Oleh: Uub
Ayub Al Ansori
Setiap bulan Ramadan
datang bukannya tenang dan khusuk, malah seringkali kita meributkan soal
menghormati dan tidaknya orang yang berpuasa. Begitupun sebaliknya untuk yang
tidak berpuasa. Apa pentingnya menghormati orang yang berpuasa? Apa pula
pentingnya menghormati orang yang tidak berpuasa?
Ternyata keharusan
menghormati puasa sudah ada sejak dulu. Sejak paruh 1919. Menghormati puasa
zaman pendudukan Belanda dan Jepang diwujudkan dalam bentuk meliburkan sekolah
selama bulan puasa. Alih-alih menghormati, ternyata Belanda dan Jepang ada
maunya.
Nagi Belanda,
berurusan dengan Islam sama saja berurusan dengan perdagangan dan perekonomian.
“Seyogyanya meenghormati pesantren-pesantren di Jawa, pada umumnya terletak di
tengah lautan kebun tebu, agar supaya santri Buntet di Cirebon atau Tebuireng
di Jombang tidak mengobrak-abrik pabriksambil menggulung kain sarung hingga
lutut. Gula, yang merupakan gabus tempat kerajaan Belanda mengapung, tidak boleh
terancam,” begitu tulis Mahbub Djunaidi dalam esainya yang berjudul “Bulan
Puasa Anak-anak Sekolah”.
Lain Belanda, lain
pula dengan Jepang. Saat pendudukan Jepang, menghormati muslim yang sedang
puasa, lebih pada motif kekuasaan secara politik agar tidak begitu banyak
konflik dengan Islam. “pura-pura bersungguh hati demi Asia Timur Raya.” tulis
mahbub jeli.
Kepura-puraan memang
merugikan. Maka pasca kemerdekaan, Mahbub, tidak ingin lagi libur puasa
dijadikan ajang seolah-olah menghormati yang sedang puasa. Ia mengingatkan,
“Karena itu, kamu harus belajar keras, tak terkecuali di bulan puasa. Satu hari
terlewat berarti rugi dua puluh lima tahun”.
Kepura-puraan dengan
dalih menghormati yang sedang puasa itu dijawab sudah oleh Gus Dur. Saat jadi
Presiden, beliau meliburkan sekolah selama Ramadan penuh. Tidak ada motif dan
tidak ada kepentingan. Apalagi dengan dali menghormati yang sedang puasa.
Dengan dalih menghormati orang yang sedang puasa tidak
jarang merugikan orang lain. Pemaksaan penutupan warung makan, pemaksaan tidak
boleh makan-minum di depan orang yang sedang puasa. Semua serba tidak boleh,
demi menghormati yang sedang puasa. Padahal meski ada yang makan-minum di depan
kita yang berpuasa, tidak menjadikan kita lantas ikut menikmati. Anggap saja
itu semua godaan bagi yang sedang puasa. Semakin banyak godaan dan kita tahan
akan godaan itu, maka iman kita dianggap kuat. Tahan godaan, iman kuat.
Nah, demi menghormati orang yang tidak puasa tidak
jarang kita juga terkadang –maaf- lebay. Alih-alih bersikap toleransi kita
diharuskan menghormati yang tidak berpuasa. Padahal yang tidak berpuasa pun
tidak menuntut untuk dihormati. Justru sebaliknya, yang tidak berpuasa merasa
perlu menghargai yang sedang puasa.
Contoh kecil jika memang harus saling menghormati.
Bukankah dengan menutup warung pakai tikar agar yang makan-minum tidak terlihat
oleh yang sedang puasa merupakan cara menghormati mereka kepada yang berpuasa.
Bukankah membiarkan warung buka measki harus pakai tirai agar orang-orang yang
tidak berpuasa bias menikmati makan-minum, juga merupakan cara menghormati
mereka yang puasa kepada yang tidak puasa.
Sebetulnya semua ini terjadi begitu saja, berdasarkan
kesadaran diri masing-masing, tanpa perlu dikomando, apalagi diajari dengan
ungkapan-ungkapan suci agama. Karena sebagai warga Indonesia yang baik dan ini
sudah menjadi watak dari sejak zaman nenek moyang bahwa kita diajarkan untuk
saling menghargai.
Puasa Hanya untuk Allah SWT
Kita pastilah ingat sebuah hadits qudsi yang
menyatakan bahwa puasa hanya milik Allah SWT.
“…… Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku dan Aku
sendiri yang akan membalasnya. Disebabkan dia (orang berpuasa) telah
meninggalkan syahwat dan makanannya karena-Ku …. (HR. Bukhori-Muslim).
Dapat kita pahami bahwa puasa merupakan ibadah khusus
antara manusia dengan Tuhannya. Yang pantas dihormati hanyalah Allah SWT karena
puasa milik-Nya. Dengan puasa seharusnya kita terhindar dari riya, ujub, dan
dengki/sombong. Namun alih-alih ingin dihormati terkadang kita merasa sombong.
Merasa bahwa diri kitalah yang paling benar dan harus dihormati lantaran sedang
menjalankan tugas suci puasa.
Kita seakan lupa bahwa puasa semestinya menghindarkan
diri dari hal-hal negative. Seperti hadits di atas bahwa puasa menghindarkan
kita dari syahwat. Syahwat dari merasa benar sendiri, merasa paling mulia, dan
merasa paling dimuliakan. Padahal hanya Allah yang tahu seberapa jauh kita
ikhlas berpuasa untuk-Nya. Karena itu hanya Allah lah yang pantas memuliakan
dan dimuliakan.
Saat puasa hanya Allah lah yang tahu mereka yang puasa
atau tidak. Kita juga tidak tahu seseorang tidak puasa bukan karena memang ia
tidak ingin puasa. Islam memberikan hak privilege bagi orang tertentu
untuk boleh tidak puasa, yaitu orang sakit, musafir –orang yang sedang dalam
perjalanan jauh-, anakanak, perempuan yang sedang menyusui atau hamil, dan
orang jompo. Tentunya dengan konsekuensi mengganti/qodo puasa di lain waktu
atau dengan membayar fidyah.
Hal ini, mestinya dipahami oleh kita para pemeluk
agama, apalagi ormas yang membawa symbol agama. Allah SWT menghendaki kemudahan
bagi umatnya, dan tidak menghendaki kesukaran. Karena puasa adalah milik-Nya,
maka tanpa kita melakukan sebentuk pemaksaan untuk menghormati yang sedang
puasa atau sebentuk rasa toleransi untuk menghormati yang tidak puasa, Allah
SWT Maha Mengetahui kita yang benar-benar menjalankan ibadah puasa karena-Nya.
Lantas masih perlukah menghormati itu dieksplisitkan?
Ah, rasa-rasanya tidak perlu.
“Jika saya harus menjawab, saya akan mengatakan: saya
takut dihormati,” tulis Goenawan Mohammad tempo hari dalam capingnya yang ia
beri judull “Puasa”.
Majalengka, 28 Mei 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar