ada air. Jangankan petani, burung-burung yang biasanya bermain-main di dahan-dahan padi pun sudah lama tak terlihat. Padi mulai mati kekurangan air. Kebun-kebun pun sama saja. Satu-dua tanaman terlihat tegak dengan batang dan daun kering. Tak ada yang ingin berkebun. Ke mana harus mencari air untuk menyiramnya? Untuk minum saja, sudah sulit didapat. Pagi atau sore akan terlihat barisan panjang warga yang mengantri di sebuah mata air, yang kian ke dalam saja air yang bisa diambil dari sana. Begitulah gambaran berita di TV di salah satu tempat di Negeri ini. Miris.


Aku sejenak berpikir akan pola pikir masyarakat di negeriku ini. Jika kemarau panjang, inginnya minta hujan. Sampai-sampai musti Sholat Istisqo. Setelah di beri hujan. Banjir pun datang. Mencak-mencak mencaci hujan, menyalahkan hujan. Padahal pola hidup yang tidak ramah lingkungan penyebab banjir. Begitupun bila kemarau panjang, seperti saat ini. Orang-orang mencaci kemarau gara-gara tak ada air, sawah kekeringan, padi pun mati. Kebun-kebun tandus, tanamannya mengering. Mati. Ah, aku pun tak menampik bahwa kadang aku pun demikian. Tapi setidaknya musti ada kesadaran dalam melakukan pola hidup ramah lingkungan. Sampai saat ini pun aku masih merapalmu: Apa kabarmu hujan?.

>>>>>>

“Apa kabarmu Hujan?” aku masih merapalmu hingga malam ini tiba. Jujur. Larut menjelang dini ini aku benar-benar ingin musim hujan tiba. Setidaknya besok pagi ketika aku bangun ku rasakan sejuknya udara dan harumnya bau tanah terkena hujan. Kalau saja kamu tahu Hujan!, betapa bahagianya aku bila kau menyapa pagiku. Kadang aku berharap hujan akan melupakan musimnya dan turun sepanjang waktu seperti rinduku pada kekasih. Ya, Apakah musim hujan akan segera datang dan kemarau pergi membawa pesan-pesanku untukmu, membawa pergi debar dada yang begitu cemas setiap kali ponsel berdering nyaring oleh SMS masuk memberitakan keadaan Negeriku ini. Dan tayangan –tayangan berita di TV memberitakan keadaan bangsa ini. Sehingga barangkali aku akan lupa pernah merapalmu sepanjang hari: “Apa kabarmu Hujan?”.



Cirebon, 24 September 2012



*) Penulis adalah Mahasiswa Tadris IPA Biologi IAIN Syekh Nurjati Cirebon semester VII

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Do'a

Adalah Engkau

Yang beri kekuatan

Sekaligus menghujamku

Dengan Qodo dan Qodar-Mu

Tuhan..............

Engkau ku percaya

Menjawab setiap do’a yang ku panjatkan

Ku menyanjung-Mu dengan butiran-butiran dzikirku

Kau tak goyah dengan Qodo-Mu

Ku merengek dengan untaian Wiridku

Kau terlampau tentukan Qadar-Mu

Ku serapi setiap lantunan ayat-ayat-Mu

Kau hanya beri aku harapan

Ku berontak dalam puji-puji doa’ku

Kau hanya menatapku dingin dengan ke-Maha Besaran-Mu

Ku menangis dan memaksamu dalam sujudku

Kau tertawa dengan segala ke-Maha Agungan-Mu

Apa mau-Mu Tuhan?

Aku yakin

Kau jawab “YA”, Kau beri yang aku minta

Kau jawab “TIDAK”, Kau akan berikan yang lebih baik

Kau jawab “TUNGGU” Kau akan beri yang terbaik

Untukku..........

Dengan keterbatasanku

Hanya satu, berikan padaku

“Ridhoilah aku sebagai Hamba-Mu yang terbatas

Wahai ALLAH, Tuhan yang Maha Tak Terbatas”