Oleh: Uub Ayub Al Ansori
Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) merupakan salah satu badan otonom
(Banom) dalam tubuh Nahdlatul Ulama (NU). Banom NU adalah perangkat organisasi
yang berfungsi melaksanakan kebijakan NU yang berkaitan dengan kelompok
masyarakat tertentu dan beranggotakan perseorangan.
Sebagaimana fungsinya, IPNU dimandati mengakomodir pelajar-pelajar dengan
cakupan pelajar di sekolah umum dan santri di pesantren. Melihat wilayah
garapan IPNU ini, adalah sebuah mandat yang tidak mudah untuk diwujudkan.
Mandat dan tugas pokok IPNU, salah satu tugas besarnya adalah menunaikan
kaderisasi dikalangan pelajar, baik di sekolah, maupun di pesantren. Oleh
karena mandat tersebut, salah satu garapan IPNU adalah membentuk dan
mengembangkan pendirian komisariat-komisariat sebanyak mungkin di setiap
sekolah dan pesantren. Hal ini bukan tanpa alasan, selain untuk kaderisasi,
juga merupakan upaya membentengi para pelajar dan santri dalam mengarungi
derasnya arus globalisasi.
Dampak dari derasnya arus globalisasi adalah arus informasi yang begitu
bebas masuk ke Indonesia, baik yang positif maupun yang negative. Implikasinya
adalah masuknya ideologi-ideologi transnasional. Tentu yang pertama kali
menjadi sasaran adalah pelajar dan santri. Indonesia sebagai bangsa yang
dikenal mempunyai kultur moderat, santun dan sangat ramah pada siapapun,
sehingga implikasinya masyarakat bangsa Indonesia terkadang kurang mampu
memproteksi dan membendung arus budaya yang masuk melalui berbagai media, baik
cetak maupun elektronik.
Pengaruh negatif salah satu contohnya, telah berhasil menjangkiti masyarakat
Indonesia terlebih generasi muda (baca: pelajar). Kenakalan remaja termasuk di
dalamnya pelajar seperti sex bebas, penggunaan narkoba, tawuran antar pelajar, married
by accident, serta berbagai bentuk kenakalan remaja/pelajar lainnya,
seolah-olah seperti hal yang biasa dan sudah bukan hal yang aneh lagi di tengah
masyarakat sekarang ini. Berdarkan Data Puslitkes UI dan BNN, ternyata 25
persen yang terlibat kasus narkoba itu dari kalangan pelajar. Ada tiga jenis
narkoba yang sering digunakan pelajar, yaitu sabu, ganja dan ekstasi. Ini
sunggung mengkhawatirkan.
Selain fakta dekandensi moral di atas, isu radikalisme juga telah menjangkiti
pelajar. Pengaruh kaum Islam puritan telah masuk melalui lembaga-lembaga
pendidikan dan sekolah-sekolah. Namun sangat disayangkan, sebagian masyarakat
atau orang tua di Indonesia menanggapi beberapa kasus yang berbau
radikalisme-ekstrimisme agama yang masuk kategori akar dari terorisme ini
dengan cukup apatis. Tindakan terorisme selama ini kerap dikait-kaitkan dengan
fenomena politik negara. Entah itu tudingan pengalihan isu atau unsur
kesengajaan yang dibuat-buat penguasa. Kalau memang itu benar, sungguh tidak
berprikemanusiaan. Padahal berdasarkan kajian yang dilakukan Setara Institute
dan The Wahid Institute, juga Fahmina Institute menyebut bahwa Indonesia
merupakan negara yang rawan dengan tindakan kekerasan dengan mengatasnamakan
agama. Fakta mengejutkan, para pelaku teror rata-rata masih berusia muda atau
usia pelajar.
Bukti bahwa pelajar sangat rentan menjadi pelaku teror adalah data dari
Setara Institute bahwa satu dari 14 siswa di Jakarta dan Bandung setuju atas
keberadaan Islamic State (IS). Sebelumnya, riset MAARIF Institute pada 2011
tentang pemetaan problem radikalisme di SMU negeri di empat daerah (Pandeglang,
Cianjur, Yogyakarta, dan Solo), yang mengambil data dari 50 sekolah,
mengkonfirmasi fenomena tersebut. Menurut riset ini, sekolah menjadi ruang yang
terbuka bagi diseminasi paham apa saja. Karena pihak sekolah terlalu terbuka,
kelompok radikalisme keagamaan memanfaatkan ruang terbuka ini untuk masuk
secara aktif mengkampanyekan pahamnya dan memperluas jaringannya.
Kelompok-kelompok keagamaan yang masuk mulai dari yang ekstrem menghujat
terhadap negara dan ajakan untuk mendirikan negara Islam, hingga kelompok
islamis yang ingin memperjuangkan penegakan syariat Islam (Jurnal Maarif, Vol.
8. No. 1, Juli 2013).
Coba kita lihat data dari Fahmina Institute, untuk wilayah Ciayumajakuning
(Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan), merilis dalam kurun waktu tahun
2012-2015 ditemukan 33 tindakan pelanggaran dan kekerasan dengan
mengatasnamakan agama. Belum lagi data dari penelitian yang dilakukan aktivis
sosial keagamaan Farcha Ciciek di tujuh kota (Jember, Padang, Jakarta,
Pandeglang, Cianjur, Cilacap dan Yogyakarta) menyajikan tren serupa. Para
siswa ternyata kurang toleran dengan perbedaan dan cenderung mendukung ideologi
kekerasan. Disebutkan, 13 persen siswa di tujuh kota itu mendukung gerakan
radikal dan 14 persen setuju dengan aksi terorisme Imam Samudra.
Kenapa bisa terjadi?
Beberapa pelaku terorisme yang berhasil ditangkap aparat merupakan pelajar
di bangku sekolah umum. Kasus-kasus tersebut jelas dipengaruh oleh oknum guru
dan organisasi-organisasi pelajar di sekolah yang mengajak pada perilaku
intoleran berbau radikalis mengarah pada terorisme, yang seolah dibiarkan
begitu saja menjajakan pengaruhnya. Temuan tersebut cukup mengkhawatirkan.
Pasalnya, bangsa Indonesia yang majemuk dan hidup dalam naungan Pancasila dan
UUD 1945 menyisakan persoalan pelik seperti itu.
Berbekal dari catatan-catatan tersebut di atas motif dari tindakan-tindakan
kekerasan memang berasal dari perbedaan paham di internal umat beragama,
khususnya umat Islam. Perbedaan terkait praktek ibadah, praktek bernegara, dan
aqidah. Kita masih sering mendengar bahwa Pancasila dan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) merupakan “thagut”/setan, sehingga sistem negara mesti
berdasarkan khilafah Islamiyyah. Hukum positif di negara kita mesti dirubah
dengan penerapan syari’at Islam. Jika tidak demikian maka negara tersebut
beserta penduduknya menjadi kafir. Jika kafir maka halal darahnya. Pernyataan
demikianlah yang sering ISIS propagandakan. Yang kemudian dijadikan dalil atas
keharusan untuk melakukan tindakan teror dan kekerasan di negara tersebut
termasuk Indonesia. Fenomena kekerasan atas nama agama inilah sering kali
dikenal dengan sebutan radikalisme agama. Abdul Moqsit Ghazali malah mengatakan
bahwa Radikalisme agama adalah akar dari terorisme. Fenomena radikalisme agama
ini dapat terlihat dari tindakan-tindakan anarkis yang mengatasnamakan agama
dari suatu kelompok terhadap kelompok lain yang berbeda keyakinan dan pemahaman
dengan kelompok tersebut. Padahal menjaga nyawa manusia (hifdz al-Nafs)
merupakan bagian penting dari tujuan universal syari’at Islam (maqashid
al-Syari’ah) selain merawat agama (hifdz al-Din), merawat akal (hifdz al-‘Aql),
merawat keturunan (hifdz al-Nasl), merawat harta (hifdz al-Mal), kebebasan
(al-Hurriyah), dan kesetaraan (al-Musawa).
Persoalan tersebut sudah saatnya menjadi agenda IPNU hari ini. Kita harus
segera menyingsingkan lengan baju dan mencurahkan segala kekuatan untuk
berkontribusi secara nyata dalam mengurai persoalan kenakalan pelajar dari
mulai tawuran, sex bebas, penggunaan narkoba, dan tentunya radikalisme yang
tumbuh dalam tubuh pelajar.
Dekadensi moral dan radikalisme merupakan tantangan terbesar IPNU hari ini
dan ke depan. Maka dari itu, IPNU sebagai organisasi pelajar dibawah naungan NU
selalu berkomitmen terhadap bangunan dasar empat pilar kebangsaan (Pancasila,
UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika), yang bertujuan membangun pelajar yang
berwawasan kebangsaan. Juga tetap komitmen dalam menjaga nilai-nilai
Ahlussunnah wal jama’ah seperti toleran, moderat, dan bersikap adil. Sebagai
bagian integral dari generasi muda Indonesia, IPNU mempunyai tanggung jawab
yang besar dalam membantu mengatasi permasalahan bangsa, khususnya di kalangan
pelajar.
Betul bahwa IPNU merupakan organisasi pelajar yang tentunya mengedepankan
moral dan organisasi pelajar yang paling toleran jika kita melihat induk
organisasinya yaitu NU. Namun demikian, gejala dan fakta dekadensi moral dan
penetrasi radikalisme kini telah menjangkiti institusi pendidikan (sekolah,
“pesantren”, dan lembaga pendidikan lainnya) di mana seharusnya IPNU berada di
dalamnya. Riset Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) yang dipublikasi
empat tahun lalu sungguh mengkhawatirkan. Pandangan intoleransi menguat di
lingkungan guru Pendidikan Agama Islam (PAI) dan pelajar. Ini dibuktikan dengan
dukungan mereka terhadap tindakan pelaku pengrusakan dan penyegelan rumah
ibadah (guru 24,5%, siswa 41,1 %); pengrusakan rumah atau fasilitas anggota
keagamaan yang dituding sesat (guru 22,7%, siswa 51,3 %); pengrusakan tempat
hiburan malam (guru 28,1%, siswa 58,0 %); atau pembelaan dengan senjata
terhadap umat Islam dari ancaman agama lain (guru 32,4%, siswa 43,3 %).
Mengkhawatirkan bukan? Karenanya seantisipatif mungkin upaya dalam
menyingkirkan radikalisme harus intens digalakkan.
Bagaimana peran IPNU?
Dalam hemat penulis, Pertama, gerakan-gerakan dan kegiatan-kegiatan IPNU
harus tetap konsisten dalam upaya membendung pelajar untuk ikut tawuran dan
menggunakan narkoba juga membendung arus pemahaman radikalisme agama di
kalangan pelajar. Implementasinya dengan membentuk komisariat-komisariat di
setiap sekolah, dan melakukan pendampingan-pendampingan terhadap pelajar yang
masih rentan terhadap tawuran antar pelajar dan penggunaan narkoba. Menanamkan
dan menjaga sikap toleransi pada pelajar merupakan hal sangat penting
digalakkan IPNU. Dengan adanya toleransi ini pastinya akan tercipta kehidupan
yang damai dan harmonis tanpa adanya rasa permusuhan dan prasangka buruk. Islam
sendiri sudah toleran sejak lahir. Islam berarti kepasrahan, kedamaian, dan
keselamatan. Apalagi umatnya, mesti bersikap toleran sejak dalam pikiran
apalagi perbuatan. Dengan demikian peran IPNU dalam menjaga moral dan
toleransi pelajar terus tumbuh dan meningkat.
Kedua, selain penguatan internal, IPNU juga perlu mendorong sekolah dan
pemerintah untuk tegas dalam menindak dan menolak segala bentuk tindakan dan
ajaran yang merugikan pelajar. Sudah saatnya IPNU mendorong sekolah-sekolah
untuk melakukan proteksi dalam merekrut guru, khususnya guru Pendidikan Agama
Islam (PAI). Karena radikalisme di kalangan pelajar tentu muncul dari oknum
guru yang mengajarkannya. Sehingga hanya karena satu atau dua orang oknum,
dapat mengakibatkan dan merubah paradigma sekolah tersebut. Dalam pada itu,
pihak sekolah harus protektif dalam menjaga proses pendidikan yang berlangsung.
Tinjauan secara terus menerus terhadap kurikulum, tenaga pengajar berikut
staf-stafnya, dan umumnya seluruh civitas sekolah harus tetap dilakukan, guna
menghindari merembesnya gejala-gejala radikalisme. IPNU juga harus selalu
mendorong ketegasan pemerintah. Dalam kapasitasnya sebagai pemegang kebijakan,
pemerintah dalam hal ini harus dapat berperan aktif. Pemerintah, dalam hal ini,
agar tidak segan-segan untuk menindak tegas sekolah-sekolah (atau lembaga
pendidikan lainnya) yang berpotensi radikalis. Terutama menindak tegas sekolah
anti-Pancasila, UUD 1945 dan NKRI. Dengan demikian, melalui Kemendiknas dan
Kemenag, Pemerintah harus mengintervensi sekolah-sekolah (terutama swasta) yang
anti-Pancasila, UUD 1955, dan NKRI untuk wajib memasukkan mata pelajaran
kewarganegaraan atau pendidikan pancasila.
Seiring berjalannya waktu IPNU terus tumbuh dewasa, terbukti jika sekarang
usianya mencapai 62 tahun. Jerih payah alm. Prof. Dr. KH. Tolchah Mansoer, SH
dalam membangun dan mengembangkan IPNU harus semakin diperkokoh keberadaannya.
Bukan hanya sebagai wujud terimakasih kepada pendirinya, lebih dari itu IPNU
dengan visinya dalam membangun pelajar yang mana cara berpikir, bersikap, dan
bertindaknya merupakan implementasi dari nilai-nilai Islam Rahmatan Lil’alamin,
Pancasila, dan Bhineka Tunggal Ika.
Oleh karena itu IPNU harus semakin teguh dalam menjaga nilai-nilai Islam
Nusantara yang ramah dan santun, dengan cara menyemai dan membingkai para
pelajar yang bermoral, berkarakter, toleran, dan cinta damai di semua lembaga
pendidikan; sekolah, maupun pesantren. Wallahu A’lam Bisshowabi.
** Tulisan pernah dimuat dalam http://www.ipnu.or.id/peran-ipnu-dalam-menjaga-moral-dan-toleransi-pelajar/
(Kamis, 18 Agustus 2016)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar