Senin, 15 September 2014

Munding Gus Dur

Munding Gus Dur
Oleh: Ayub Al Ansori *)

Lahir tahun 1991 di Kabupaten Majalengka, saya betul-betul tidak mengenal yang namanya Abdurrahman Wahid apalagi Abdurrahman Ad-Dakhil. Belakangan, saya tahu, keduanya merupakan nama lain dari Gus Dur.

Kenapa nama lain? Bukankah itu nama asli beliau? Karena telinga saya pertama kali mendengar  nama Gus Dur bukan yang lainnya. Hingga nama itu terngiang terus. Sampai suatu waktu, kalau tidak salah tahun 1999-an, ada tetangga, tepatnya teman bermain menyanyikan “lagu”, sebuah lagu yang saat ini mungkin bisa disebut black campaign.

Nyanyian itu berbunyi “PAN, Amin Rais. PKB, Gus Dur. Jangan Menangis di alam Kubur,”. Jujur, saat itu saya sangat marah. Saya sampai pukul teman saya yang menyanyikan lagu itu hingga menangis.

Satu alasan kenapa saya memukulnya, Gus Dur, saat itu adalah Presiden (lagi-lagi saya mengenal dan tahu bahwa presiden Indonesia waktu itu bernama Gus Dur bukan Abdurrahman Wahid). “Presiden kok kamu ece,” kata saya waktu itu.

Orang yang pertama kali mengenalkan nama Gus Dur adalah bapak saya. Saat itu tahun 1999, umur saya baru 8 tahun. Namun bapak saya waktu itu membawa beberapa lembar kertas ke rumah. Saat ini saya mengenalnya pamflet.

Kertas itu memuat foto seorang bapak-bapak yang sudah tua berkacamata dan berkopiah. Waktu itu muncul pertanyaan, “Pak, siapa orang ini?” tunjuk saya pada foto kertas yang dibawa bapak itu.

“Ini foto Gus Dur. Presiden kita nanti,” begitu jawab bapak saya. Itulah kali pertama saya mendengar nama Gus Dur si presiden.

Lantas keesokan harinya bapak saya menempel kertas-kertas itu di pintu garasi mobilnya. Banyak sekali. Lagi-lagi saya bertanya, “Kok di tempel di pintu garasi, Pak? Kan jadinya jelek pintunya,” kataku tak setuju. Namun bapakku menjawab dengan enteng, “Biar orang lain tahu. Gus Dur akan jadi Presiden.” Saya hanya diam melihat bapak menempelkan kertas satu per satu di pintu garasi mobilnya.

Namun, hari berikutnya. Pagi-pagi ketika hendak berangkat kerja bapak saya dikagetkan dengan keadaan pintu garasi mobilnya. Garasi mobilnya penuh dengan kotoran munding (kerbau dalam Sunda). Saya tahu ketika bapak mengambil ember dan mengajak saya untuk membersihkan garasinya, kebetulan saya sekolah masuk jam 10.00 pagi karena madrasah waktu itu kekurangan kelas sehingga satu kelas angkatan saya masuk agak lebih siang.

“Tuh kan, Pak, gara-gara kertas yang ditempel jadi banyak tai munding-nya,” kataku. Bapakku hanya jawab, “Hush, yang ngelemparin kotoran ini, mundingnya Gus Dur,” katanya sambil senyum.

Saya belum puas dengan jawabannya, “Emangnya siapa sih Gus Dur itu Pak?”

“Gus Dur itu yang akan jadi Presiden Indonesia. Beliau itu seorang ulama panutan dan disegani di Indonesia. Munding aja gak berani nyeruduk garasi mobil,” jawab Bapakku seadanya.

Mungkin bagi saya saat ini jawaban itu tidak begitu memuaskan, namun dulu jawaban tersebut cukup memuaskan. “Jadi, yang ngelempar kotoran di garasi ini mundingnya Gus Dur,” tambahnya lagi.

Belakangan, menginjak remaja, saya baru tahu yang bapak maksud dengan “munding” dan kenapa kotoran kerbau itu memenuhi pintu garasi mobilnya.

Tidak lama dari kejadian itu, saya diajak nonton pemilihan Presiden oleh bapak saya di salah satu stasiun televisi. Saya lihat di TV suasana di  dalam sebuah gedung yang luas sangat ramai. Dan sorotan kamera mangarah pada satu sosok yang saya ketahui melalui kertas yang Bapak dulu bawa.

“Itu kan orang yang ada di foto kertas yang bapak waktu itu bawa?” tanyaku.

“Iya. Beliau akan jadi Presiden,” jawab Bapakku.

Saat itu saya serius menonton karena yang namanya Gus Dur, yang sering disebut-sebut bapak saya, saat itu benar-benar ada di televisi.

“Yang Mulia Gus Dur,” saya dengar seorang pemandu suara mengatakannya.

“Alhamdulillah. Tuh kan Gus Dur jadi Presiden. Mundingnya malah kalah kan,” sorak Bapak saya pada waktu itu.

Saat itu saya sangat mengagumi sosok Gus Dur. Seorang tokoh besar yang Bapak kenalkan pada saya sejak kecil. Belakangan ketika nyantri di Pondok Kebon Jambu Al Islamy Babakan Ciwaringin Kabupaten Cirebon, saya tahu nama beliau adalah Abdurrahman Wahid Ad-Dakhil, Presiden ke-4 Republik Indonesia, Ketua Umum PBNU, tokoh kebhinekaan, tokoh anti-kekerasan, tokoh humanisme, dan seabrek julukan lainnya.
 [NUOL]

 

*) Santri Pondok Pesantren Kebon Jambu Al-Islamy, Babakan, Cirebon.
**) Tulisan pernah dimuat di www.nu.or.id dan www.cirebonpost.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Do'a

Adalah Engkau

Yang beri kekuatan

Sekaligus menghujamku

Dengan Qodo dan Qodar-Mu

Tuhan..............

Engkau ku percaya

Menjawab setiap do’a yang ku panjatkan

Ku menyanjung-Mu dengan butiran-butiran dzikirku

Kau tak goyah dengan Qodo-Mu

Ku merengek dengan untaian Wiridku

Kau terlampau tentukan Qadar-Mu

Ku serapi setiap lantunan ayat-ayat-Mu

Kau hanya beri aku harapan

Ku berontak dalam puji-puji doa’ku

Kau hanya menatapku dingin dengan ke-Maha Besaran-Mu

Ku menangis dan memaksamu dalam sujudku

Kau tertawa dengan segala ke-Maha Agungan-Mu

Apa mau-Mu Tuhan?

Aku yakin

Kau jawab “YA”, Kau beri yang aku minta

Kau jawab “TIDAK”, Kau akan berikan yang lebih baik

Kau jawab “TUNGGU” Kau akan beri yang terbaik

Untukku..........

Dengan keterbatasanku

Hanya satu, berikan padaku

“Ridhoilah aku sebagai Hamba-Mu yang terbatas

Wahai ALLAH, Tuhan yang Maha Tak Terbatas”