Oleh: Ayub Al Ansori
Suatu pagi sekira pukul delapan penulis sengaja berkunjung ke Griya salah
seorang pendiri IPNU Kabupaten Cirebon bersama seorang rekan. Bersama naik
motor, dari kejauhan, belum juga kaki menginjak tanah, sudah terlihat sosok
yang sudah berumur 85-an tahun sedang asyik membaca koran pagi di sebuah
kursi kayu. Memang begitulah kebiasaan tiap pagi orang yang bernama
Ibrahim Rozi itu. Kami biasa memanggilnya Pak Ib. Ya, KH Ibrahim Rozi,
beliaulah pendiri IPNU Kabupaten Cirebon. Sosok yang selalu ingin disebut
Aktifis NU sampai mati. Begitu kira-kira Pak Ib bilang pada kami suatu hari
dikesempatan lain saat berkunjung.
Setiap kali penulis shilaturahim selalu saja disambut dengan ramah. Sudah
barang tentu beliau selalu menanyakan kabar penulis dan tentu kabar perkembangan organisasi yang beliau
dirikan, IPNU. Meski usia sudah tidak lagi muda, kalau urusan ngobrol IPNU
beliau selalu terlihat semangat. Tentunya beliau akan berpikir keras mengingat
masa-masa perjuangannya dulu. Matanya terpejam dan kepala tertunduk, sesekali
menghadap ke atas. Kalau beliau ingat, mesti diceritakan. Sebaliknya kalau
beliau lupa, mesti beliau bilang “saya lupa,”. Justru saat-saat seperti inilah
yang penulis tunggu. Berharap Pak Ib ingat. Kalau ingat tentu saja banyak
cerita yang keluar dari beliau. Sudah tentu penulis akan seksama memperhatikan
bila perlu mencatatnya bak seorang jurnalis. “Dulu,”. Satu kata, tanda beliau
masih ingat kejadiannya, selanjutnya beliau akan mulai bercerita.
Berdirinya IPNU di Cirebon tidak lepas dari sejarahnya yang berawal dari
dihelatnya Muktamar ke-III IPNU di Kota Udang. Tahun 1958 merupakan tahun
bersejarah di Cirebon, bukan saja karena Muktamar III IPNU digelar di Cirebon,
namun juga menjadi tempat bagi embrio berdirinya IPNU di Cirebon. Pak Ib
menceritakan, Muktamar tersebut di gelar di Gedung Bioskop, yang sekarang
menjadi Pasar Balong Kota Cirebon, dan di Balai Tentara. Peserta Muktamar saat
itu menginap di rumah-rumah warga dan hotel di sekitar Kota Cirebon. Banyak
kegiatan dihelat, dari apel pelajar sampai pekan olahraga pelajar se-Indonesia.
Kalau urusan sidang-sidang sudah tentu menjadi perkara wajib. “Semacam menyusun
aturan-aturan organisasi,” kata Pak Ib kepada penulis.
Beliau sendiri menghadiri Muktamar III IPNU pada tanggal 27 – 31 Desember
1958, tapi ada juga yang bilang sampai tanggal 2 Januari 1959. Saat itu beliau
sebagai utusan dari PW IPNU Yogyakarta. Yang menarik, beliau menjelaskan,
selain membahas soal krisis politik dan ekonomi nasional, pengembangan cabang
IPNU masih menjadi prioritas bahasan. Tidak hanya itu, Ibrahim Rozi juga
menjadi saksi sejarah bahwa dalam Muktamar ini betapa keinginan mahasiswa NU
untuk mendirikan organisasi kemahasiswaan ditubuh NU begitu tinggi, sehingga
muncul gagasan pembentukan departemen perguruan tinggi IPNU sebagai embrio
PMII. “Di Muktamar Cirebon lah urusan kemahasiswaan tersalurkan lewat
Departemen Perguruan Tinggi IPNU,” ungkap Pak Ib.
Pada perjalanannya, beliau mendirikan IPNU di Cirebon tahun 1959 bersama
rekan-rekan seperjuangannya yang hampir semuanya sudah meninggal. “Yang lain
sudah almarhum semua. Tinggal saya sendiri,” ungkap Pak Ib sambil mengingat
masa lalunya itu. Menariknya, alasan beliau mendirikan IPNU di Cirebon karena
malu. Malu dengan rekan-rekannya di Yogyakarta. “Masa daerahnya dijadikan
tempat Muktamar, tapi IPNU-nya belum ada,” begitu ledek rekan-rekannya kepada
Pak Ib, seperti Pak Ib ceritakan kembali kepada penulis.
Tahun 1959 berdirilah IPNU hasil konsolidasi Pak Ib bersama rekan-rekannya.
Pada mulanya kebanyakan pengurus IPNU merupakan mahasiswa di IAIN Sunan Gunung
Jati Cabang Cirebon. Mereka yang mendirikan IPNU Cirebon adalah Ibrahim Rozi
(Plered Cirebon), Maksudi Yusuf (Plered Cirebon), Suaeb Sumpeno (Cirebon),
Kistiharno (KS Tubun Cirebon), Nasruddin Asfar (Tengah Tani Cirebon), dan
Jamaluddin (Cirebon). Dan ditunjuk sebagai Ketua pertama PC IPNU Cirebon, pada
tahun 1959, adalah Jamaluddin, dengan Sekretaris Nasruddin Asfar, dan Bendahara
Ibrahim Rozi.`
Dalam ingatan Ibrahim Rozi, pada awal-awal berdirinya IPNU,
kegiatan-kegiatan IPNU lebih mengarah pada penguatan internal khususnya
diskusi-diskusi ilmiah dan pelatihan manajemen organisasi sebagai upaya
menambah wawasan keilmuan dan kejelian dalam bernalar bagi anggota dan kader.
Juga kegiatan-kegiatan pelatihan kaderisasi dan pelatihan-pelatihan
kejurnalistikan. Namun, kata Pak Ib, mulai tahun 1960 konsentrasinya mulai
pecah. Beliau juga harus mengonsolidasikan pendirian PMII di Cirebon. Meski
begitu, beliau masih tetap aktif dan mengawal proses kaderisasi di IPNU.
“Menjadi IPNU harus betul-betul menjadi IPNU sampai mati,” begitu kata Pak
Ib. Maksudnya, kata Pak Ib melanjutkan, bukan terus di IPNU saja, karena ada
batasnya aktif di IPNU, tapi terus “ngurip-ngurip” ajaran NU di manapun berada
dan di mana saja posisinya. “IPNU atau NU itu harus menjadi pegangan ideologis
para pelajar dan masyarakat. Karena tidak semua anak dilahirkan dari keluarga
NU,” pesan Pak Ib kepada penulis sebelum pamit pulang karena beliau mesti
istirahat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar