Senin, 15 September 2014

Mendamba Pencerahan Politik di Tahun Politik

Mendamba Pencerahan Politik di Tahun Politik *
Oleh: Ayub Al Ansori *)

 Lima belas tahun reformasi sudah dilewati, bukan waktu yang singkat. Namun perubahan disemua lini kehidupan belum tercapai secara maksimal. Harapan-harapan yang disuarakan saat tumbangnya orde baru (orba) untuk reformasi negara kita, hanya sebatas awan di atas langit. Indah namun terhempas dan hanya merupakan gas-gas H2O yang keropos. Tidak tegak dan kokoh. Kita mesti sadar, saat ini Indonesia telah dan sedang melaju diatas rel babak baru. Babak baru reformasi. Adalah babak dimana bangsa dan negara ini untuk berbenah.
Kita tentu masih ingat manakala tahun-tahun belakangan Negara ini begitu pekat diliputi kabut kasus demi kasus yang hingga kini masih menyelimuti harapan besar kita. Tahun-tahun lalu yang muram dengan hebohnya bail out Century yang hingga kini belum tuntas, kasus mafia pajak dengan actor Gayus Tambunan, diiringi dengan kasus suap Artalyta Suryani, bahkan sebelum kasus diatas merebak kasus mafia hukum yang menelorkan semboyan “Cicak VS Buaya” memaksakan mata, telinga dan hati bangsa Indonesia gerah. Dan ironisnya pelaku kasus diatas tadi dengan tanpa rasa malu dapat menikmati hidupnya dengan memakai fasilitas Negara yang mewah. Kita ingat Artalyta bisa begitu tenangnya menikmati fasilitas mewah selama di sel tahanannya. Dan akhir tahun 2010 lalu masyarakat diberi hidangan dengan menu kasus Gayus Tambunan dan joki tahanan. Disusul kasus korupsi dengan aktor Nazaruddin, Andi Nurpati, dan Angelina Sondakh. Kita juga diingatkan tentang kasus pengadaaan Simulator SIM oleh POLRI. Dan lagi-lagi mencuat balasan dari POLRI dengan menuduh Novel Baswedan (penyidik kasus Simulator SIM dari KPK) melakukan kekerasan terhadap pencuri sarang walet. Lah, diawal tahu 2012 lalu kita dipanaskan dengan nyanyian Nazaruddin yang menyeret mantan Menpora, Andi Malarangeng dan mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum. Bahkan tahun lalu 2013 kita juga dibuat geram dengan Luthfi Hasan Ishak, eks Presiden PKS, dengan Ahmad Fatonah soal suap menyuap kuota impor daging sapi. Parahnya penegak hukum di negeri kita pun terseret korupsi, Akil Mukhtar, yang saat itu menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK). Hingga menyeret beberapa kepala daerah. Tidak hanya itu, ditingkat daerah pun kita menemukan bahwa para kepala daerah hingga anggota dewan pun tersangkut korupsi. Belum lagi korupsi di sector Pendidikan, Agama, Migas, Kesehatan, Energi, Infrasturktur dan Lingkungan Hidup. Jujur, saya tidak kuasa menulis lebih banyak kasus-kasus korupsi di negeri kita ini. Terlalu muram dan terlalu banyak. Namun jika saya harus menuliskan, sebut saja ada 158 kepala daerah tersangkut korupsi sepanjang 2004-2011, 42 anggota DPR RI terseret korupsi pada kurun waktu 2008-2011, 30 anggota DPR periode 1999-2004 terlibat kasus suap pemilihan DGS BI dan Kasus korupsi terjadi diberbagai lembaga seperti KPU, KY, KPPU, Ditjen Pajak, dan BI.
Kasus-kasus diatas memamerkan begitu bobroknya moralitas di Indonesia. Lalu apa yang salah? Dan apa yang harus di benahi di tahun 2014 ini untuk mencapai bangsa Indonesia yang bebas dari korupsi, Indonesia yang jujur? Sudahkan penegakkan hukum di negeri kita ini dijalankan? Ataukah kita sudah pesimis dan menyerah melihat 2014 adalah tahun politik. Tahun yang akan penuh dengan gesekan?
Jawaban dari pertanyaan diatas akan menjadi sebuah realita yang harus dihadapi dan sebuah solusi yang perlu direalisasikan bersama, antara pemerintah dan tentunya masyarakat, dalam upaya-upaya penegakkan hukum, moral dan karakter bangsa Indonesia.
Sebagai seorang mahasiswa fakultas pendidikan, menurut saya salah satu upayanya adalah dengan memaksimalkan system pendidikan di Negara kita. Pendidikan merupakan integritas sebuah bangsa, jadi perlu adanya upaya-upaya perjuangan dalam membentuk  sebuah system pendidikan yang nyata membentuk karakter bangsa. Karakter yang bermoral dan beretika. Aristoteles dengan lembut mengatakan, “Pendidikan intelektual tanpa dilandasi dengan pendidikan hati (moral dan karakter), sama artinya dengan tidak adanya pendidikan”. Begitu juga Theodore Roosevelt mengatakan: “To educate a person in mind and not in morals is to educate a menace to society” (Mendidik seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan aspek moral adalah ancaman mara-bahaya kepada masyarakat).
Dengan pendidikan hati inilah negara kita bermoral, berkarakter dan terbebas dari belenggu korupsi yang sudah di ujung tanduk dan akan menghempaskan Indonesia. Hakim akan menegakkan hukum bilamana hatinya dididik untuk jujur. Birokrat dan wakil rakyat akan memegang janjinya apabila intelektualitasnya diimbangi dengan kejujuran hati dan tanggung jawab. Suara hati merupakan suara kejujuran. Maka masyarakat perlu menanamkan karakter pada dirinya masing-masing sejak dini. Sejak sebelum menjadi hakim, sejak sebelum menjadi birokrat, sejak sebelum menjadi anggota dewan. Eksekusinya adalah setelah semuanya “menjadi”, maka terapkan apa yang kemudian kita sebut pendidikan hati nurani atau kejujuran itu sendiri. 
Kita tahu Pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan (UUSPN Bab II pasal 4). Dengan mengacu pada tujuan Pendidikan Nasional diatas perlunya mengkontruksi, menanamkan, mengembangkan dan memanivestasikan moralitas dalam sistem pendidikan di Indonesia. Dengan demikian adanya keseimbangan dalam porsi pendidikan yang bertumpu pada kecerdasan intelektual (IQ) dengan pendidikan yang bertumpu pada kecderdasan spiritual (SQ) dan kecerdasan emosional (EQ).
Kecerdasan spiritual dan kecerdasan emosional ini akan membangun sebuah karakter pada diri seseorang. Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya dan adat istiadat.
Bagi Indonesia saat ini, tidak akan ada masa depan yang lebih baik tanpa membangun dan menguatkan karakter bangsa Indonesia. Dengan kata lain, tidak ada masa depan yang lebih baik yang bisa diwujudkan tanpa kejujuran, tanpa meningkatkan disiplin diri, tanpa kegigihan, tanpa semangat belajar yang tinggi, tanpa mengembangkan rasa tanggung jawab, tanpa memupuk persatuan di tengah-tengah kebinekaan, tanpa semangat berkontribusi bagi kemajuan bersama, serta tanpa rasa percaya diri dan optimisme. Inilah tantangan kita sebagai bangsa Indonesia, sanggup?.
Namun demikian, semestinya kita masih punya harapan ke depan. Indonesia bebas dari korupsi. Berdasarkan tabulasi data penanganan korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2004 – 2013 per 30 September 2013 memperlihatkan sedikitnya telah dilakukan 509 penyelidikan, 334 penyidikan, 203 penuntutan, 228 kasus yang sudah inkracht atau berketetapan hukum dan 236 eksekusi. Tentu data ini menjadi harapan bagi bangsa kita untuk terus berjuang melawan korupsi di negeri ini. Setidaknya kita masih mendambakan bahwa Negara kita, Indonesia, bebas dari korupsi. Kita mesti yakin ada banyak orang di Indonesia yang masih peduli pada bangsanya. Peduli untuk berbenah atas bobroknya birokrasi. Mau berbenah dan mau menegakkan hukum. Jujur dan mau melawan korupsi. Semua itu mari kita mulai dari diri kita sendiri. Dengan harapan yang tentunya harus tetap optimis. Saat ini juga, demi Indonesia yang jujur dan bermartabat.
Pada akhirnya kita jangan sampai lupa bahwa Indonesia didirikan oleh para cendekiawan dan kaum terpelajar kelas satu –meminjam istilah Nurcholish Madjid- di zamannya. Untuk mengembangkan pengetahuan mereka tentang negara, yang pada ujungnya ingin memerdekakan bangsa ini dari belenggu penjajah, mereka bertukar pikiran atas bahan bacaan yang mereka peroleh. Dengan kejujuran dan ketinggian hati nuraninya, akhirnya mereka dapat menjadikan bangsa ini, dengan nama Republik Indonesia, merdeka. Moral bangsa pada akhirnya tidak lain ialah pandanagn keakhlakan yang merupakan konsistensi dan konsekuensi logis wacana para pendiri negara ini. Sehingga -meminjam istilah Gus Dur- tidak akan ada lagi showroom mobil termahal (mewah) saat ini di halaman gedung DPR, yang dipenuhi oleh mobil para anggotanya tanpa memedulikan nasib rakyatnya. Jangan sampai rakyat seperti kata Mahbub Djunaidi: bahwa nanti kita harus membayar pajak karena mengantuk, seolah-olah sebuah kenyataan yang hidup. Wallahua’lamu bil-showabi.

* Tulisan pernah dimuat di Rakyat Cirebon Jawa Pos Grup.
*) Adalah mahasiswa IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Aktif di PMII Cirebon dan PC. IPNU Kabupaten Cirebon.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Do'a

Adalah Engkau

Yang beri kekuatan

Sekaligus menghujamku

Dengan Qodo dan Qodar-Mu

Tuhan..............

Engkau ku percaya

Menjawab setiap do’a yang ku panjatkan

Ku menyanjung-Mu dengan butiran-butiran dzikirku

Kau tak goyah dengan Qodo-Mu

Ku merengek dengan untaian Wiridku

Kau terlampau tentukan Qadar-Mu

Ku serapi setiap lantunan ayat-ayat-Mu

Kau hanya beri aku harapan

Ku berontak dalam puji-puji doa’ku

Kau hanya menatapku dingin dengan ke-Maha Besaran-Mu

Ku menangis dan memaksamu dalam sujudku

Kau tertawa dengan segala ke-Maha Agungan-Mu

Apa mau-Mu Tuhan?

Aku yakin

Kau jawab “YA”, Kau beri yang aku minta

Kau jawab “TIDAK”, Kau akan berikan yang lebih baik

Kau jawab “TUNGGU” Kau akan beri yang terbaik

Untukku..........

Dengan keterbatasanku

Hanya satu, berikan padaku

“Ridhoilah aku sebagai Hamba-Mu yang terbatas

Wahai ALLAH, Tuhan yang Maha Tak Terbatas”