SEJARAH
PERGERAKAN
MAHASISWA ISLAM INDONESIA
Wacana sejarah diyakini sebagian ahli
sejarah sebagai sebuah konstruksi pemikiran yang merekam hampir seluruh
peristiwa yang pernah dialami manusia. Pasang surut perjalanan manusia, bangsa,
tokoh, mulai dari kejayaan sampai tenggelamnya, semua tercover oleh waktu ini.
Apa? Dan mengapa mesti ada sejarah? Signifikan apa yang bisa dipetik dari
sejarah?
Pendekatan ini yang selayaknya
dikedepankan. Karena seseorang tak akan pernah tertarik belajar sejarah jika
tak mengetahui makna penting apa yang terkandung dalam sejarah. Dengan
mengetahui kerangka inilah seseorang akan bergerak hatinya untuk mengetahui
sejarah. Sejarah, walaupun pada dasarnya sekedar cerita mempunyai dinamika yang
sangat dasyat. Setidaknya, inilah yang mengilhami ratusan ahli sejarah
mencurahkan tenaga, pikiran, daya dan dana untuk mengetahui misteri apa yang
terkandung dibalik sejarah.
Mantan Presiden Amerika Serikat Abraham
Lincoln menulis “We cannot escape history” (kita takkan pernah bisa melepaskan
diri dari sejarah). Masa lalu, masa kini, masa yang akan datang tak pernah
dihindari dari perjalanan hidup seseorang, organisasi, negara dalam menentukan
bermakna atau tidaknya sejarah perjalanan hidupnya. Berkait itu pula para ahli
sejarah eropa menulis “orang yang buta dengan apa yang terjadi sebelum ia
dilahirkan, maka selamanya akan hidup menjadi bayi”. Seperti halnya membaca
novel yang langsung pada akhir cerita. Tidak mengetahui perjalanan awal,
konflik yang terjadi, masalah yang menyelimuti perjalanan yang dihadapi,
strategi yang mana ibarat apa yng bisa diambil dan prediksi masa depan yang
bagaimana, semua tertutup karena melewatkan kejadian yang dilalui.
Begitu juga kita membicarakan PMII,
membicarakan masalah yang dihadapi masa kini saja tidak cukup, jika kita ingin
memaknai dinamika dan perjalanan PMII di masa depan. Apalagi mengukur sejarah
emas PMII untuk generasi penerus kita. Tentunya keterlibatan dari berbagai
elemen dan sub sistem yang ada menjdi keharusan. Merancang warna apa PMII ke
depan itu tergantung bagaimana kita mampu mensyiasati kekayaan sejarah masa
lalu, kini dan yang akan terjadi dan yang dimungkinkan bisa terjadi.
Perjalanan PMII dalam lintasan
sejarahnya, tidak bisa dilepaskan begitu saja dari keterkaitan organisasi induk
yang memberikannya. Dalam hal ini, NU mempunyai peranan besar dalam mencetuskan
ide, semangat dan kerangka organisasi yang terbentuk. Include di
dalamnya asas dan sifat keorganisasian.
Deskripsi hubungan NU-PMII yang sudah
berjalan kurang lebih 36 tahun dapat dibahasakan secara sederhana: Masa Underbow
(Dependen, 1960-1973), Masa (Independen, 1973-1991), dan Masa Interdependensi
(1991-sekarang). Itulah hubungan formal PMII-NU.
A.
KRONOLOGI BERDIRINYA PMII
Hasrat untuk mendirikan Organisasi Mahasiswa di kalangan NU
sebenarnya sudah lama menjadi impian. Hal ini, terbukti dengan terbentuknya
IMANU (Ikatan Mahasiswa NU) yang dibentuk pada Desember 1955 di Jakarta. Namun,
organisasi ini tak mampu bertahan lama. Berdirinya organisasi ini ditentang
oleh Pimpinan Pusat IPNU dengan berbagai pertimbangan:
1.
IPNU baru dibentuk pada 24 Februari 1954,
2.
Para penggerak IPNU banyak mahasiswanya, dikhawatirkan mereka
meninggalkan IPNU dan aktif di IMANU,
3.
IPNU baru saja berhasil menggalang persatuan dan perpaduan
pelajar-pelajar dari Sekolah Umum, Madrasah, Pesantren, dan Mahasiswa dalam
satu organisasi. Merupakan hal penting dalam pembinaan umat, yang mana sejak
dulu merupakan kekuatan terpisah dan saling menjauh. Bangunan yang baru saja
dibangun ini dikhawatirkan akan hancur lagi,
4.
Jumlah mahsiswa NU masih sedikit belum saatnya mendirikan
organisasi khusus mahasiswa,
5.
Ketua PB NU sendiri menolak berdirinya IMANU. Sejak saat itulah
IMANU tak terdengar lagi dibicarakan.
Namun, hasrat untuk mendirikan sebuah organisasi bagi mahasiswa
NU ini, masih merupakan api dalam sekam. Dalam Muktamar ke- II IPNU 1-5 Januari
1957 di Pekalongan, perlu tidaknya didirikan suatu organisasi kemahasiswaan
tetap dibicarakan.
Atas pertimbangan yang logis dan obyektif, desakan dari mahasiswa
NU yang duduk di PT, Univesitas, dan Akademi akan organisasi khusus bagi
mahasiswa, maka, pada Muktamar ke III IPNU 27-31 Desember 1958 di Cirebon,
dibentuklah Departemen Perguruan Tinggi sebagai alat bagi pengurus yang duduk
di Perguruan Tinggi.
Dalam perkembangan berikutnya, karena praktis departemen yang
baru dibentuk tak dapat menjadi alat yang kongkret bagi mahasiswa NU yang
memang alam dan kepentingan sudah berbeda dengan pelajar, tanggung jawab
berbeda, maka dalam Konferensi Besar IPNU I 14-17 Maret 1960 di Kaliurang
Yogyakarta, dibentuk 13 orang panitia sponsor yang akan ditunjuk menyiapkan
Musyawarah NU se-Indonesia. Ketiga belas orang itu adalah:
1.
Mewakili Jakarta; A. Khalid Mawardi, M. Said Budari, M.Shobic
Ubaid,
2.
Mewakili Bandung; M. Makmun Sukri BA, Hilman Badruddin Syah,
3.
Mewakili Yogyakarta; H. Ismail Makki, Munsif Nachrawi,
4.
Mewakili Semarang; A. Wahab Jaelani,
5.
Mewakili Surakarta; Nuril Huda Suadi, Laily Masnyur,
6.
Mewakili Surabaya; Hisbullah Huda,
7.
Mewakili Malang; M. Khalid Marbukha,
8.
Mewakili Makasar; Ahmad Husein.
Atas
keuletan mereka inilah, berhasil mengadakan Musyawarah Nasional (MUNAS)
Mahasiswa NU 14-16 April 1960 di Surabaya, yang dihadiri oleh wakil-wakil
Sekolah Muslimat NU Wonokromo, Jakarta, Semarang, Malang, Surabaya, Senat-senat
Mahasiswa dan Perguruan Tinggi NU. Atas dasar pertimbangan; pentingnya
organisasi bagi mahasiswa untuk kepentingan mahasiswa, dan perjuangan politik,
beridirilah PMII sebagai follow up Departemen Perguruan Tinggi IPNU.
Pada musyawarah itu disusun pula peraturan PMII, program kerja, dan menunjuk H.
Mahbub Junaedi (tak hadir) sebagai Ketua Umum, A. Khalid Mawardi (Ketua
I), Said Budairi (Sekertaris Umum), dan orang-orang inilah yang menyusun
kepengurusan selengkapnya.
Berlakunya
peraturan dasar dimulai pada 17 April 1960 pada resepsi diproklamirkannya Hari
Lahir PMII di Balai Pemida Surabaya. Acara dan momen ini mendapat perhatian
besar dari masa mahasiswa, senat mahasiswa, organisasi ekstra, dan intra
universitas serta wakil-wakil golongan politik.
B. KETEGANGAN POLITIK (MASA DEPENDEN PMII)
Pada awalnya memang banyak delegasi yang mengusulkan nama-nama
sebagai pertimbangan, seperti dari Yogyakarta mengusulkan HMA (Himpunan
Mahasiswa Ahlussunnah), Jakarta mengusulkan IMANU (Ikatan Mahasiswa Nahdlatul
Ulama), kemudian Bandung, Surabaya dan Surakarta mengusulkan PMII (Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia). Dan nama yang terakhir inilah yang akhirnya menjadi
kesepakatan. Alasan dipilihnya nama PMII, dianggap mewakili;
1.
Pola mahasiswa yang diliputi pemikiran inisiatif bebas,
2.
Memanifestasikan nasionalisme sebagai semangat kebangsaan.
PMII lahir atas dasar tuntutan sejarah, pekembangan pelajar dan
mahasiswa NU. Bedirinya PMII karena dipandang waktunya telah tiba dan
kepentingan sangat mendesak untuk berdiri sebagai organisasi sendiri,
berdirinya PMII bukan untuk menyaingi organisasi Islam yang lainnya.
Sudah alamiah bila kelahirann sesuatu yang baru itu melahirkan
sikap pro dan kontra. Begitu juga kelahiran PMII, yang suka dia yang bijak dan
mengerti posisi dan peranan yang harus diambil umat Islam dalam menyelesaikan
revolusi nasional berdasarkan Pancasila. Sementara yang tak suka mereka yang
mulut membela umat tapi dalam perbuatan mereka mereaksi umat. Macam-macam intimidasi
(penyudutan) dan pertanyaan dilemparkan kemuka Pergerakan ini waktu itu.
Semisal, untuk apa PMII didirikan? Apa itu bukan pekerjaan separatis?
Memecah belah persatuan mahasiswa Islam? Apa itu bukan suatu pekerjaan yang
dibakar emosional tetapi tak realistis? Bukan mahasiswa itu cerdas dan
bijaksana? Itu sebaiknya menjadi milik umat Islam saja, bukan tak perlu menjadi
milik partai politik! Begitulah pertanyaan-pertanyaan waktu itu.
Menanggapi intimidasi seperti itu, PMII menjawab dengan cerdas
dan tegas. Bahwa PMII berkata kepada mereka semua yang menentang berdirinya,
yang mentololkan mahasiswa berpolitik dan berpartai merasa diganggu asyik
mansyuknya memimpin umat. Bahwa anggapan dan pendirian mereka berbeda dengan
PMII. Berdirinya PMII bukan untuk memecah belah umat Islam, akan tetapi adalah
tuntutan sejarah dan melalui proses perkembangan sejarah NU. Organisasi yang
mampu meresponi aspirasi dan kepentingan warga yang selama ini tak terpenuhi di
organisasi lain yang ada.
PMII pun berpendirian bahwa mahasiswa harus lebih berpolitik dari
siapapun, harus jelas dimana tempat tegaknya, harus berpartisipasi kongkret
dengan kegiatan politik. Oleh karena itu politik menentukan hitam-putihnya
perjalanan suatu bangsa. Baik dalam sikap maupun dalam kehidupan. Bisakah PMII lepas
dari setting politik? Mungkin bias, tetapi serasa ada sesuatu yang hilang.
Karena organisasi dan politik bagaikan dua sisi mata uang yang berbeda tetapi
keduanya saling melengkapi. Mahasiswa harus mempunyai sikap yang tegas,
mahasiswa bukan juri dan bukan mandor dalam revolusi ini. Melainkan eksponen
yang positif untuk Tuhan, Bangsa, dan Revolusi. Dengan berdiri di barisan NU di
atas landasan Islam Ahlu Sunnah Wal Jama’ah berjalan terus berkembang
dan memperkokoh diri. Lantas bagaimana peran politik PMII pasca Muktamar NU
Situbodo 1984? Bagaimana politik mahasiswa kini?
1. Independensi: Free Stage Adventure
Setelah PMII menjalani perhelakan akbar kurang lebih 12 tahun,
menapaki perjuangannya PMII ditantang untuk mengambil sikap berani menentukan
kebijakan, urusan dan aturan rumah tangga sendiri, lepas dari keterkaitan NU
sebagai induknya. Puncaknya pada Deklarasi Munarjati 1972 di Ciloto
dikumandangkan manifest independensi PMII. Adapun ikhwal motivasi
indepedensi ini:
a)
Merupakan proses rekayasa PMII dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Hal ini bertujuan agar eksistensi PMII diakui dalam skala nasional.
Satu bukti usaha ini, lahirnya KNPI bersama kelompok Cipayung (KAMI, HMI,
PMKRI, GMNI).
b)
Mahasiswa sebagai insan akademis harus menentukan sikap.
Ukurannya adalah objektifitas dalam menentukan ilmu, cinta kebenaran dan
keadilan.
c)
PMII merasa canggung jika melihat masalah nasional karena harus
selalu melihat dan memperhatikan induknya.
d)
Secara politis ada bargaining antara tokoh PMII (Said
Budairi, M. Zamroni, Abdul Padare) dengan pemerintah (Ali Murtopo).
e)
Untuk mengembangkan ideologi. Tahap baru memperjuangkan urusan
sendiri. Sebab AD/ART (Asas Islam Aswaja) yang tidak lagi dibatasi secara
formal oleh madzhab empat. Dengan demikian PMII bias berkembang di PT Umum/PT
Agama.
f)
Untuk mengembangkan sikap kreatif, keterbukaan dalam sikap dan
dinamika Pergerakan.
2. Masa Interdependensi: Sebuah Pijakan Baru
Inilah keputusan ketetapan Kongres PMII ke-10 tahun 1991 di
Jakarta yang mengembalikan PMII dari petualangan panjang. Kembali bergalut di
haribaan. Dengan sikap independensi yang sudah berkibar sejak 1973 ternyata
belum mampu membawa dan mengantarkan kemandirian PMII secara total. Dalam
membangun memang tak pernah bisa lepas dari tiga aspek asas; 1. Material
Investment; 2. Human Skill Investment; 3. Moral Human Investment.
Dan sementara ini semua selalu terikat dengan NU, maka keputusan inilah yang
menjadikan lahirnya keputusan interdependensi. Interdependensi yang dimaksud
adalah tetap menjadi organisasi di luar NU tapi memperjuangkan nilai-nilai dan
tujuan NU.
C. MAKNA FILOSOFI PMII
Dari namanya PMII disusun dari 4 kata yaitu
“Pergerakan”, “Mahasiswa”, “Islam”, dan “Indonesia”.
Makna “Pergerakan” yang terkandung
dalam PMII adalah dinamika dari hamba (makhluk) yang senantiasa bergerak menuju
tujuan idealnya memberikan kontribusi positif pada alam sekitarnya. “Pergerakan”
dalam hubungannya dengan organisasi mahasiswa menuntut upaya sadar untuk
membina dan mengembangkan potensi ketuhanan dan kemanusiaan agar gerak dinamika
menuju tujuannya selalu berada di dalam kualitas kekholifahannya.
Pengertian “Mahasiswa” adalah
golongan generasi muda yang menuntut ilmu di Perguruan Tinggi yang mempunyai
identitas diri. Identitas diri mahasiswa terbangun oleh citra diri sebagai
insan religius, insan dinamis, insan sosial, dan insan mandiri. Dari identitas
mahasiswa tersebut terpantul tanggungjawab keagamaan, intelektual, sosial
kemasyarakatan, dan tanggungjawab individual baik sebagai hamba Tuhan maupun
sebagai warga bangsa dan negara.
“Islam” yang terkandung dalam PMII adalah Islam sebagai agama yang
dipahami dengan haluan atau paradigma Ahlu Sunnah wal Jama’ah
yaitu konsep pendekatan terhadap ajaran agama Islam secara proporsional antara
Iman, Islam dan Ihsan yang di dalam pola pikir, pola sikap, dan pola
perilakunya tercermin sikap-sikap selektif, akomodatif, dan integrative. Islam
terbuka, progresif dan transformative demikian plat-form PMII, yaitu Islam
yang terbuka, menerima dan menghargai segala bentuk perbedaan. Keberbedaan
adalah suatu rahmat, karena dengan perbedaan itulah kita dapat saling berdialog
antara satu dengan yang lainnya demi mewujudkan tatanan yang demokratis dan
beradab (civilized).
Sedangkan pengertian “Indonesia”
adalah Masyarakat, Bangsa, dan Negara Indonesia yang mempunyai falsafah dan
ideologi bangsa (Pancasila) serta UUD ’45.
D. TUJUAN DIDIRIKANNYA PMII
Secara totalitas PMII sebagai suatu
organisasi merupakan suatu gerakan yang bertujuan merubah kondisi sosial di
Indonesia yang dinilai tidak adil, terutama dalam tatanan kehidupan sosial.
Selain itu juga melestarikan perbedaan sebagai ajang dialog dan aktualisasi
diri, menjunjung tinggi pluralitas, dan menghormati kedaulatan masing-masing
kelompok dan individu.
Dalam lingkup yang lebih kecil PMII mencoba
menciptakan kader yang memiliki pandangan yang luas dalam menghadapi realita
sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Memiliki pemahaman yang komprehensif
tentang berbagai macam paham pemikiran yang digunakan dalam menganalisa
realitas yang ada, sehingga diharapkan seorang kader akan mampu memposisikan
diri secara kritis dan tidak terhegemoni oleh suatu paham atau ideologi yang
dogmatis.
E. LANDASAN TEOLOGIS DAN FILOSOFIS PMII
Landasan filosofis dan teologis PMII
sebenarnya tergali dalam rumusan NDP (Nilai Dasar Pergerakan) dan turunannya ke
bawah. Artinya bahwa NDP dibangun atas dasar dua sublimasi besar yaitu
ke-Islam-an dan ke-Indonesia-an.
Sublimasi ke-Islam-an berpijak dari kerangka
paradigmatic bahwa Islam memiliki kerangka besar yang universal, transendental,
trans-historis dan bahkan trans-personal. Universalisme atau fariasi-fariasi
identitas Islam lainnya yang dimaksud bermuara pada satu gagasan besar,
bagaimana membangun masyarakat yang berkeadilan.
Namun, harus disadari bahwa sungguhpun Islam
memiliki universalisme atau yang lainnya, ia pun juga menampakkan diri sebagai
entitas dengan identitas sangat cultural, antropologis, historis, sosiologis,
dan bahkan politis.
Dua gambaran tentang Islam yang paradoks –
atau minimal kontra produktif dan bahkan saling berbinary opposition –
menghadapkan believer pada tingkat minimal untuk melakukan human exercise
bagaimana Islam dalam identitas besar, Rahmatan Lil Alamain.
Dari sini, mengharuskan PMII untuk mengambil
inisiatif dengan menempatkan Islam sebagai suatu sublimasi identitas
kelembagaan. Ini berarti, PMII menempatkan Islam sebagai landasan teologis
untuk dengan tetap meyakini universalitas, trans-historis, dan bahkan
trans-personalnya. Lebih dari itu, keyakinan teologis tersebut tidak
semata-mata ditempatkan sebagai landasan normatifnya, melainkan disertai upaya
bagaimana Islam teologis itu mampu menunjukkan dirinya dalam dunia riil. Ini
berarti, PMII akan selalu menempatkan Islam sebagai landasan normative yang
akan selalu hadir dalam setiap gerakan-gerakan sosial dan keagamaan yang
dimilikinya.
Selain itu PMII sebagai konstruksi besar
juga begitu menyadari bahwa ia tidaklah hadir dalam ruang hampa, kosong, berada
di awang-awang, dan jauh dari latar sosial bahkan politik. Tetapi, ia justru
hadir dan berdiam diri dalam satu ruang identitas besar, Indonesia dengan
berbagai kemajemukan watak kulturalnya, sosiologis, dan hingga antropologis.
Oleh karena itu, identitas diri yang tak terpisahkan dengan identitas besar
Indonesia mengharuskan PMII selalu menempatkan identitas besar itu menjadi
salah satu sublimasi selain ke-Islam-an.
Penempatan itu berarti menempatkan PMII
sebagai institusi besar yang harus melakukan pembacaan terhadap lingkungan
besarnya, “Indonesia”. Hal ini dalam rangka membangun aksi-aksi social,
kemasyarakatan, dan kebangsaan yang selalu relevan, realistik, dan
transformatik.
Dua penjelasan kaitannya dengan landasan
sublimatik PMII di atas, dapat ditarik ke dalam konstruksi besar bahwa PMII
dalam setiap gerakan dan institusionalnya tetap menghadirkan identitas
teologisnya, identitas Islam. Tetapi, lebih dari itu, landasan teologis Islam justru
dihadirkan bukan hanya sebatas dalam bentuk pengaminan secara verbal dan normative,
melainkan bagaimana landasan teologis ini menjadi transformable dalam
setiap gerakan dan aksi-aksi institusionalnya. Dengan begitu, mau tidak mau
PMII harus mempertimbangkan tempat dimana ia lahir, berkembang, dan melakukan
eksistensi diri, tepatnya ruang ke-Indonesia-an. Yang berarti, secara
kelembagaan PMII harus selalu mempertimbangkan gambaran utuh konstruksi besar Indonesia
dalam membangun setiap aksi-aksi kelembagaannya.
Endingnya, proses yang rumit transformasi
landasan teologis Islam dan konstruksi besar ke-Indonesia-an sebagai medium
pembacaan objektifnya, maka akan muncul citra diri kader atau citra diri institusi
yang ulil albab. Citra diri yang tidak hanya semata-mata menampilkan diri
secara personal sebagai manusia yang beriman yang normative dan verbal,
melainkan juga sebagai believer kreatif dan membumi kontekstual. Citra
diri personal ini secara langsung akan mewujudkan PMII secara kelembagaan
sebagai entitas besar yang juga ulil albab.
F. IDENTITAS DAN CITRA DIRI PMII
Pada hakikatnya identitas ini
ditujukan bagi individu yang telah memenuhi kualitas-kualitas tertentu. Seperti
apakah mereka? Jawabannya dapat kita simak dalam Tujuan PMII. Tujuan PMII
menegaskan bahwa PMII didirikan untuk membentuk sebuah pribadi yang
dengan segala kapasitas pribadinya yang terasah, kemudian mengarahkan semua
kualitas pribadinya bagi kepentingan masyarakat dan bangsa.
Seperti tertuang dalam BAB IV AD PMII, bahwa identitas PMII adalah:
1.
Bertaqwa kepada Allah SWT,
2.
Berbud Luhur,
3.
Berilmu,
4.
Cakap,
5.
Bertanggung jawab mengamalkan ilmunya, dan
6.
Komitmen memperjuangkan nilai-nilai kemerdekaan
Indonesia
PMII memproyeksikan pengkaderannya untuk meraih 6
(enam) kualitas di atas. Lalu apa nama pendek bagi 6 (enam) kualitas di atas?
Atau, apa nama pendek bagi “pribadi Muslim yang bertaqwa kepada Allah SWT,
berbudi luhur, berilmu, cakap dan bertanggung jawab mengamalkan ilmunya dan
komitmen memperjuangkan cita-cita kemerdekaan Indonesia”? Nama pendek itu
adalah Kader Ulul Albab. Dengan kata lain, ketika kita menyebut Kader
Ulul Albab, pada saat yang sama kita tengah meresapi 6 (enam) kualitas
kader PMII di atas. Itulah yang disebut sebagai citra diri atau
PROFIL/IDENTITAS KADER PMII.
Namun nama itu memiliki kandungan yang lebih dalam
dan luas dari 6 (enam) kualitas di atas. Kedalaman itu dapat difahami dan
direnungkan di ayat-ayat darimana sumber nama itu berasal. Maka untuk mencapai
kualitas di atas, setiap individu Anggota PMII wajib memahami dan merenungkan
15 rangkaian Ayat Suci Al-Qur’an yang menjelaskan dan mengilustrasikan
bagaimanakah Kader Ulul Albab itu.
Ayat-Ayat yang mengandung nama Ulul Albab
adalah sebagai berikut:
Q.S.Al-Baqarah
(2: 197)
|
Segala yang baik yang kamu kerjakan, Allah mengetahuinya.
Berbekallah, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa. Dan bertaqwalah kepada-Ku wahai Ulul
Albab!
|
Q.S.Al-Baqarah
(2: 269)
|
Allah menganugerahkan hikmah kepada siapa yang Dia Kehendaki. Barang
siapa yang dianugerahi hikmah, sungguh-sungguh ia telah dilimpahi karunia
yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali Ulul
Albab.
|
Q.S. Ali-Imran
(3: 190, 191)
|
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam
dan siang terdapat tanda-tanda bagi Ulul Albab. (yaitu) orang-orang
yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring, dan
mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya
Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Maha Suci Engkau,
lindungilah kami dari adzab neraka”.
|
Q.S. Al-Mai’dah
(5: 99, 100)
|
Kewajiban Rasul tidak lain hanyalah menyampaikan (amanat Allah), dan
Allah Mengetahui apa yang kamu tampakkan dan apa yang kamu sembunyikan.
Katakanlah (Muhammad), “Tidaklah sama (antara) yang buruk dengan yang baik,
meskipun banyaknya keburukan itu menarik hatimu, maka bertaqwalah kepada
Allah wahai Ulul Albab.”
|
Q.S. Al-Ra’du
(13: 19, 20)
|
Maka apakah orang yang mengetahui bahwa apa yang Diturunkan Tuhan
kepadamu adalah kebenaran, sama dengan orang yang buta? Hanya Ulul Albab
saja yang dapat mengambil pelajaran, (yaitu) orang yang memenuhi janji Allah
dan tidak melanggar perjanjian.
|
Q.S. Ibrahim
(14: 52)
|
(Al Qur’an) ini adalah penjelasan (yang sempurna) bagi manusia, agar
mereka diberi peringatan dengannya, agar mereka mengetahui bahwa Dia adalah
Tuhan Yang Maha Esa dan agar Ulul Albab mengambil pelajaran.
|
Q.S. Shaad
(38: 29)
|
Kitab (Al Qur’an) yang Kami Turunkan kepadamu penuh berkah agar
mereka menghayati ayat-ayatnya dan agar Ulul Albab mendapat pelajaran.
|
Q.S. Shaad
(38: 43)
|
Dan Kami Anugerahi dia (dengan mengumpulkan kembali) keluarganya dan
Kami Lipatgandakan jumlah mereka, sebagai rahmat dari kami dan pelajaran bagi
Ulul Albab.
|
Q.S. Az-Zumar
(39: 9)
|
(Apakah kamu orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang
beribadah pada waktu malam dengan sujud dan berdiri, karena takut kepada
(azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah, “Apakah sama
orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”
Sebenarnya hanya Ulul Albab yang dapat menerima pelajaran.
|
Q.S. Az-Zumar
(39: 21)
|
Apakah engkau tidak memperhatikan bahwa Allah menurunkan air dari
langit, lalu diaturnya menjadi sumber-sumber air di bumi, kemudian dengan air
itu ditumbuhkan-Nya tanam-tanaman yang bermacam-macam warnanya, kemudian
menjadi kering, lalu engkau melihatnya kekuning-kuningan, kemudian
Dijadikan-Nya hancur berderai. Sungguh, pada yang demikian itu terdapat
pelajaran bagi Ulul Albab.
|
Q.S. Al-Mu’min
(40: 53, 54, 55)
|
Dan sungguh, Kami telah Memberikan petunjuk kepada Musa; dan
Mewariskan Kitab (Taurat) kepada Bani Israil, untuk menjadi petunjuk dan
peringatan bagi Ulul Albab. Maka bersabarlah kamu, sesungguhnya janji
Allah itu benar, dan mohonlah ampun untuk dosamu dan bertasbihlah seraya
memuji Tuhan-mu pada waktu petang dan pagi.
|
Dari
ayat-ayat di atas dapat ditangkap beberapa gambaran tentang manusia Ulul
Albab sebagai berikut:
1.
Manusia yang bertaqwa kepada Allah SWT
Manusia yang bertaqwa kepada
Allah tidak memiliki rasa takut kepada selain-Nya. Maka dalam pikiran, perasaan
dan tindakan, manusia yang bertaqwa sesungguhnya merdeka dari rasa takut.
Satu-satunya yang ia takuti hanya Allah. Rasa takut muncul karena khawatir
melanggar Kehendak-Nya (Q.S.
Al-Baqarah:179, 197, Al-Maidah:99-100, At-Talaq:8, 9, 10, 11).
2.
Manusia yang beriman
Manusia yang beriman tidak
memiliki keraguan dan memelihara kebingungan dalam berproses dan hidup
sehari-hari. Keyakinannya terhadap Allah SWT mengatasi keraguan yang membiaskan
pandangannya dari kenyataan dan tantangan duniawi. Maka dalam pikiran, perasaan
dan tindakan, manusia yang beriman sesungguhnya merdeka dari rasa ragu.
Satu-satunya keraguan adalah keraguan apakah pikiran, perasaan dan tindakannya
telah melanggar Keyakinannya kepada Allah SWT. (Q.S. At-Talaq:8, 9, 10,
11).
3.
Manusia yang selalu mengingat Allah SWT di setiap
saat
Yakni manusia yang menjadikan
dzikir sebagai nafas sehari-harinya. Mengingat Allah SWT adalah mengakui dan
mengikatkan diri pada Keabadian, kepada Yang Maha Kuasa, dan kepada Yang Maha
Menciptakan. Keterikatan hati manusia semacam itu adalah hanya kepadaNya. Bukan
kepada apa yang ia duduki dan yang ia inginkan. Maka tidak ada rasa kehilangan
apabila perubahan memaksanya untuk bergeser, dan tidak ada rasa ragu apabila
perubahan memintanya untuk bertindak. (Q.S. Ali-Imran:190, 191).
4.
Manusia yang setia dengan Janji Allah SWT dan tidak
melanggar perjanjian dengan-Nya
Manusia yang setia dengan Janji
Allah SWT dan tidak melanggar perjanjian denganNya adalah manusia yang hanya
berharap dan meminta kepadaNya. Sementara dia melakukan secara total apa yang
dia harus lakukan sebagai manusia, sebagai hamba (‘abdullah) sekaligus
sebagai khalifah (khalifatullah), ia melepaskan harapan dan
ketergantungan dari apa yang dia lakukan. Semua kembali diserahkan kepadaNya.
Maka manusia yang setia tidak merasa kecewa atas urusan duniawi dan senantiasa
menatap kenyataan dengan optimis. (Q.S.
Al-Ra’du:19 – 20).
5.
Manusia yang mengambil pelajaran dari sejarah umat
manusia, perjalanan alam semesta dan dari ayat-ayatNya
Manusia yang mengambil pelajaran
ialah manusia yang menatap kenyataan secara kompleks, secara keseluruhan,
secara komprehensif. Ia membaca bagaimana bangsa-bangsa terdahulu tumbang dan
berdiri dan mengambil pelajaran dari itu. Ia juga mengamati bagaimana semesta
berjalan, menjalankan hukum-hukumNya yang berlaku pula bagi manusia dan
mengambil hikmah dari semua itu. Manusia semacam itu peka dan tidak berhenti
dalam memahami apa yang disampaikanNya dalam Kitab Suci dan pada alam semesta.
Manusia yang mengambil pelajaran senantiasa hati-hati dan awas terhadap
kenyataan, sebagai panduan mereka untuk menjalani kehidupan. (Q.S. al-Baqarah:269, Ali-Imran:7-8, Al-Ra’du:19-20, Ibrahim:52,
Shaad:29, Shaad:43, Az-Zumar:9, Az-Zumar:21, Al-Mu’min:53-55).
Dari ayat-ayat di atas dan
penjabarannya dalam lima butir tersebut tergambar bahwa Kader Ulul Albab
bukanlah sosok pasif yang menyerah pada keadaan. Ia juga bukan sosok yang akan
berpikir dan bertindak dengan sembarangan. Iman-Taqwa dan pengetahuan mutlak
dimiliki Kader Ulul Albab. Dari keduanya, Kader Ulul Albab dituntut
untuk menguasai kemampuan khusus, cakap dan terampil, sehingga dia mampu
menjalankan peran dan tugasnya sebagai
manusia di tengah kenyataan bangsanya.
G. SEPUTAR IDEOLOGI PMII
Pada paruh kedua abad kemarin dan gaungnya
hingga hari ini digarahi oleh kelompok intelektual ‘kiri’ Eropa yang
mendasari New-Left Movement yang terkenal itu, sebut saja; kelompok
Madzhab Frankturt, TW Adorno, Jugen Habermas bahwa perdebatan mengenai ideologi
masih mempunyai ruang, terlebih ideology menuai kritik dan evaluasi
terhadapnya. Kritik itu seputar perannya, sebagai ‘wadah’ atau ‘tempat’
kebenaran atau bahkan sebagai ‘sumber’ kebenaran itu sendiri, yang di satu sisi
dinilai sebagai pencerah umat tetapi di sisi lain sebagai alat hegemoni
umat.
Ideologi memang dianggap sebagai landasan
kebenaran yang paling fundamental (mendasar) maka dari itu tidak terlalu
salah bila disebut sumber kebenaran sebagai ruh dari operasi praksis kehidupan.
Tetapi dalam prosesnya kemudian ideology ‘ada’ tidak bebas dari kepentingan-prinsip
pengadaan; sesuatu materi diciptakan/diadakan pasti punya dari maksud dan
tujuan, ironisnya kepentingan yang ada awalnya untuk kebaikan sesama tanpa ada
pengistimewaan/pengklasifikasian kemudian berubah menjadi milik segolongan
tertentu. Hasilnya ideologi menjadi tameng kebenaran umat tertentu, digunakan
untuk tujuan-tujuan yang tidak selayaknya, tujuan ‘hanya kekuasaan’ misalnya.
Maka dalam konteks ini ideologi mendapat serangan habis-habisan. Tanpa
bermaksud memutus perdebatan sosiologi pengetahuan seperti di atas. Ideologi
akan tetap memiliki umat, ideologi masih memiliki pengikut tatkala ia masih
rasional masih kontekstual tidak pilih kasih (diskrimatif) tidak menindas
sehingga layak dijadikan sumber kebenaran, ketika peran itu masih melekat niscaya
ideologi masih diperlukan.
Dibawa dalam ranah PMII, ideologi PMII
digali dari sumbernya yang ada pada pembicaraan sebelumnya disebut sebagai
identitas PMII yaitu ke-Islam-an dan ke-Indonesia-an. Sublimasi atau perpaduan
antara dua unsur di atas menjadi rumusan materi yang terkandung dalam NDP
(Nilai Dasar Pergerakan) PMII, semacam qonum azasi di PMII atau itu tadi yang
disebut Ideologi. NDP berisi rumusan ketauhidan, penyakinan, kita terhadap
Tuhan. Bentuk pengyakinan itu terletak dari pola relasi/hubungan antar komponen
di alam ini, pola antara mikrokosmos dan makrokosmos, antara Tuhan dan Manusia,
antar Manusia dan antara Manusia dengan sekelilingnya.
H. ARTI LAMBANG DAN BENDERA PMII
1. Lambang PMII
Pencipta
lambang PMII : H. Said Budairi
a.
Makna lambang PMII
1)
Bentuk
a)
Perisai berarti
ketahanan dan keampuhan mahasiswa Islam terhadap berbagai tantangan dan
pengaruh dari luar.
b)
Bintang adalah
perlambang ketinggian dan semangat cita-cita yang selalu memancar.
c)
Lima bintang sebelah
atas melambangkan Rosulullah SAW dengan empat Sahabat yang terkemuka (Khulafa
Al-Rasyidin).
d)
Empat bintang sebelah
bawah menggambarkan empat madzhab yang berhaluan Ahlu Al-Sunnah Wa
Al-Jama’ah.
e)
Sembilan bintang secara keseluruhan bisa berarti :
Ø
Rosullullah SAW dengan empat orang sahabatnya serta empat orang
imam madzhab itu laksana bintang yang selalu bersinar cemerlang, memiliki
kedudukan yang tinggi dan penerang umat manusia.
Ø
Sembilan bintang juga menggambarkan Sembilan orang pemuka
penyebar Agam Islam di Indonesia yang disebut dengan Wali Sanga.
2)
Warna
a)
Biru,
sebagaimana tulisan PMII, berarti kedalaman Ilmu Pengetahuan yang harus
dimiliki dan harus digali oleh warga Pergerakan, Biru juga menggambarkan lautan
Indonesia dan merupakan kesatuan Wawasan Nusantara.
b)
Biru Muda,
sebagaimana dasar perisai sebelah bawah berarti ketinggian Ilmu Pengetahuan,
budi pekerti dan taqwa.
c)
Kuning,
sebagaimana perisai sebelah atas berarti identitas mahasiswa yang menjadi sifat
dasar Pergerakan, lambang kebesaran dan semangat yang selalu menyala serta
penuh harapan menyongsong masa depan.
b.
Penggunaan
1)
Lambang PMII digunakan pada papan nama, bendera, kop surat,
stempel, badge, jaket, kartu anggota, dan benda atau tempat lain yang tujuannya
untuk menunjukkan identitas organisasi.
2)
Ukuran lambang PMII disesuaikan dengan wadah penggunaannya.
2.
Bendera PMII
a.
Pencipta bendera PMII adalah Shaimory
b.
Ukuran bendera PMII: panjang dan lebar (4X3)
c.
Warna dasar bendera PMII adalah kuning
d.
Isi bendera PMII adalah antara lain:
1)
Lambang PMII yang terletak di bagian tengah
2)
Tulisan PMII yang terletak di sebelah kiri lambang membujur ke
bawah.
e.
Bendera PMII biasa digunakan pada upacara-upcara resmi organisasi
baik intern maupun ekstern dan upacara nasional.
3.
POSISI STRATEGIS PMII
Menurut Abdurrohman Wahid (Gus Dur) ada delapan kelompok
strategis yang mampu mempengaruhi proses perjalanan bangsa, yaitu: ABRI
(sekarang TNI dan Polri), Birokrasi, Orpol, Ormas, LSM, Pengusaha, Pers, dan
Intelektual Kampus. Post-post itulah yang harus dicermati dan berani mengambil
keputusan “outsward looking” (tak
sekedar memikirkan persoalan intern organisasi). Dari arah sinilah nantinya
kader PMII tak terjebak dalam ekslusivisme, tetapi lebih mampu bersikap
inklusif dan mau bertempat dimana saja yang bisa memberikan kemungkinan tumbuh
dengan baik. Disinilah pentingnya post-post itu, sehingga kader-kader PMII
diorientasikan ke arah sana. Pada akhirnya kader tak terjebak pada masalah
ke-Ormas-an saja.
Beberapa gambaran Aktifis
PMII dalam konstalasi politik dapat dilihat sebagai beriktut:
1.
Mahbub junaidi, Mantan Ketua PMII periode pertama, karirnya
pernah menjadi ketua umum PWI, Pimpinan Harian Duta Masyarakat, Anggota DPR/MPR
1971-1982, Anggota DPR-GR 1967-1971, Sekjen DPP PPP, PBNU dan lain-lain.
2.
Zamroni, Mantan Ketua periode 1967-1970. Pernah menjadi Anggota
DPR-GR 1967-1971, DPR-RI 1971-1987, Ketua I DPP PPP, Wakil Sekjen PBNU dll.
3.
Abduh Padare, Mantan Ketua PMII, pernah menjadi Anggota MPR
1977-1982, DPR-PR 1983-1987, Wakil Sekjen DPP PPP dll.
4.
Tokoh-tokoh yang merintis karir konglomerat antara lain: Muhyidin
Arubusman, Surya Darma Ali, Ahmad Bagja, dll.
5.
Tokoh-tokoh kampus dari UI antara lain: Dr. Fahmi Syarifudin,
M.Ph; Rosyid Munir, Sc, M. Sc (Ahli Demografi), Bakhrawi Sanusi SE (Pengamat
Minyak); Dr. Tubagus Roni Nitibaskara (Pakar Santet). Dari UGM antara lain: Dr,
Miftah Toha (Pakar Politik), Fajrul Falah, SH, MH (Pakar Hukum). Dari UNHAS
antara lain : Dr. Sinansari Ecip (Pakar Pers) Ketua Pemred Republika. Dari
UNPAD antra lain: Prof. Dr. Cecep Syarifudin (Pakar Politik Luar Negeri). Dari
UNAIR antara lain: Dr. Abu Amar (Pakar Kesehatan Laut), Kacun Marijan (Pakar
Politik Muda).
6.
LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), antara lain: MM, Billah, Masdar
Farid, Masudi, Nasihan, Hasan, Said Budairi, Arif Mudasir, Enceng Sobirin, dll.
7.
Di legislatif kader PMII tak diragukan lagi, antara lain: di FKP
: Dr. Saihul Hadi Permono, Dr. Bisri Afandi, dan Drs. Slamet Efendi Yusuf. Di PKB,
PDI P muncul dan PPP tak terhitung jumlahnya. Sebut saja Matori Abdul Jalil,
Hamzah Haz, Sulaiman Fadli, Muhaimin Iskandar, Nadli; Muhammad, MA dan Dr.
Muchsin, SH .
8.
Adapula nama-nama Dokter hewan : Ikbal Asegaf, Ali Maksur, dan
Sida Rohman.
9.
Saat ini di Pemerintahannya Presiden Joko Widodo (Jokowi)
terdapat nama-nama kader PMII sebut saja: Khofifah Indar Parawansa (Menteri
Sosial), Marwan Ja’far (Menteri PDT dan Transmigrasi), M. Hanif Dhakiri
(Menteri Ketenagakerjaan), Imam Nahrawi (Menteri Pemuda dan Olahraga), Prof. M.
Natsir (Menteri Ristek dan Dikti), dan H. Lukman Hakim Saifuddin (Menteri
Agama).
Itu sekilas gambaran tokoh-tokoh yang berhasil menempati
posisi-posisi strategis. Hal ini bisa lebih jika PMII ingin memperjuangkannya.
Hanya saja, kita juga harus sabar menunggu kemunculan mereka yang lain ke
permukaan karena belum ada kesempatan mengingat usia PMII masih 54 tahun. Masih
cukup muda untuk ukuran mencetak kader runtutan kader yang superior. Persoalan
sekarang, apakah kader PMII sanggup bersaing memegang peran dalam 9 pos
strategis dimasa-masa yang akan datang? jawabannya, meyakinkan “bisa”.
Persoalan tergantung mulai hari ini, sanggupkah kita berbuat banyak?.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar