Oleh:
Uub Ayub Al Ansori
Tepat tanggal 10
Ramadan 14 abad silam, Rasulullah Muhammad SAW beserta para sahabatnya memasuki
Makkah dengan tanpa darah menetes sedikit pun. Meskipun di pihak kafir Quraisy
sangat ketakutan akan terjadinya konflik berdarah.
Kekhawatiran
mereka cukup beralasan. Bagaimanapun, menurut Husain Haikal dalam bukunya
“Sejarah Hidup Muhammad”, Makkah dikepung melalui empat penjuru yang terdiri
dari arah bawah lembah dipimpin Khalid bin Walid, arah atas bukit Kada’ dan Al
Hajun dipimpin Zubair bin Awwam, arah tengah lembah dipimpin Abu Ubaidah Al
Jarrah, dan dari arah barat dipimpin Sa’ad bin Ubadah.
Alasan lainnya
adalah tradisi perang di Arab. Di mana semua laki-laki akan dieksekusi mati; perempuan
dan anak-anak akan dijadikan budak. Mengingat persitiwa ini kait-kelindan
dengan dikhianatinya perjanjian Hudaibiyah oleh kafir Quraisy yang merugikan
Nabi dan para sahabatnya. Maka wajar Nabi melakukan pembalasan dengan menyerang
Makkah.
Namun kekhawatiran-kekhawatiran
itu dijawab lain oleh Nabi dan para sahabatnya. Alih-alih balas dendam, Nabi
malah memilih jalan kasih sayang, Jalan perdamaian. Meski Makkah sudah dikepung
dari berbagai arah, sedikitpun Nabi tidak menginstruksikan menyerang apalagi
membunuh. Nabi lebih memilih berunding daripada pertumpahan darah.
Setelah
berunding dengan Abu Sufyan, salah seorang pemimpin Quraisy, Nabi mengatakan
siapa saja yang memasuki pekarangan Ka’bah, ia aman. Siapa saja yang masuk ke
rumahnya sendiri dan menutup pintu, ia aman. Bahkan untuk menghormati Abu
Sufyan sebagai pemimpin Quraisy, Nabi menambahkan, siapa saja yang memasuki
rumah Abu Sufyan, maka ia aman.
Setelah itu,
Nabi memimpin pasukannya dan meminta para pemimpin pasukan dari empat penjuru
menyatakan “Al Yaumu Al Marhamah (Hari ini adalah Hari Kasih Sayang)”.
Namun Sa’ad bin ‘Ubadah, salah seorang pemimpin pasukan, berteriak “Al Yaumu
Al Malhamah (Hari ini adalah Hari Pertumpahan Darah)”. Sontak semua kaget
dan merasa ketakutan terutama kaum kafir Quraisy.
Menurut Prof KH
Nasaruddin Umar, saat itu Abu Sufyan melakukan protes. Namun Nabi segera
menjawab, “Tidak begitu maksudnya. Sahabat itu cadel. Tidak bisa menyebut huruf
“ra”, sehingga dibaca “lam”.
Sedangkan
menurut Husain Haikal, saat itu Nabi langsung menegur Sa’ad bin Ubadah dan
mengambil bendera pasukan dari tangan Sa’ad. Kemudian diserahkan kepada Qais
–anaknya Sa’ad- yang pembawaannya lebih tenang daripada ayahnya.
Dalam suasana
khidmatnya bulan Ramadan, Nabi memasuki Makkah beserta para sahabatnya menuju
K’bah. Kemudian melakukan thawaf.
Bilal bin Rabbah
yang ikut bersama rombongan lantas melantunkan Adzan yang begitu merdu. Meski
saat itu Bilal sempat di-bully karena ia berkulit hitam dan seorang
budak. Namun Nabi tidak membiarkan rasisme terjadi di antara umatnya.
Lantas Nabi berkhutbah di hadapan para sahabat dan sebagaian masyarakat Makkah
yang memasuki pekarang Ka’bah –sekarang Masjidil Haram-. Khutbah yang penuh
dengan cinta kasih, tanpa hoax apalagi ujaran kebencian. Khutbah yang menentramkan
semua jiwa yang mendengarkannya.
“Hai manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan, serta menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya
kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian
di sisi Allah ialah orang yang paling takwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Mengenal”.
Ayat 13 surat Al
Hujurat di atas menjadi pembuka khutbah Nabi sebagai jawaban atas ejekan kepada
Bilal. “Ayat modern” –meminjam istilah Prof Nadirsyah Hosen- ini telah jauh
mendahului teori-teori social dan teori-teori psikologi kalangan ilmuwan dan
filsuf abad modern.
Masih dalam
khutbahnya, Nabi memberikan amnesty kepada seluruh penduduk Makkah.
Tanpa memandang agama, suku, dan status sosialnya.
“Fad-habuu,
wa antum thulaquu (Pergilah, sesungguhnya kalian telah bebas)” ujar Nabi.
Peristiwa
bersejarah ini dikenal dengan Fathu Makkah atau Pembebasan Makkah. Fathu Makkah
menjadi saksi penyelesaian konflik paling manusiawi. Nabi tidak memaksakan
ajaran agama kepada masyarakat Makkah. Tidak ada pembunuhan. Beliau justru
menawarkan jalan damai. Perdamaian dijunjung tinggi. Dendam dibalas kasih sayang.
Bahkan pembesar Quraisy pun mendapat pemaafan dari Nabi.
“Muhammad sangat
mengedepankan prinsip mencegah tindak kekerasan di antara umat, karena Islam
yang berarti berserah di hadapan Tuhan diambil dari kata Salam yang
memiliki arti perdamaian,” ungkap Karen Armstrong saat menggambarkan peristiwa
Fathu Makkah dalam bukunya “Muhammad Sang Nabi”.
Fathu Makkah
menjadi rekonsiliasi paling fenomenal yang melahirkan keutuhan dan kedamaian.
Dunia mengetahui dan menyaksikan kearifan dari seorang Nabi Muhammad SAW.
Kita harus
berkaca pada Fathu Makkah. Sebagai muslim yang mayoritas di Indonesia dengan
beragam akan suku, agama, ras, dan budaya mestilah meneladani sifat dan sikap
Nabi. Segala persoalan yang berhubungan dengan SARA tidak lantas kemudian
menjadi konflik yang berkepanjangan. Sudah saatnya kita saling memahami satu
sama lain. Sisi kemanusiaan harus dikedepankan. Perbedaan tidak lantas menjadi
persaingan dan permusuhan. Perbedaan justru harus menjadi kekuatan. Kekuatan
untuk melawan segala bentuk terror dan ancaman. Dengan demikian akan menjadi
sebuah kekuatan bagi Indonesia yang damai penuh kasih sayang. Wallhu A’lam
Bisshowabi.
Majalengka, 4
Juni 2017
** Tulisan
pernah dimuat dalam kolom “Tausiyah Ramadan” Radar Cirebon hal. 1 (19) Edisi
Senin, 5 Juni 2017.