Catatan: Uub Ayub Al Ansori
HARI Raya Idul Fitri 1 Syawal, di Indonesia identik dengan Lebaran. Lebaran
memiliki makna yang sangat membekas bagi kaum muslimin. Setelah selama sebulan
penuh berpuasa, menahan diri dari segala bentuk godaan, baik rasa haus dan
lapar, maupun hawa nafsu yang melahirkan egoisme, dendam, sombong, dan segala
bentuk yang merendahkan nilai puasa.
Saat kelas 3 SMP, oleh Pak Syarif, guru Bahasa Indonesia, penulis dikenalkan
dengan puisinya Sitor Situmorang yang berjudul Malam Lebaran. Baitnya
hanya sebaris: Bulan di Atas Kuburan. Cuma itu. Tapi gara-gara puisi
sebaris, 2 jam pelajaran habis.
“Coba apa maksud puisi tersebut?” tantang Pak Syarif waktu itu. Lantas saja
seisi kelas berpikir keras. Lah wong puisinya cuma sebaris, apa yang
mau dijelaskan. Iseng-iseng penulis coba menafsirkan bahwa maksud puisi
tersebut, saat Lebaran kita kembali suci seperti cahaya bulan dari segala dosa
kelam yang diibaratkan gelapnya kuburan di malam hari.
Beda lagi dengan Chairul Anwar, teman penulis, menafsirkan bahwa saat
Lebaran tidak jarang kita hidup bermewah-mewahan pakai baju baru dan makan
enak, padahal masih ada saudara yang terlampau miskin dan kelaparan. “Itulah
gambaran bulan di atas kuburan. Kita seolah berdiri di atas kesengsaraan orang
lain” simpul Chairul kritis.
Ada lagi yang menafsirkan bahwa kata bulan dalam puisi tersebut menggambarkan
seorang ibu yang selalu memberikan kasih sayang. Sedangkan kuburan artinya ibu
yang menyayangi kita sudah meninggal. Pada saat Lebaran, kita rindu ibu yang
sudah meninggal seperti digambarkan dengan kuburan. Saat Lebaran kita berharap
kehadiran sosok ibu, namun tidak mungkin ia sudah meninggal. Semua digambarkan
dalam puisi tersebut, di mana tidak mungkin muncul bulan karena malam Lebaran
tidak akan terlihat.
Puisi memang diciptakan untuk ditafsirkan oleh siapapun yang menghayatinya.
Pencipta puisi sekalipun tidak berhak menghakimi tafsiran orang atas puisi yang
ia ciptakan.
Di luar puisi dan segala tafsirannya itu, realitasnya, tak jarang pula
karena alasan rindu kampung halaman dan sekadar untuk saling memaafkan dengan
tetangga di kampung, yang dari perantauan sengaja pulang kampung saat Lebaran.
Mudik, kata orang Indonesia.
Lebaran dan mudik sudah menjadi sebuah fenomena di Indonesia. Namun fenomena
ini bukan sebatas gejala antropologis, tapi sudah menjadi semacam simbolisme
fitrawi tentang bagaimana manusia mengalami gerakan kembali ke asal.
Kalau anak selalu ingin cari ibunya, kata Sigmund Freud, psikolog asal
Jerman yang terkenal dengan psikoanalisis-nya, maka orang selalu ingin kembali
ke kampung, merindukan kampung. Secara spiritual dorongan kembali ke asal itu
berarti kembali kepada Allah. Sebab asal dari seluruh muasal adalah Allah. Inna
lillaahi wa inna ilaihi rojiun, begitu bunyi kalam-Nya.
Maka, karena kerinduan kampung halaman, saat Lebaran kita kembali bertemu
dengan sanak famili. Saling bersilaturahmi, memaafkan, dan tidak lupa mengingat
kembali karuhun yang sudah mendahului dengan menziarahinya.
Mendoakannya agar selamat di akhirat dan berdoa kepada Allah agar kita pun
selamat.
Barangkali istilah Lebaran muncul menandai akhirnya bulan Ramadan dan
mengawali datangnya Syawal yang memiliki keterkaitan dengan istilah Idul Fitri.
Hari kembali ke fitrah atau asal. Bebas dari segala dosa atau lebur-lebar.
Lebur-lebar dari segala dosa. Maka pantas saat Lebaran kita saling memohon maaf
satu sama lain.
Saling memaafkan tentu tidak harus saat Lebaran. Bahkan harus setiap saat.
Namun terasa tidak afdhol bila saat merayakan Idul Fitri tidak saling
memaafkan. Maka jangan heran dan bosan untuk meminta maaf, serta menerima dan
membalas ucapan maaf saat Lebaran.
Namun demikian, kadang “maaf” tidak pernah bisa dipisahkan dari ingatan akan
kesalahan. Pertanyaannya, mungkinkah ingatan bisa kekal? Atau “maaf” tidak
pernah bisa dipisahkan dari penyesalan. Tetapi, mungkinkah ada maaf tanpa
syarat?
Saat Lebaran Idul Fitri semua menemukan jawabannya. Maaf yang tidak perlu
memaksa si peminta maaf mengingat kesalahannya. Maaf yang tidak perlu disertai
syarat penyesalan terlebih dahulu. Maaf yang keluar dari kesadaran si peminta
dan si pemberi. Saling memaafkan tanpa harus mengingat kesalahan masing-masing.
Maaf dan memaafkan tanpa harus adanya penyesalan terlebih dahulu. Sehingga maaf
dan memaafkan menjadi bagian dari proses bersama dimana manusia hidup dengan
cinta.
Mudah-mudahan dengan saling memaafkan dosa-dosa akibat kesalahan kita
menjadi lebur. Menjadikan lebarnya pintu maaf. Tentunya menjadikan mudik yang
penuh rindu dan rasa ingin bertemu keluarga menjadi lebih bermanfaat dan penuh
cinta. Meski kata Ibnu Arabi bahwa cinta tak punya definisi, tapi minimalnya
dengan saling memaafkan dan rindu akan shilaturahmi, maka ia tidak harus
dibayar dengan ingatan akan kesalahan dan tidak pula perlu ada syarat.
Akhirnya, Selamat Lebaran Idul Fitri. Mari kita sama-sama saling
memaafkan atas segala khilaf dan dosa. Saling bersilaturahmi, bersilaturindu,
bersilaturasa, dan bersilatucinta. Wallahu a’lam bisshowab. (*)
** Tulisan pernah dimuat dalam http://cirebonplus.com/berita/lebaran-memaafkan-dan-dimaafkan-yang-tanpa-paksaan/
(30 Juni 2017) dengan judul Lebaran, Memaafkan dan Dimaafkan yang Tanpa Paksaan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar