Oleh: Uub Ayub Al Ansori
Bulan Ramadan telah tiba. Bulan dimana segenap orang Islam
bersuka-cita di dalam melaksanakan kewajiban agama yaitu puasa. Besar-kecil,
tua-muda, laki-laki dan perempuan, semuanya larut di dalam suasana religious
yang tercipta ketika bulan sabit/hilal muncul menandai permulaan Ramadan atau
ketika Bapak Menteri Agama mengumumkannya. Umat Islam di seluruh penjuru dunia
menyongsong Ramadan dengan penuh bahagia dalam suasana takzim.
Lepas dari kontroversi soal penentuan awal Ramadan, sebagai santri,
penulis taklid saja kepada Syekh Salim bin Sumair Al Hadrami mushonif kitab
Safinatun Najah. Saat kecil, kita, mungkin pernah mengaji kitab Safinah, dimana
terdapat pembahasan Puasa dengan Bab tersendiri. Sedikit penulis kutip, “Faslun.
Yajibu Shaumu Ramadana Bi-Ahadi Umuri Khomsatin. Ahaduha Bi-Kamali Sya’bana
Tsalatsina Yauman. Wa Tsaniha Bi-Ru’yati Al Hilali Fi Haqqi Man Ro-ahu Wa In
Kana Fasiqon. Wa Tsalitsuha Bi-Tsubutihi Bi Haqqi Man Lam Yarohu Bi “Adli
Syahadatin…. Dst,”.
Kurang lebih maknanya begini, “Pasal (kata ini kalau ditarkib
panjang-red). Diwajibkannya Puasa Ramadan dengan salah satu sebab yang lima.
Pertama, sempurnanya bulan Sya’ban yaitu tiga puluh hari. Kedua, melihat
bulan/hilal bagi seseorang yang benar-benar melihatnya, meski ia orang fasik.
Ketiga, melihat hilal dapat ditetapkan bagi orang yang tidak melihat hilal
dengan sebab adanya persaksian orang adil dan dapat dipercaya bahwa ia melihat
hilal… dst.
Jadi kalau salah satu sebabnya sudah mencukupi maka kita sudah
diwajibkan puasa pada saat itu juga. Di Indonesia, sebagai warga Negara yang
baik mesti manut pada pemerintah yang dianggap adil dalam menentukan Bulan
Ramadan lewat rukyatul hilal di seluruh penjuru Indonesia melalui tim rukyat
dan hisab Kemenag.
Jika Menteri Agama sudah mengumumkan di televise secara live bahwa
hasil sidang itsbat menyatakan hilal tampak, maka kita berbondong-bondong ke
Masjid atau Tajug untuk berjama’ah Tarweh. Lantas paginya kita sahur bersama
keluarga. Sungguh saat itu kita benar-benar telah memasuki bulan puasa.
Puasa Sarana Pendidikan Jasmani dan Rohani
Puasa merupakan perintah Allah untuk kita lakanakan, sebagaimana
yang juga dilaksanakan umat-umat Islam terdahulu sebelum Nabi Muhammad mendapat
risalah kenabian. Tujuannya agar manusia bertakwa kepada Allah. Menjadi orang
saleh secara personal dan social. Kesalehan personal lebih pada ibadah yang
bersifat ritual seperti shalat, sedangkan kesalehan social dicirikan
denganrelasi kasih saying kepada orang lain.
Selama Ramadan kita melaksanakan puasa dari mulai waktu imsak
hingga Maghrib.ketika itu kita diharuskan menahan lapar dan haus dengan tidak
makan dan minum. Dengan puaa kita lebih merasakan arti seteguk air. Dengan
puasa kita menjadi tahu manfaat sepiring nasi bagi perut yang lapar. Dengan
puasa kita dapat merasakan bagaimana haus dan laparnya si miskin setiap
harinya. Dengan puasa juga kita menjadi mengerti arti dari kesabaran, menahan
nafsu, dan menahan rasa ego.
Prof. KH Said Aqil Siradj memberikan wejangan kepada kita bahwa
puasa tidak hanya berurusan dengan kenyang dan lapar. Jika ditelusuri lebih
jauh, tulis Kiai Said, kata sha-wa-ma yang berarti menahan juga merujuk
pada aktivitas batiniah. Artinya, puasa juga menahan hati dari berbagai hal
negative yang bisa merusak jiwa seperti iri, dengki, riya, sombong, ujub, dan
penyakit hati lainnya. Karena itu, dalam puasa, seorang Muslim dilatih untuk
menyinergikan antara dua eksistensi yang berbeda, yaitu jasmaniah dan rohaniah.
Sebab, di dalam rohani kita terdapat ide-ide kebaikan yang nanti diejawantahkan
oleh jasmani dengan sikap hidup keseharian.
Sementara itu, Cak Nur –sapaan Nurcholis Madjid- dalam bukunya
Dialog Ramadan menulis begini “Ibadah puasa merupakan bagian dari pembentuk
jiwa keagamaan seorang Muslim, dan menjadi sarana pendidikannya di waktu kecil
dan seumur hidup”.
Betapa tidak, saat kecil, kita tidak mau ketinggalan di hamper
seluruh kegiatan Ramdan, dari acara sahur sampai berbuka puasa. Lebih-lebih di
saat tarawih. Kita merasa senang bias berkumpul dengan teman-teman di Masjid
atau Tajug. Tarawih bersama sambil “mengganggu” satu sama lain, saling senggol
kanan-kiri, bisik sana-bisik sini. Para orang tua ada yang memahami tingkah
kita waktu itu, tapi ada juga yang tidak tahan untuk tidak membentak atau
menghardik. Biasanya kita tidak peduli alias bodo amat. Kalaupun terpaksa, kita
akan pindah ke pelataran di luar Masjid/Tajug. Dan ini berarti “ancaman” bahwa
salat tarawih akan mulai sepi dari teriakan ‘Aamiin” dari kita sebagai
anak-anak, yang diakui atau tidak teriakan ini ikut “menyemangati” suasana
salat tarawih yang panjang sebanyak 20 rakaat atau 8 rakaat plus witir 3.
Lalu diakui atau tidak justru kita –sebagai anak-anak- lah yang
meramaikan masjid/tajug sebulan penuhy. Lihat saja para jama’ah saat tarwih
hari ketujuh mulai menghilang satu persatu. Mang Jaja sudah tidak kelihatan
lagi –mungkin sedang mengejar target bekerja sampai malam untuk persiapan
lebaran, sehingga tidak sempat salat berjama’ah. Pak Eme dan Abah Udin sudah
tidak tampak –mungkin mereka lelah karena sudah tua. Yang masih tetap eksis ya
anak-anak yang suka bikin rebut, yang karena keributannya itu masjid/tajug
menjadi tetap “hidup”.
Pada akhirnya bulan puasa menjadi penuh hikmah bagi kita umat
Islam. Sebagai Muslim, kita tanpa perlu dipaksa-paksa biasanya muncul sendiri
kesadarannya bahwa sebagai manusia beragama kita punya kewajiban-kewajiban yang
harus ditunaikan, baik kepada Allah maupun sesama manusia. Saat puasa, yang
malas shalat, misalnya barangkali agak mikir-mikir, sehingga rajin shalat. Kita
pasti pernah mendengar “tidak ada gunanya puasa kalau tidak shalat” atau “puasa
tanpa shalat pahalanya tidak dapat”. Saat bulan puasa juga kita merasakan
berbagi dengan si miskin melalui zakat. Padahal member si miskin bias kita
lakukan setiap hari melalui sedekah. Kita juga semakin rajin membaca ayat suci
Al-Qur’an. Lembar demi lembar, one day one juz, Al Qur’an kit abaca
hingga khatam dalam sebulan. Padahal pada bulan-bulan lainnya, Al Qur’an hanya
menjadi pajangan di lemari.
Mudah-mudahan puasa tahun ini lebih berkah dari tahun-tahun yang
lalu. Lebih giat dan semangat. Pastinya puasa kita memberikan dampak yang baik
bagi jasmani dan rohani kita. Sehingga kita benar-benar mendapatkan apa yang
kanjeng Nabi Muhammad sebut sebagai “Farhataani”, yaitu farhatun ‘inda
fitrih, wa farhatun ‘inda liqoi’ robbih. Amin. Wallhu A’lam Bisshowabi.
Majalengka, 26 Mei 2017
** Tulisan pernah dimuat dalam kolom Opini HU Kabar Cirebon Hal. 12
edisi Senin 29 Mei 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar